Sampai Kapan Bergantung pada Raskin?
Posman Sibuea ; Guru Besar
Tetap
di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU;
Ketua Persatuan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Cabang
Sumatera Utara
|
KORAN
SINDO, 11 April 2015
Ketika pola konsumsi anak bangsa ini berhasil digiring seragam
dalam bingkai berasisasi, Raskin (beras untuk masyarakat miskin) semakin
sakti meredam inflasi. Raskin yang tidak disalurkan pada November dan
Desember 2014, tetapi diberi subsidi dalam bentuk BLSM mendorong harga eceran
beras naik sekitar Rp2.000-3.000/kg. Inflasi pun membuih menjadi 1,5% dan
2,46% masing-masing pada November dan Desember 2014.
Kelompok makanan menyumbang inflasi sebesar 0,64% dan beras
menempati posisi penyumbang terbesar, diikuti cabai merah, cabai rawit, ikan
segar, dan telur ayam ras. Warga miskin yang menerima uang pengganti Raskin
membeli beras ke pasar dan telah mengatrol harga eceran beras.
Program Raskin dapat meningkatkan akses pangan keluarga miskin
sekaligus memperkuat ketahanan pangan di tingkat individu. Kegiatan
perlindungan sosial yang dianggarkan pemerintah sebesar Rp18,8 triliun pada
APBN-P 2015 dibagikan kepada keluarga miskin selama 12 bulan. Setiap RTS-PM
yang terdaftar dan memiliki kartu Raskin dapat membeli Raskin seharga
Rp1.600/kg sebanyak 15 kg per RTS-PM.
Namun, setelah lebih 15 tahun berjalan program ini, ternyata
tidak memenuhi syarat “6T”, yang dijadikan sebagai indikator efektivitas
program yakni tepat sasaran, tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat
harga, dan tepat administrasi. Meski demikian, program Raskin dinilai masih
efektif memperkuat ketahanan pangan.
Sekitar 8-10% dari total beras yang dikonsumsi secara nasional
didistribusikan melalui program Raskin. Lantas, pertanyaannya, sampai kapan
kita bergantung pada Raskin? Sejak enam tahun lalu pemerintah sudah
mengeluarkan Perpres No 22 Tahun 2009 tentang Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal.
Lewat perpres ini, pemerintah seharusnya lebih serius mendorong
masyarakat melakukan diversifikasi konsumsi pangan untuk mengurangi
ketergantungan pada beras dan Raskin. Namun, sebaliknya, pemerintah justru
melakukan pembonsaian diversifikasi konsumsi pangan dengan tetap
mempertahankan program Raskin meski biayanya sangat mahal.
Untuk 2015, jumlah rumah tangga sasaran penerima manfaat
(RTS-PM) sebanyak 15,5 juta, yang artinya sekitar 60 juta jiwa penduduk
Indonesia tetap dikondisikan untuk tergantung pada beras. Masyarakat
Indonesia menjadi pengonsumsi beras tertinggi di dunia, mencapai 139
kg/kapita/tahun.
Supaya seluruh rakyat Indonesia dapat makan nasi (beras),
pemerintah setiap tahun melakukan impor beras. Pangsa pasar beras impor amat
jelas! Sekitar 95% penduduk bergantung pada beras mulai dari ujung timur hingga
ujung barat Indonesia. Sebagai kebutuhan pokok, rakyat menganggap beras
menjadikan hidup lebih hidup sehingga beras harus selalu tersedia sepanjang
segala abad.
“No rice no
glory“. Fenomena ini pun telah
mendarah-daging dalam kehidupan. Suka atau tidak suka, masyarakat sudah
terhipnotis oleh sihir beras yang demikian kuat memengaruhi pola konsumsi
pangan nasional.
Sumber Daya
lokal
Penghuni negeri ini terus bertambah 3,5 juta jiwa setiap tahun.
Pertumbuhan penduduk yang tinggi jika tidak diimbangi dengan ketersediaan
pangan berbasis lokal akan mendorong harga pangan makin mahal.
Kenaikan harga pangan akan dapat dicegah dengan melakukan
penganekaragaman konsumsi pangan berbasis sumber daya lokal. Pangan berbasis
sumberdaya lokal makin tergerus karena kian cepatnya alih fungsi lahan
pertanian belakangan ini. Saat ini lahan perkebunan kelapa sawit sudah lebih
luas dari lahan tanaman pangan.
Tidak tertutup kemungkinan hamparan luas sawah yang ada sekarang
akan terus mengalami konversi dan pertanian pangan akan mengalami degradasi
sumber daya lahan. Untuk itu, langkah solusi berikut diusulkan untuk
dilakukan yakni mengonkretkan pemanfaatan pekarangan untuk mengurangi
ketergantungan yang tinggi pada Raskin.
Dalam berbagai diskusi yang dilaksanakan di Dewan Ketahanan
Pangan terungkap bahwa berbagai upaya diversifikasi, salah satunya pemanfaatan
pekarangan, telah dilaksanakan sejak awal 1960-an.
Sajak itu telah dicanangkan program perbaikan gizi keluarga,
bekerja sama dengan lembaga asing seperti Organisasi Pangan dan Pertanian
Dunia (Food and Agriculture
Organization, FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization, WHO), dan Organisasi untuk
Kesejahteraan Anak (United Nation
Children’s Fund, UNICEF).
Program ini mencakup peningkatan kesadaran gizi dengan
pemanfaatan pekarangan untuk menghasilkan pangan hasil ternak dan ikan
sebagai sumber protein; sayuran dan buah sebagai sumber mineral.
Pada saat pemerintah mulai mengkhawatirkan pertumbuhan produksi
beras yang tidak bisa mengikuti pertambahan penduduk mulailah digagasi
pengembangan pekarangan dalam bentuk baru yakni Kawasan rumah pangan lestari
(KRPL) untuk meracik informasi dan pengetahuan bahwa beras dapat disubstitusi
dengan bahan pangan lokal nonberas dengan nilai gizi yang sama.
Jika pemerintah pada era 1970- an melakukan kampanye “Bukan
Hanya Beras” yang disertai dengan introduksi beras ketela, kedelai, jagung
(tekad), pada Era Reformasi ini diperkenalkan revolusi pangan lewat kampanye “One Day No Rice“ yang disertai dengan
pengembangan beras tiruan.
Namun, setelah program diversifikasi pangan berjalan lebih dari
lima puluh tahun, keberagaman produk pangan yang kita inginkan belum terwujud
dengan baik. Bila diukur menurut standar Pola Pangan Harapan (PPH) dengan
nilai ideal 100, keragaman pangan nasional baru mencapai nilai sekitar 83.
Pola konsumsi pangan warga sekitar 60% berbasis padi-padian yang
sebagian besar beras; lalu diikuti minyak dan lemak terutama bahan nabati,
pangan hewani terutama ikan, daging unggas dan telur; sayur dan buah;
kacang-kacangan seperti kedelai, kacang hijau, dan kacang tanah.
Dengan proporsi beras yang masih tinggi dan pangan hewani dan
buah yang masih rendah, tidak mengherankan bila pasokan beras kerap kurang
yang mudah memicu keresahan sosial.
Untuk itu, program-program percepatan penganekaragaman konsumsi
pangan untuk mengatrol kesadaran gizi lewat produk pangan beragam bergizi
seimbang dan aman (B2SA) harus tetap dilanjutkan, dengan bentuk dan
intensitas yang bervariasi dari waktu ke waktu. Di samping itu, untuk mencari
pengganti Raskin patut dilakukan upaya pengembangan berbagai produk pangan
baru berbasis sumber daya lokal.
Pengembangannya ke arah sumber karbohidrat khas daerah seperti
beras analog bebilar yang diproduksi Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika
Santo Thomas Medan untuk memberi alternatif pangan pilihan dalam rangka
memperkenalkan kearifan lokal “manggadong“
dari Sumatera Utara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar