Regenerasi Kepemimpinan Partai Politik
Asrinaldi A ; Dosen Ilmu
Politik FISIP Universitas Andalas, Padang
|
KOMPAS,
11 April 2015
Ada dua peristiwa politik nasional bulan April dan Mei ini yang
mendapat perhatian masyarakat, yaitu Kongres PDI Perjuangan dan Kongres
Partai Demokrat. Kedua partai politik ini akan memilih pemimpin baru untuk
lima tahun ke depan.
Tentu, bagi masyarakat yang mengamati sudah menduga tidak akan
ada kejutan terkait siapa yang memimpin kedua partai besar ini. Pasalnya,
suara kader kedua partai umumnya tetap menginginkan kepemimpinan tetap
diteruskan oleh ketua umum sekarang. Alasannya jelas, belum ada kader yang
dapat menandingi kebesaran nama Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang
Yudhoyono.
Ditambah lagi, kedua partai dan yang lain akan menghadapi agenda
strategis yang sudah menanti, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden
yang akan serentak dilaksanakan 2019. Dengan agenda strategis ini, tentu
dibutuhkan kepemimpinan partai yang kuat dan dapat menjaga soliditas partai.
Selain itu, ada juga perubahan besar yang akan berlangsung dalam
sistem kepolitikan nasional menyangkut perubahan terhadap UU parpol, pemilu,
serta kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD menjelang pelaksanaan pemilu serentak
itu. Dalam hal ini parpol akan bersaing memasukkan kepentingannya agar mereka
dengan mudah dapat mengikuti Pemilu Presiden 2019.
Namun, suksesi kepemimpinan parpol di Indonesia ini ternyata
menyisakan persoalan kritis terkait dengan regenerasi kepemimpinan di tubuh
partai politik. Jarang sekali partai politik mau mengubah cara pandangnya
terkait dengan kepemimpinan ini, terutama menghadirkan pemimpin baru yang
sudah disiapkan sebelumnya. Ada semacam ketakutan dari sejumlah elite partai
terhadap rendahnya nilai jual pemimpin baru ini di tengah masyarakat. Sulit
dinafikan, partai politik di Indonesia masih mengandalkan kekuatan figur ini
untuk menaikkan keterpilihannya dalam pemilu ketimbang sistem ideologi yang
dibangun untuk masyarakat.
Lihat saja PDI Perjuangan yang masih mengandalkan Megawati
sebagai simbol utama untuk meningkat dukungan massa kepada partai ini. Begitu
juga dengan Partai Demokrat yang masih sulit melepaskan diri dari Susilo
Bambang Yudhoyono. Bahkan, partai-partai baru, seperti Hanura, Gerindra, dan
Nasdem, juga sangat bergantung pada figur-figur pendiri, seperti Wiranto,
Prabowo Subianto, dan Surya Paloh.
Lemahkan kepemimpinan
Lemahnya kepemimpinan partai ini tidak hanya berdampak kepada
partai itu sendiri, tetapi juga pada kepemimpinan nasional. Jamak diketahui,
partai politik memiliki fungsi rekrutmen politik yang salah satu muaranya
adalah kepada lahirnya pemimpin-pemimpin yang unggul. Aspek ini mesti menjadi
perhatian partai politik sehingga dalam suksesi yang mereka lakukan tidak
hanya mengandalkan tokoh-tokoh lama sehingga memperlambat proses regenerasi
untuk kepemimpinan bangsa.
Dapat dilihat dari tiga pemilu terakhir, nyaris tidak ada wajah
baru kecuali Joko Widodo yang menang menjadi presiden.Itu pun karena
pertimbangan strategis PDI Perjuangan memberi ruang kepada Joko Widodo untuk
bisa meningkatkan suara PDI Perjuangan dalam pemilu legislatif. Hampir semua
calon presiden kita diisi oleh tokoh lama yang menghambat regenerasi
kepemimpinan nasional. Gejala ini semakin membuktikan macetnya regenerasi kepemimpinan
di tubuh partai politik kita.
Mengapa partai politik sulit melahirkan pemimpin baru dari
kalangan mereka? Sulit dinafikan bahwa pertimbangan pragmatis justru menjadi
dominan dalam menentukan pemimpin di partai politik. Karena itu, mendudukkan
kembali figur partai dalam kepengurusan menjadi pilihan yang mudah. Bahkan,
tidak jarang kelompok yang mendukung status quo di kepengurusan tetap ingin
memperjuangkan ketua lama karena pertimbangan keuntungan yang mereka
dapatkan.
Keadaan ini jelas mengancam masa depan partai politik, terutama
dari bangun sistem ideologi yang ditawarkan kepada pendukungnya. Barangkali,
bisa ditanyakan kepada kader partai politik di tingkat DPD atau DPW apakah
mereka paham dengan manifesto partai politik yang mereka ikuti. Banyak kader
yang akan tergagap menjawab soal ini. Fakta tersebut adalah implikasi dari
kuatnya loyalitas mereka kepada figur ketimbang loyalitas kepada partai.
Semua ini berhulu dari sistem ideologi partai yang masih lemah
sehingga dukungan mereka kepada partai juga rendah. Buktinya, berapa banyak
di antara kader partai politik yang mudah sekali pindah partai dengan hanya
mempertimbangkan keuntungan pribadi. Bahkan, kader partai yang pindah ini
adalah pengurus inti yang semestinya kita pahami sebagai kelompok yang sangat
loyal dan memahami nilai perjuangan partai.
Berlarutnya masalah regenerasi kepemimpinan di tubuh partai ini
juga berdampak pada menguatnya hubungan klientelisme di dalam partai.
Klientelisme ini berdampak buruk pada kemajuan partai. Salah satu akibat dari
klientelisme ini adalah menguatnya personalisasi partai yang digunakan untuk
kepentingan pribadi para pendiri partai.
Personalisasi yang berlangsung di tubuh partai ini justru
berdampak buruk pada pembuatan kebijakan di dalam partai yang cenderung
bersifat tertutup dan hegemoni. Ini kelemahan yang sangat nyata sekali dalam
sistem kepartaian kita. Ini jelas bertentangan dengan asas demokrasi di
internal partai. Namun, yang penting diketahui, partai adalah aset bangsa
dalam menghasilkan kepemimpinan nasional yang kuat. Tidak heran, akibat
kuatnya klientelisme ini justru memunculkan faksi-faksi di tubuh partai yang
muaranya pada persaingan kelompok dan konflik internal. Apa yang terjadi di
tubuh Golkar dan PPP adalah bukti nyata bahwa klientelisme ini menyebabkan
konflik yang sulit dicarikan titik temunya.
Membangun partai politik modern yang sehat tentu perlu proses
panjang. Namun, bukan berarti terjadi dengan sendirinya. Perlu ada rencana
yang matang dan konsisten dari pemimpin partai untuk menciptakannya. Andai
saja setiap partai politik dapat menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk
memimpin negara ini, tentu kita tidak akan kesulitan mencari calon presiden
yang berkualitas yang siap memajukan Indonesia ke depan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar