Dari
Mata Ajar Menuju ke Topik Bahasan
Ahmad Baedowi ; Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
|
MEDIA INDONESIA, 11 Mei 2015
“FINLAND is at the top
of world league tables for literacy and numeracy,“ begitu diakui banyak
ahli pendidikan di daratan Eropa hingga Britania Raya. Finlandia hanya
sedikit tertinggal dari Singapura dan Tiongkok dalam hal rangking Program for International Student
Assessment (PISA), tetapi memiliki kemauan luar biasa dari para ahli dan
praktisi pendidikannya untuk mengubah gaya mengajar vis a vis melakukan revolusi sistem pendidikan secara radikal
berdasarkan tuntutan zaman.
Saya termasuk beruntung karena melihat secara
langsung pemerintah Finlandia melakukan revolusi sistem pendidikan secara
bertahap tetapi pasti. Bukan hanya memikirkan kesejahteraan guru secara
parsial dengan alasan belas kasihan seperti program sertifikasi guru di
Indonesia, pemerintah Finlandia sangat kuat dalam memberi insentif yang besar
bagi guru yang mau mengubah kebiasaan dalam mengajar, terutama dalam 16 tahun
belakangan, dari mengajar subject
matter menuju pola belajar berdasarkan topik bahasan. Alasannya
sederhana, tuntutan modernitas dan globalisasi terhadap profesionalisme
seseorang akan sangat bergantung pada bagaimana seorang anak belajar di
sekolah.
Mengelola kelas dan proses belajar-mengajar
berbasis pada topik bahasan sebenarnya bukanlah hal baru dalam dunia
pendidikan. Dalam sistem pendidikan yang dianut negara-negara OECD dan negara
berkembang hampir di seluruh dunia, umum diketahui anak belajar berdasarkan
subjek seperti sejarah, geografi, fisika, dan biologi dalam urutan yang
terpisah. Dalam pola belajar berbasiskan topik bahasan, baik guru maupun
siswa membutuhkan kesepakatan sekaligus keseriusan dalam mengembangkan aspek
apa saja yang harus mereka pelajari dalam suatu topik bahasan. Misalkan ada
topik bahasan bagaimana cara melayani tamu dan atau pelanggan (customer service) dalam sebuah sekolah
vokasi, guru harus mengajar di dalamnya dasar-dasar ilmu komunikasi efektif,
bahasa, etika, dan sekaligus matematika.
Dalam sistem pendidikan negara-negara maju
seperti halnya Finlandia, umum dikenal pendekatan integrated curriculum. Menurut Susan Drake dan Rebecca Burns
dalam Meeting Standards through
Integrated Curriculum (2004), pendekatan integrated curriculum akan
memaksa guru untuk kreatif dan inovatif dalam merancang, merencanakan, dan
melakukan proses belajar-mengajar. Beberapa pertanyaan yang berkaitan antara
topic issued dan integrated curriculum yang menjadikan guru berpotensi untuk
lebih inovatif ialah cara kerja skema belajar yang tidak biasa.
Misalnya seorang guru ketika memilih topik
membaca secara komprehensif dapat memasukkan hampir seluruh cerita yang
disukai anak-anak sebagai buku wajib yang harus dibaca. Kemudian anak akan
diminta untuk membuat class project yang berbasis tulisan terhadap bacaan
masing-masing kemudian menghubungkan project tersebut dengan bidang studi
lainnya. Hasilnya? Sebagaimana ditunjukkan Okhee Lee dari University of
Miami, cara belajar jenis itu ternyata mampu meningkatkan minat baca siswa
secara maksimal selama mereka di sekolah.
Filosopi dasar
Pendekatan topik, tematik, dan integrated
sebenarnya merupakan hukum alam atau sunnatullah yang menyebutkan hampir semua
bidang studi dan atau bidang ilmu memiliki keterikatan. Prinsip
interdependensi pengetahuan itu jelas harus dipahami guru kita sehingga tak
ada lagi guru yang mengajar bidang studi yang diampunya tanpa kehendak untuk
memahami sekaligus mempelajari bidang studi lain yang berkaitan dengan mata
ajarnya. Itulah yang dijadikan landasan kebijakan perubahan kurikulum oleh
pemerintah Finlandia, yaitu dalam rangka menyiapkan guru agar mereka memahami
betul filosofi dasar orientasi perubahan kurikulum.
Salah satu kunci keberhasilan Finlandia dalam
membangun dunia pendidikan yang maju ialah kesediaan guru untuk mengubah mindset mereka dalam mengajar. Jauh
sebelum kebijakan mengajar berbasis topik itu berlaku, proses pelatihan sudah
berjalan kurang lebih lima tahun dan Ms Kyllonen, salah seorang co-teaching dari program itu, mencatat
bahwa 70% dari seluruh guru di Finlandia telah siap menerima perubahan itu
karena sudah dilatih dalam lima tahun terakhir. Itu membuktikan keseriusan
pemerintah Finlandia, bahwa sebelum sebuah kebijakan apa pun di bidang
pendidikan akan dilakukan, apalagi di bidang perubahan kurikulum, melatih
guru jelas harus terlebih dahulu dilakukan sebelum kebijakannya diterapkan.
Menurut Mr Silander dari Dream School of Finland, “We
have really changed the mindset,“ katanya, “It is quite difficult to get
teachers to start and take the first step... but teachers who have taken to
the new approach say they can't go back.“ Diakui, mengubah mindset untuk sebuah kebijakan
pendidikan merupakan hal yang sulit, tetapi tetap bisa dikerjakan. Kesadaran
para guru mulai tumbuh ketika mereka dihadapkan pada dunia nyata yang
memiliki karakter berbeda dengan masa 1990-an, ketika dunia saat itu masih
amat bergantung pada kepiawaian bidang studi.
Sudah saatnya bagi Indonesia juga mulai
berpikir secara strategis langkah-langkah penerapan kebijakan perubahan
kurikulum dengan terlebih dahulu menyiapkan para guru yang sudah terlatih dan
berubah mindset-nya. Tanpa langkah
itu, rasanya mustahil akan terjadi perubahan mendasar dalam dunia pendidikan
kita yang sering menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya alat ukur
sebuah kemajuan di bidang pendidikan.
Langkah Finlandia itu kemudian diikuti Inggris
yang mulai memercayai pendekatan topik. Tidak kurang dari Confederation of British Industry and
Labour's Shadow Education yang diwakili sekretarisnya mengatakan langkah
cerdas Finlandia itu harus segera ditiru seluruh Uni Eropa karena baginya
tujuan kemajuan pendidikan akan terlihat dari bagaimana para lulusan sekolah
memiliki karakter yang hebat, memiliki keterampilan komunikasi efektif
daripada terus menyiksa anak didik dengan exam
factories seperti ujian nasional yang terus menimbulkan masalah. Wallhu a'lam bi al-sawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar