Politik Muka Dua di Kisruh Partai Golkar
Muhammadun ; Peneliti Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PW NU
DI Jogjakarta;
Analis pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta
|
JAWA
POS, 31 Maret 2015
''Sepertinya
jauh lebih mudah menentukan karakter seorang musuh dengan menunjukkan
kemunafikannya daripada menunjukkan kesalahan keyakinan politiknya.'' (Judith Shklar dalam Ordinary Vices, 1984).
Drama politik Partai Golkar
menjadi tontonan buruk dalam demokrasi kita. Rebutan ruang fraksi di parlemen
membuktikan bahwa partai politik terjebak dalam rebutan kekuasaan, bahkan
dalam internal sendiri. Kalau internal saja rebutan, lalu rakyat mau dapat
apa dari negara ini?
Di tengah kondisi politik yang
penuh ''sangka'' ini, politisi sering kali bermain dalam dua kaki alias
memainkan politik muka dua. Dalam istilah pewayangan, mereka memainkan peran
dasamuka politik. ''Esuk tempe, sore dele,'' pagi-pagi bicara A, sorenya
sudah bicara B. Bola panas dalam kisruh Partai Golkar akan menyeret para
politikus lain, baik di Istana Negara maupun Senayan, dalam berjibaku menjadi
dasamuka, bicara sesuai kepentingan, tidak pernah memedulikan apa yang
dikatakan sebelumnya. Untung rugi tidak lagi bersandar pada kepentingan
rakyat, tetapi berdasar kursi dan jabatan masing-masing.
Dari sini, tepat yang dikatakan
Judith Shklar di atas bahwa semua akan ''menyerang'' satu dengan yang lain.
Rakyat hanya menjadi penonton yang diabaikan suaranya. Semua saling
menunjukkan kemunafikan berpolitik, bukan lagi ideologi (keyakinan) berpolitik.
Politik
Muka Dua
Dalam kisruh partai politik,
jebakan politik muka dua akan menyerang siapa saja yang berhasrat untuk
kekuasaan. Satu pihak dengan pihak lain sama-sama ''mengamankan'' posisi dan
kepentingan, maka di situlah politik muka dua bersemayam.
Menurut David Runciman dalam buku Political Hypocrisy: The Mask of Power,
from Hobbes to Orwell and Beyond (2010), politik muka dua merupakan
cermin kemunafikan politisi. Di atas panggung politik, para politikus
berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya. Sementara itu,
di luar panggung politik, kepandaian mereka yang menampilkan lebih dari satu
wajah menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya.
Mereka hanya menunjukkan wajah
kebaikan yang diharapkan, sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk
mendapatkan tepuk tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha
memainkan peran seperti itu, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang
menyuguhkan penipuan.
Dalam agama, Moh Ilham A. Hamudy
(2014) melihat kemunafikan itu juga dikritik dengan sangat pedas. Imam Muslim
pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda,
''Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua
yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka
lain.''
Di sini, Nabi tidak hanya mengecam
orang yang bermuka dua sebagai orang yang termasuk dalam jajaran orang-orang
terburuk di sisi Allah, tetapi beliau juga mengancam mereka dengan neraka!
Bahkan, dalam riwayat lain disebutkan, ''Barang siapa yang mempunyai dua muka
di dunia, pada hari kiamat kelak dia diberi dua mulut dari api neraka.'' (HR
Abu Dawud dan Ad-Darimi dari Ammar bin Yasir).
Kritik keras ini menunjukkan bahwa
politik muka dua menjadi penyebab hancurnya sebuah tatanan kebangsaan dan
kenegaraan. Kalau partai politik menjerumuskan dirinya bersemayam dalam
politik muka dua, akan lahir para bandit yang merusak bangsa tercinta ini.
Tragisnya, semua dilakukan atas nama rakyat!
Khitah
Partai
Bersemayamnya politik muka dua
dalam berbagai kisruh partai politik harus menjadi catatan penting bangsa ini
untuk menatap satu abad Indonesia, 2045. Kalau salah kelola, partai politik
hari ini bisa menghancurkan mimpi kita untuk membangun satu abad Indonesia
menjadi lebih baik dan bermartabat, baik secara regional maupun global.
Dalam konteks ini, partai politik
harus kembali kepada khitah perjuangannya. Sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun
2008, khitah partai politik adalah berjuang dan membela kepentingan bangsa
dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Sementara itu, tujuan partai politik adalah sarana komunikasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik.
Khitah partai politik ini harus
diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, jangan sampai justru digunakan untuk
kepentingan pribadi dan sesaat. Menurut Prof Saldi Isra (2014), untuk
membangun kembali partai politik, perundang-undangan yang mengatur partai
politik harus diperbaiki. Namun, memang ada hal yang tak bisa dihindari,
yakni proses pembuatan undang-undang yang bias kepentingan dari partai
politik. Maka, untuk memperbaiki kondisi tersebut, keseriusan DPR mutlak
dibutuhkan. Perbaikan perundang-undangan sangat bergantung pada keseriusan
para politikus yang duduk di DPR yang memang memiliki kewenangan untuk
membentuk undang-undang. Pertanyaannya, mau atau tidak mereka mengatur diri
mereka sendiri. Bila hal itu tidak segera diperbaiki, proses politik biaya
tinggi dan konflik partai akan terus terjadi.
Harus sekarang juga partai politik
diperbaiki. Tanggung jawab wakil rakyat harus dibuktikan sehingga amanah
rakyat benar-benar dijalankan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar