Kamis, 02 April 2015

Politik Muka Dua di Kisruh Partai Golkar

Politik Muka Dua di Kisruh Partai Golkar

Muhammadun  ;  Peneliti Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) PW NU DI Jogjakarta;
Analis pada Program Pascasarjana UIN Jogjakarta
JAWA POS, 31 Maret 2015

                                                                                                                                     
                                                                                                                                                           

''Sepertinya jauh lebih mudah menentukan karakter seorang musuh dengan menunjukkan kemunafikannya daripada menunjukkan kesalahan keyakinan politiknya.'' (Judith Shklar dalam Ordinary Vices, 1984).

Drama politik Partai Golkar menjadi tontonan buruk dalam demokrasi kita. Rebutan ruang fraksi di parlemen membuktikan bahwa partai politik terjebak dalam rebutan kekuasaan, bahkan dalam internal sendiri. Kalau internal saja rebutan, lalu rakyat mau dapat apa dari negara ini?

Di tengah kondisi politik yang penuh ''sangka'' ini, politisi sering kali bermain dalam dua kaki alias memainkan politik muka dua. Dalam istilah pewayangan, mereka memainkan peran dasamuka politik. ''Esuk tempe, sore dele,'' pagi-pagi bicara A, sorenya sudah bicara B. Bola panas dalam kisruh Partai Golkar akan menyeret para politikus lain, baik di Istana Negara maupun Senayan, dalam berjibaku menjadi dasamuka, bicara sesuai kepentingan, tidak pernah memedulikan apa yang dikatakan sebelumnya. Untung rugi tidak lagi bersandar pada kepentingan rakyat, tetapi berdasar kursi dan jabatan masing-masing.

Dari sini, tepat yang dikatakan Judith Shklar di atas bahwa semua akan ''menyerang'' satu dengan yang lain. Rakyat hanya menjadi penonton yang diabaikan suaranya. Semua saling menunjukkan kemunafikan berpolitik, bukan lagi ideologi (keyakinan) berpolitik.

Politik Muka Dua

Dalam kisruh partai politik, jebakan politik muka dua akan menyerang siapa saja yang berhasrat untuk kekuasaan. Satu pihak dengan pihak lain sama-sama ''mengamankan'' posisi dan kepentingan, maka di situlah politik muka dua bersemayam.

Menurut David Runciman dalam buku Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond (2010), politik muka dua merupakan cermin kemunafikan politisi. Di atas panggung politik, para politikus berpura-pura memainkan peran yang sama sekali bukan dirinya. Sementara itu, di luar panggung politik, kepandaian mereka yang menampilkan lebih dari satu wajah menimbulkan potensi tidak dapat dipercaya.

Mereka hanya menunjukkan wajah kebaikan yang diharapkan, sering bukan wajah yang sesungguhnya, untuk mendapatkan tepuk tangan meriah pendukung dan meredam pengkritiknya. Usaha memainkan peran seperti itu, menurut Runciman, adalah kemunafikan yang menyuguhkan penipuan.

Dalam agama, Moh Ilham A. Hamudy (2014) melihat kemunafikan itu juga dikritik dengan sangat pedas. Imam Muslim pernah meriwayatkan dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya, termasuk orang yang paling buruk adalah orang bermuka dua yang mendatangi mereka dengan satu muka dan mendatangi yang lain dengan muka lain.''

Di sini, Nabi tidak hanya mengecam orang yang bermuka dua sebagai orang yang termasuk dalam jajaran orang-orang terburuk di sisi Allah, tetapi beliau juga mengancam mereka dengan neraka! Bahkan, dalam riwayat lain disebutkan, ''Barang siapa yang mempunyai dua muka di dunia, pada hari kiamat kelak dia diberi dua mulut dari api neraka.'' (HR Abu Dawud dan Ad-Darimi dari Ammar bin Yasir).

Kritik keras ini menunjukkan bahwa politik muka dua menjadi penyebab hancurnya sebuah tatanan kebangsaan dan kenegaraan. Kalau partai politik menjerumuskan dirinya bersemayam dalam politik muka dua, akan lahir para bandit yang merusak bangsa tercinta ini. Tragisnya, semua dilakukan atas nama rakyat!

Khitah Partai

Bersemayamnya politik muka dua dalam berbagai kisruh partai politik harus menjadi catatan penting bangsa ini untuk menatap satu abad Indonesia, 2045. Kalau salah kelola, partai politik hari ini bisa menghancurkan mimpi kita untuk membangun satu abad Indonesia menjadi lebih baik dan bermartabat, baik secara regional maupun global.

Dalam konteks ini, partai politik harus kembali kepada khitah perjuangannya. Sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2008, khitah partai politik adalah berjuang dan membela kepentingan bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasar Pancasila dan UUD 1945. Sementara itu, tujuan partai politik adalah sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik.

Khitah partai politik ini harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh, jangan sampai justru digunakan untuk kepentingan pribadi dan sesaat. Menurut Prof Saldi Isra (2014), untuk membangun kembali partai politik, perundang-undangan yang mengatur partai politik harus diperbaiki. Namun, memang ada hal yang tak bisa dihindari, yakni proses pembuatan undang-undang yang bias kepentingan dari partai politik. Maka, untuk memperbaiki kondisi tersebut, keseriusan DPR mutlak dibutuhkan. Perbaikan perundang-undangan sangat bergantung pada keseriusan para politikus yang duduk di DPR yang memang memiliki kewenangan untuk membentuk undang-undang. Pertanyaannya, mau atau tidak mereka mengatur diri mereka sendiri. Bila hal itu tidak segera diperbaiki, proses politik biaya tinggi dan konflik partai akan terus terjadi.

Harus sekarang juga partai politik diperbaiki. Tanggung jawab wakil rakyat harus dibuktikan sehingga amanah rakyat benar-benar dijalankan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar