Rahasia
Megawati
Asvi Warman Adam
; Visiting Research Scholar pada CSEAS Kyoto
University
|
KORAN TEMPO, 13 April 2015
Megawati Soekarnoputri terpilih kembali secara aklamasi menjadi
Ketua Umum PDI Perjuangan. Ia sudah memimpin partai berlambang banteng itu
lebih dari 20 tahun. Apa rahasianya bisa bertahan lama dan partainya tetap
solid?
PDI Perjuangan berasal dari fusi PNI, Parkindo, Partai Katolik,
IPKI, dan Murba pada 1973. Secara teoretis, tentu sulit menyatukan aliran
nasionalis, Protestan, dan Katolik itu dalam satu wadah. Hal ini terlihat
dalam konflik pada awal fusi antar-unsur, bahkan intern unsur, terutama PNI.
Namun ada sebuah prinsip yang mempersatukan mereka. Semua
berasal dari partai yang, meskipun mengakui dan menghormati agama, di dalam
sidang Konstituante tahun 1957 menolak agama dijadikan dasar negara. Sejak
1966, rezim Orde Baru melakukan desukarnoisasi—segala sesuatu berbau Sukarno
disingkirkan.
Tidak aneh jika 20 tahun setelah dibungkam, pada Pemilu 1987,
ikon Sukarno menjadi pilihan rakyat, partai memperoleh lonjakan suara.
Tekanan yang semakin keras dari penguasa, seperti yang terjadi dalam kasus
penyerangan kantor PDI pada27 Juli 1996, menyebabkan pengurus dan kader
partai semakin bersatu. Simpati rakyat muncul, terdengar suara "Mbak
Mega, saya ikut sampeyan". Kini fusi itu sudah mengkristal dengan
dijadikan PDI Perjuangan sebagai rumah besar kaum nasionalis yang bersifat
pluralis, terbuka, dan toleran.
Berbeda dengan pemimpin partai lain, Megawati boleh dikatakan
memimpin partai dari hari ke hari, tidak cuma lima tahun sekali. Ia
mendisiplinkan pengurus dan kader partai sampai pada hal yang mungkin
dianggap sepele, ruang rapat di kantor PDI Perjuangan Lenteng Agung tidak
boleh berbau asap rokok. Pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, PDI
Perjuangan mengambil sikap oposisi. Konsekuensi sebagai partai oposisi, PDI
Perjuangan tidak menempatkan para kadernya pada jabatan-jabatan struktural
pemerintah/ eksekutif di tingkat nasional, termasuk kabinet. Dan ini dilaksanakan
kader partai secara konsisten.
Yang menarik, Taufiq Kiemas membuat terobosan segar dengan
menerima posisi sebagai pemimpin lembaga tinggi negara, yakni Ketua MPR.
Selain itu, dapat pula diselenggarakan secara resmi peringatan Pidato Bung
Karno 1 Juni. Pada masa yang akan datang, seyogianya Presiden Joko Widodo
menetapkan (kembali) tanggal 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila.
Setelah menjadi oposisi selama dua periode kepresidenan Susilo
Bambang Yudhoyono, partai ini memenangi Pemilihan Umum 2014 yang dilengkapi
dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden. Kemenangan ganda ini tidak
terlepas dari perubahan yang dibuat, yakni mengambil "darah segar"
dari luar pengurus partai.
Memang PDI Perjuangan tidak bisa dilepaskan dari Bung Karno,
karena salah satu elemen utamanya adalah PNI yang didirikan oleh Sukarno pada
1927. Dipenjarakannya Sukarno pada 1930 menyebabkan partai yang didirikannya
dibubarkan. Setelah Indonesia merdeka, PNI yang dibentuk kembali juga
memiliki kedekatan dengan Bung Karno. Meletusnya peristiwa G30S/1965 yang
disebut Bung Karno dengan "Gestok" menyebabkan secara bertahap
kekuasaan Presiden Sukarno dipreteli dan PNI menjadi bulan-bulanan penguasa.
Penyederhanaan partai yang dikehendaki rezim Orde Baru menyebabkan terjadinya
fusi antara PNI dan beberapa partai lainnya pada 1973.
Setelah sekian lama memimpin partai dan putrinya sendiri menjadi
pengurus utama partai, terdengar tudingan tentang dinasti Sukarno dalam PDI
Perjuangan. Hal ini ditanggapi dengan kebijakan baru seperti yang disampaikan
Megawati dalam pidato pada hari ulang tahun PDI Perjuangan di Palembang, 31
Januari 2008. Yaitu melakukan kombinasi dalam mengelola posisi partai yang
memiliki massa tradisional yang masih melihat penting figur kharismatik di
satu sisi, dengan tuntutan masyarakat yang lebih luas untuk menjadikan PDI
Perjuangan sebagai partai modern di sisi lain.
Untuk memenuhi sumber daya manusia yang kompeten, menurut
Megawati, "kader partai harus ditingkatkan kualitasnya dengan dua cara:
kaderisasi dan membuka diri terhadap 'darah segar'... Darah segar itu
haruslah yang punya persamaan ideologi. Darah segar haruslah yang dapat
memberi 'nilai tambah' bagi partai dan memperkuat barisan partai."
Jika PDI Perjuangan menjalankan politik dinasti, kata Jokowi,
PDI Perjuangan tak mungkin mencalonkannya sebagai presiden pada pemilihan
presiden 2014. "Saya itu
regenerasi, bukan? Iya. Saya itu trah Bung Karno, bukan? Ndak kan? Jadi masa
depan partai ini akan ditentukan dari keberhasilan melakukan pengkaderan dan
mendapatkan darah segar."
Apakah darah segar itu akan terlihat dalam kepengurusan partai atau calon-calon
kepala daerah mendatang? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar