Strategi Menghadapi ISIS
Ahmad Millah Hasan ; Tenaga Ahli
Menteri Sosial Bidang Komunikasi dan Media
|
JAWA
POS, 10 April 2015
POLDA Metro Jaya mengungkapkan bahwa polisi telah menangkap
orang-orang yang diduga berkaitan dengan jaringan Negara Islam Iraq dan Syria
(ISIS) di sejumlah tempat. Mereka itu, antara lain, Koswara dan Furqon
ditangkap di Tambun, Bekasi, serta Amin Mude di Perumahan Legenda Wisata,
Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor. Aprimul Hendri ditangkap di Petukangan,
Jakarta Selatan, dan Tuah Febriwansyah bin Arif Hasruddin alias Fahri di
Pamulang, Tangerang Selatan.
Dalam penggeledahan, polisi menyita beberapa barang bukti. Di
antaranya, buku-buku jihad, seragam, dan bendera ISIS. Barang-barang lain
yang disita adalah 5 unit laptop, 9 unit telepon seluler, paspor dan tiket
pesawat, senjata tajam, serta senjata api mainan. Seragam itu diduga yang
dikenakan salah seorang anak dalam tayangan video ISIS yang disebar di
YouTube.
Sebelumnya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen Agus
Rianto mengatakan, polisi belum dapat memastikan pengirim short message service (SMS) yang
mengaku anggota ISIS betul-betul terkait dengan kelompok itu. Sebab,
diperlukan penyidikan yang lebih dalam untuk melihat keterkaitan tersebut.
Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah Metro Jaya Kombespol
Martinus Sitompul mengatakan, penyidik telah berhasil melacak nomor ponsel
yang digunakan untuk meneror. Dalam pesan,
peneror mengaku anggota ISIS yang berasal dari Lampung Timur. Ancaman yang
disebar, antara lain, meledakkan pesawat di Bandar Udara Soekarno-Hatta dan
membunuh Presiden Joko Widodo.
Teror dimulai sejak menyebarnya pesan berantai dari nomor
085758905xxx pada Rabu lalu (18/3) yang berisi pesan: ''Pesawat Lufthansa
rute Jakarta–Berlin tergelincir saat take off di Bandara Soetta pukul 10.25,
diperkirakan semua tewas. Pak Nur Rakhman, pegawai ATC Soetta 085758905xxx''.
Langkah polisi itu menjadi bukti bahwa pemerintah serius
menanggapi ISIS. Namun, mantan Wakil Kepala BIN As'ad Said Ali mengatakan,
persoalan kelompok radikal ISIS tidak hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah
dan aparat keamanan. Pelibatan ormas-ormas Islam, seperti NU dan
Muhammadiyah, merupakan langkah yang bijaksana untuk memoderasi
pandangan-pandangan yang telanjur ekstrem dan membentengi lingkungan internal
masing-masing dari perembesan radikalisme.
As'ad yang akhir tahun lalu meluncurkan buku Al Qaeda: Kajian Sosial Politik, Ideologi,
dan Sepak Terjangnya mengungkapkan, ISIS yang kini menjadi isu global
merupakan kelanjutan dari organisasi garis keras Al Qaeda. Aksi mereka pada
dasarnya adalah bentuk perlawanan global kelompok radikal Islam terhadap
ketidakadilan dunia.
Dikatakan, isu yang mereka perjuangkan mampu menarik perhatian
anak-anak muda secara cepat dan mendunia karena mudah dicerna terkait dengan
ketidakadilan di Palestina, kesenjangan sosial-ekonomi di negara-negara
muslim, dan ekspansi budaya Barat yang dianggap merusak nilai-nilai Islam
seperti hedonism dan materialism.
Ada dua jenis teror di dunia, yaitu teror yang murni teror dan
teror yang bagian dari perang. Teror yang terjadi di Indonesia dalam kurun
sepuluh tahun terakhir setelah era Reformasi adalah teror yang murni teror
karena terjadi di negara damai. Teror yang merupakan bagian dari perang
seperti terjadi antara Israel dan Palestina.
Munculnya ISIS membuktikan bahwa terorisme masih manjadi ancaman
serius. Meskipun, para pelaku teror banyak yang ditembak, ditangkap, dan
dihukum. Kasus bom bunuh diri teranyar di masjid Polresta Cirebon pada Jumat,
15 April, tahun lalu diyakini dilakukan jaringan yang masih terkait dengan
kelompok teroris lama.
Semua sepakat. Aksi
ISIS seperti itu harus diberantas, namun tidak bisa dilakukan oleh aparat
kepolisian sendiri. Cara pengamanan dan
represif saja tidak cukup karena serangan teroris di Indonesia berwatak
idiologis.
Diakui atau tidak, penanganan kelompok yang menebar teror selama
ini masih mengacu kepada kekuatan senjata. Sementara peran serta masyarakat
sipil cenderung dipinggirkan dan bahkan diabaikan. Metode memberantas
terorisme di Indonesia selama ini masih sama dengan cara yang dilakukan
Amerika Serikat pada zaman George W. Bush, yaitu pre emptive action. Cara seperti itu justru memunculkan terorisme
baru karena menimbulkan dendam yang berkepanjangan.
Ada beberapa aspek dalam menangkal ISIS secara menyeluruh.
Pertama, pendekatan kewilayahan. Karena para pengikut ISIS di Indonesia
bergerak di ''bawah tanah'', penanganan tidak bisa ditempuh di ''atas
tanah''. Di sinilah pendekatan intelijen sangat diperlukan.
Kedua, aspek sekuriti. Tugas negara ialah menciptakan rasa aman
di masyarakat dari ancaman ISIS. Karena itu, penanganan semua kasus ISIS
harus dituntaskan. Namun, perlu diperhatikan, cara kekerasan bisa menimbulkan
masalah baru sehingga diperlukan pendekatan lain.
Ketiga, aspek regulasi. Untuk memberantas ISIS, tentu perlu
aturan yang cukup agar aparat bisa bergerak di lapangan dengan
langkah-langkah yang terukur. Jangan sampai langkah yang dilakukan aparat
justru dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Keempat, political will.
Dalam hal ini, kepala negara perlu tegas mengambil sikap dalam menangani ISIS
yang terus mengancam. Hanya kepala negara yang bisa menggerakkan semua elemen
bangsa Indonesia dalam rangka melakukan penanganan ISIS secara terpadu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar