Pertanyaan
Sudharmono
Emil Salim ; Mantan Menteri Lingkungan Hidup
|
KOMPAS, 15 April 2015
Birokrat suka menerjemahkan "suatu aktivitas" dalam
bentuk "proyek pembangunan" karena sifatnya konkret dan memudahkan
penuangannya dalam wujud nilai anggaran. Lebih-lebih jika ada dana
ekstra-budgeter, "lahirlah" macam-macam usul proyek pembangunan
untuk disetujui presiden.
Kita kenal Sudharmono dalam berbagai jabatan penting, seperti
Wakil Presiden (1987-1993), Sekretaris Kabinet dan Sekretaris Negara sejak
Kabinet Soeharto dibentuk 1968-1986, di samping berbagai kedudukan selaku
Ketua Tim P-7, Ketua Tim Pengendali Pengadaan Barang/Peralatan Pemerintah
atau Tim Keppres 10, dan Ketua Umum Golkar. Kali ini ingin kita angkat peran
Sudharmono sebagai Sekretaris Negara merangkap Ketua Keppres 10 yang
bertindak sebagai "penyaring proyek" sebelum usul proyek sampai di
meja presiden.
Adalah kebiasaan Sudharmono menyambut setiap usul proyek
pembangunan dengan delapan pertanyaan penting. Pertanyaan pertama, "Apakah
dan mengapakah proyek itu perlu?" Ini memaksa kita menjelaskan sifat
prioritas proyek.
Pertanyaan kedua adalah, "Apakah proyek itu perlu sekarang,
apakah tidak ada proyek yang lebih urgen?" Untuk menjawabnya, kita perlu
jelaskan urgensi proyek ini yang lebih unggul daripada proyek-proyek lain.
Lalu, menyusul pertanyaan ketiga, "Apakah perlu biaya
sebesar itu, apakah ongkosnya tidak bisa diturunkan?" Ini memaksa kita
menjawab keefektifan biaya yang sudah diperhitungkan.
Minta dicatat
Pertanyaan keempat, "Ketika ada komponen impor atau
penggunaan tenaga asing, mengapa tidak digunakan tenaga dan barang dalam
negeri?" Ketika dijelaskan bahwa produk dan jasa saingan asing lebih
murah dalam tender terbuka, lahir pertanyaan kelima, "Apakah sudah
diselidiki mengapa harga pesaing luar negeri lebih murah dan adakah usul
untuk mengatasinya?" Apabila dijelaskan bahwa ketentuan peraturan tender
menyamaratakan tolok ukur harga barang dan jasa impor dengan harga barang dan
jasa dalam negeri, Sudharmono minta ini dicatat untuk dikaji lebih dalam oleh
Tim Keppres 10.
Hasil telaahan Tim Keppres 10
kemudian menyimpulkan bahwa pengusaha jasa dan produsen dalam negeri
bisa kompetitif jika memperoleh margin of preference berupa 15-20 persen di
atas harga pesaing asing yang berlaku, terutama untuk sektor strategis yang
ingin didorong produksinya oleh tenaga dalam negeri. Hal ini disebabkan
ketertinggalan kita dalam pembangunan sehingga seorang petinju nasional yang
juara, seperti Elias Pical, yang masih menderita kekurangan gizi di Tanah
Air, akan sulit bertanding dengan petinju Amerika Serikat yang juara, seperti
Muhammad Ali, yang serba berkecukupan pangan bergizi, peralatan latihan,
teknologi, dan lain-lain. Karena itu, pengusaha nasional perlu didongkrak memperoleh kemudahan berupa margin of preference dalam tender.
Pertanyaan keenam, "Apakah proyek sudah memiliki studi
kelayakan dan lain-lain studi yang diperlukan, seperti analisis mengenai
dampak lingkungan, dan lain-lain?"
Kita perlu siap dengan dokumen-dokumen yang diperlukan untuk
membuktikan kelayakan proyek ini. Sekurang-kurangnya perlu studi
prafeasibilitas proyek untuk memberi gambaran potensi kelayakan proyek.
Pertanyaan ketujuh, "Apakah proyek ini menghasilkan produk
barang dan jasa yang bisa dijual (marketable)
dan bisa bersaing dengan barang impor luar negeri?" Baik untuk
substitusi impor maupun untuk barang ekspor, kita perlu jelaskan potensi
keunggulan bersaingnya proyek yang diusulkan, antara lain dengan meningkatkan
nilai tambah pada produk alamiah tropis Tanah Air kita.
Produk dalam negeri
Pertanyaan kedelapan, "Bisakah proyek ini menggunakan
produk dan tenaga ahli dalam negeri?" Terselip di sini keinginan
mengutamakan produk dan jasa dalam negeri. Dan, di sinilah tampak peran
strategis Tim Keppres 10 untuk tidak hanya mengusahakan efisiensi dan
penghematan penggunaan dana negara, tetapi juga berusaha memanfaatkan
kekuatan pembiayaan proyek sebagai kesempatan mengembangkan potensi dan
produksi nasional.
Para pengusaha nasional yang pada 2015 ini berusia 60-70-an
berhasil jadi besar dalam iklim usaha yang diciptakan di tahun 1980-an oleh
Tim Keppres 10. Tim ini berhasil menggunakan wewenang menyalurkan dana negara
dan dana badan usaha milik negara untuk (1) mengefisienkan anggaran negara
untuk digunakan bagi usaha yang sungguh-sungguh layak dan urgen; (2)
mendorong pejabat pemerintahan dan BUMN berperilaku rasional berperhitungan
dalam menggunakan dana pubik mengikuti prioritas pembangunan; (3) menggunakan
penentuan tender dan pembelian barang dan jasa untuk mendorong berkembangnya
kekuatan pengusaha nasional yang andal.
Di balik sistem kerja Tim Keppres 10 terdapat kesatuan tindak
antara sektor keuangan di bawah Menteri Keuangan (Ali Wardhana) dengan sektor
riil di bawah Menko Ekuin-Ketua Bappenas (Widjojo Nitisastro) ditopang oleh
pengembangan penatalaksanaan pembangunan di bawah Menteri Sekretaris Negara
merangkap Ketua Tim Keppres 10. Semua bekerja mengikuti tahap-tahap Rencana
Pembangunan Lima Tahun yang bekerja mengikuti tahapan pembangunan jangka
panjang sesuai dengan Garis-garis Besar Haluan Negara.
Jika pada 1960-an Indonesia dikenal sebagai
"Negara-yang-paling-sakit-di-Asia", setelah meliwati krisis inflasi
dan pangan pada 1970-an, Indonesia mulai bergerak maju dan pada 1980-an
menjadi negara yang diperhitungkan di kawasan Asia.
Hal ini menunjukkan bahwa betapapun sulit keadaan yang kita
hadapi, bangsa Indonesia memiliki potensi bisa maju mengatasi tantangan
kesulitan untuk kemudian maju dengan kemampuannya sendiri. Selama kita
percaya bahwa bangsa Indonesia memiliki potensi ini, kita bisa hadapi
tantangan pembangunan masa depan mengikuti semangat jawaban atas pertanyaan
Sudharmono. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar