Sabtu, 18 April 2015

Mengamankan Produksi Migas Blok Mahakam

Mengamankan Produksi Migas Blok Mahakam

Andang Bachtiar  ;  Anggota Dewan Energi Nasional
KORAN TEMPO, 17 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Di DPR, Rabu (8 April) lalu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said telah menyampaikan bahwa draf head of agreement (HoA) Pertamina, Total, dan Inpex sebagai payung hukum bagi proses transisi pengelolaan Blok Mahakam akan segera ditandatangani. Salah satu poin penting yang perlu secara tegas diatur dalam HoA tersebut adalah klausul yang dapat memastikan bahwa selama masa transisi dapat dilakukan langkah-langkah strategis yang dapat memastikan bahwa selama masa ini tidak terjadi penurunan produksi migas karena tidak adanya investasi dan upaya untuk menjaga kelangsungan produksi pada saat akhir masa kontrak.

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, terdapat kekhawatiran bahwa, selama masa transisi, kontraktor Blok Mahakam saat ini, yaitu Total dan Inpex, tidak melakukan investasi pada akhir masa kontrak mereka sehingga stabilitas produksi di Blok Mahakam terganggu. Bila kekhawatiran tersebut terbukti, dibutuhkan waktu 5-8 tahun lagi untuk menaikkan produksi yang tentunya akan berdampak negatif terhadap ketahanan energi nasional.

Terlepas dari keyakinan Menteri ESDM bahwa Total dan Inpex tidak akan mengorbankan reputasi mereka dengan tidak memastikan stabilitas produksi, tapi bila di dalam kontrak belum terdapat kejelasan tentang tanggung jawab operator dalam masa transisi, pemerintah perlu melakukan terobosan hukum demi menjamin ketahanan energi nasional. Terobosan tersebut perlu menjadi salah satu poin yang secara tegas diletakkan di dalam HoA.

Tentunya terobosan hukum dalam hal ini sangat berbeda dengan kasus "nasionalisasi" migas Venezuela oleh pemerintah Chavez yang "memaksa" perubahan kepemilikan saham utama dalam penguasaan blok, sehingga dianggap merugikan sebagian besar pemain migas utama di negara tersebut.

Dalam konteks Indonesia, terobosan hukum yang diusulkan hanya dalam rangka memastikan bahwa kontraktor menjalankan kewajibannya sesuai dengan asas kepatutan. Hal ini tentunya tidak akan merugikan operator, karena tidak ada hak mereka yang diambil. Negara hanya memastikan bahwa kewajiban operator dijalankan secara patut, sehingga jumlah produksi dalam masa akhir kontrak tidak terganggu akibat keengganan operator untuk berinvestasi, mengingat mereka tidak lagi melanjutkan kontrak yang ada.

Bila belum diatur secara tegas, terobosan hukum yang diusulkan dapat mempertimbangkan dua opsi berikut demi menjamin stabilitas produksi pada masa transisi.

Opsi pertama adalah memastikan operator saat ini menjalankan tugasnya dengan baik. Seperti yang pernah disampaikan oleh Kepala Unit Pengendali Kinerja Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Widyawan Prawiraadja, bahwa Total memiliki beberapa kewajiban, antara lain melaksanakan rencana yang telah dirancang dalam rencana kerja dan anggaran hingga berakhirnya masa kontrak.

Peran pemerintah dalam hal ini secara tegas dapat dimasukkan ke HoA, yaitu memastikan rencana kerja yang dimaksud dilakukan secara konsisten. Dalam hal ini, perlu kiranya pemerintah memberikan informasi kepada publik ihwal kewajiban-kewajiban apa yang dimiliki oleh operator pada masa transisi, sehingga tidak timbul prasangka negatif terhadap operator.

Tentunya kedua perusahaan transnasional tersebut memiliki reputasi yang perlu dijaga, sehingga terbukanya informasi ini penting pula bagi mereka dalam rangka mempertanggungjawabkan reputasi mereka. Di sisi lain, publik dapat turut membantu memantau sejauh mana seluruh kewajiban yang ada hingga akhir masa kontrak telah dijalankan secara utuh.

Bila ternyata kontrak tidak secara tegas mewajibkan investasi selama masa akhir kontrak, opsi lain yang perlu dipertimbangkan untuk menjadi bagian dari HoA adalah memberikan peluang bagi Pertamina sebagai pihak yang akan mengambil alih fungsi sebagai operator untuk mulai terlibat di dalam proses produksi.

Untuk opsi ini, Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto pernah menyampaikan bahwa Pertamina memerlukan investasi dan untuk itu tidak tertutup kemungkinan investasi berasal dari kerja sama dengan pihak lain. Hal ini nantinya perlu dibicarakan secara lebih teknis, sehingga tujuan akhir, yaitu mengamankan produksi migas nasional, tetap tercapai.

Penanganan yang tepat dalam kasus Blok Mahakam menjadi sangat krusial, mengingat dalam kurun 2015-2020, selain Blok Mahakam, terdapat 22 blok produksi migas lainnya yang juga akan habis masa kontraknya dengan operator yang ada saat ini.

Ke depannya, seluruh kontrak harus belajar dari kasus ini dan memberi perhatian khusus pada masa transisi peralihan operator. Jika pemerintah mengambil langkah-langkah yang tepat, kekhawatiran akan penurunan produksi setelah berakhirnya kontrak tentunya tidak perlu terjadi.

Akhirnya, pemerintah perlu secara terbuka menyampaikan persoalan yang ada terkait dengan masa transisi pengelolaan blok-blok migas, opsi-opsi yang dimiliki, serta alasan keputusan yang akhirnya diambil. Akuntabilitas pemerintah sebagai pengelola sumber daya alam penting, seperti migas, kepada masyarakat sebagai pemiliknya adalah suatu hal yang diwajibkan oleh konstitusi dan tidak dapat diabaikan.

Dengan demikian, kekhawatiran berbagai pihak, termasuk dari pemerintah sendiri, terhadap kesiapan Indonesia mengambil alih operatorship Blok Mahakam maupun blok-blok produksi migas lainnya dalam lima tahun ke depan adalah kekhawatiran yang salah. Ini hanya karena ketidaktahuan akan proses yang terjadi dan implikasi hukum dari kontrak PSC selama ini yang memungkinkan teknologi dan SDM yang sudah ada itu bisa dikuasai oleh Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar