Perangkap Kenaikan HPP
M Husein Sawit
; Mantan Ketua
Forum Komunikasi Profesor Riset
Kementerian Pertanian; Senior Advisor Perum Bulog 2003-2010
|
KOMPAS,
01 April 2015
Pemerintah
akhirnya mengumumkan kenaikan harga pembelian pemerintah gabah/beras. HPP
beras menjadi Rp 7.300 per kilogram, naik 11 persen daripada HPP lama. Pengumuman
itu disampaikan Presiden Joko Widodo di hadapan para petani di Indramayu,
Jawa Barat (Kompas, 19/3). Sebelumnya, Presiden mengatakan, kenaikan harga
pembelian pemerintah (HPP) didasarkan informasi berbagai sumber, seperti
petani, bupati, dan gubernur (Kompas, 7/3). Melihat tempat pengumuman dan
sumber informasi yang dirujuk dalam memutuskan kenaikan HPP, semakin kental
muatan politiknya, semakin minim pertimbangan ekonomi/daya saing.
HPP yang
diumumkan itu, HPP kualitas tunggal, beras kualitas rendah, yang diterapkan
di Indonesia sejak 45 tahun lalu. HPP ini jauh lebih tinggi daripada harga ekspor
beras Thailand atau Vietnam. Rata-rata harga beras kualitas premium (FOB
Bangkok) 423 dollar AS per ton pada 2014. HPP beras yang baru setara dengan
FOB Jakarta, 617 dollar AS per ton, lebih tinggi hampir 50 persen. Padahal,
harga beras di pasar internasional cenderung turun.
HPP menjadi
referensi pihak penggilingan padi dan pedagang, pembentuk harga beras di
pasar. Kalau HPP beras kualitas rendah naik, akan diikuti kenaikan harga
beras untuk semua jenis kualitas. Harga beras beruntun akan naik, mulai dari
tingkat usaha tani, penggilingan padi, pasar grosir/eceran, hingga konsumen.
Kebijakan
dukungan harga untuk komoditas padi sudah lama diterapkan di Indonesia. Pada
pertengahan 1960-an, pemerintah mendorong petani meningkatkan produksi dengan
memberikan sejumlah insentif. Pada awalnya hanya dikenal insentif non-harga,
seperti varietas unggul, pemupukan, dan pemberantasan hama/penyakit.
Namun,
kebijakan non-harga saja ternyata belum cukup ampuh mendorong petani untuk
meningkatkan produksi padi. Pada waktu produksi berlimpah, terutama pada
musim panen raya, harga gabah sering berada di bawah ongkos produksi, petani
menjadi kapok mengikuti anjuran pemerintah. Menyadari hal itu, pemerintah
menambah dengan insentif harga dasar gabah/beras yang mulai diterapkan pada
musim tanam 1969/1970.
Harga dasar
diubah menjadi HPP pada 2005. HPP berbeda dengan harga dasar, pemerintah
hanya membeli beras dalam jumlah tertentu sesuai kebutuhan penyaluran.
Walaupun insentif harga berganti nama, berbeda fokus, tetapi persyaratan
kualitas beras HPP sama seperti yang diterapkan 45 tahun lalu. Kecuali
persyaratan butir patah yang sebelumnya 25 persen dinaikkan menjadi maksimum
20 persen, persyaratan kualitas lain tetap sama: derajat sosoh (minimum 95
persen), butir menir (maksimum 2 persen), dan kadar air (maksimum 14 persen).
Itu persyaratan beras kualitas rendah.
Kini, situasi
pasar beras di dalam negeri banyak berubah seiring peningkatan pendapatan
masyarakat dan berkurangnya jumlah orang miskin. Beras kualitas bagus kian banyak
diminati tidak hanya oleh masyarakat kota, tetapi juga masyarakat desa,
menjadi penentu harga beras di 66 pasar referensi inflasi.
Pengadaan Bulog
Pengadaan
gabah/beras dalam negeri Bulog berkaitan erat dengan besaran HPP, harga
pasar, dan pertumbuhan produksi padi. Proporsi pengadaan setara beras Bulog
pada musim panen raya (rata-rata 66 persen), musim panen gadu (30 persen),
dan panen musim paceklik (4 persen). Itu terkait perkembangan harga dan
kualitas gabah/beras, yaitu rendah pada periode panen raya (Februari-Mei),
mencapai puncaknya tinggi periode Oktober-Januari (panen musim paceklik).
Saat pemerintah menerapkan HPP tunggal (beras kualitas rendah) sama harganya
sepanjang tahun, penetapan HPP itu "melawan" pergerakan harga
gabah/beras antarmusim.
Jadi,
kualitas beras pengadaan Bulog menjadi taruhannya, apalagi jika Bulog
didorong pengadaan besar, lebih dari 2,5 juta ton beras per tahun. Salah urus
di lapangan akan tinggi.
Implikasi
dari kenaikan HPP beras kualitas rendah sangat luas. Pertama, pangsa pasar
beras kualitas rendah semakin menarik buat penggilingan padi kecil/sederhana
(PPK/S) sebagai produsen beras mutu rendah yang jumlahnya dominan, 93 persen
dari jumlah penggilingan padi. Semakin banyak pengadaan Bulog, semakin besar
pangsa pasar buat mereka, semakin enggan PPK/S memperbaiki/melengkapi alat
mesin dan penggunaan mesin pengering (dryers).
Kedua, susut
pada tahap pengeringan dan penggilingan sebesar 6,52 persen akan sulit
diturunkan, rendemen giling juga sulit ditingkatkan di atas 62,74 persen.
Pada saat yang sama, modernisasi PPK/S sulit terealisasi. Ketiga, kalau
liberalisasi pasar ASEAN diimplementasikan, akan mempercepat tutup usaha
PPK/S dan menurunkan harga gabah tingkat petani.
Pemerintah
sebelumnya juga gagal meraih kembali swasembada beras, sebagian disumbangkan
oleh penerapan HPP tunggal. Itu telah menciptakan disinsentif buat pelaku
usaha untuk menekan susut pasca panen, meningkatkan rendemen giling, dan
memperbaiki kualitas beras. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar