Legalitas SK Menkum HAM dan Perombakan di DPR
W Riawan Tjandra ;
FH
Universitas Atma Jaya Yogyakarta;
Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 02 April 2015
KEPENGURUSAN
Golkar yang dipimpin Agung Laksono sudah mendapat pengakuan dari pemerintah.
Menkum dan HAM Yasonna Laoly sudah menerbitkan Surat Keputusan (SK) yang
mengakui kepengurusan Agung Laksono. SK bernomor M.HH-01.AH.11.01 itu telah
diterbitkan sejak Senin (23/03).Secara substantif, isi keputusan dari Menkum
dan HAM RI pada intinya menegaskan pengesahan perubahan Anggaran Dasar,
Anggaran Rumah Tangga, serta Komposisi dan Personalia DPP Partai Golkar
tersebut menetapkan beberapa hal. Pertama, mengesahkan Permohonan Perubahan
AD/ART, serta komposisi dan personalia DPP Partai Golkar dengan kedudukan
kantor tetap di Jalan Anggrek Nelly Murni, Jakarta. Kedua, susunan
kepengurusan tingkat pusat partai politik tersebut terlampir dalam keputusan
ini.
Ketiga, keputusan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Keempat,
setelah berlakunya keputusan ini, susunan komposisi DPP Partai Golkar masa
bakti 2009-2015 tidak berlaku lagi. Kelima, apabila dikemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan dalam keputusan ini, akan diadakan perbaikan sebagaimana
mestinya.
Ditinjau dari
teori hukum ad ministrasi negara terhadap keputusan Menkum dan HAM RI, perlu
diberikan beberapa catatan berikut. Pertama, berlakunya sebuah keputusan tata
usaha negara dari seorang pejabat tata usaha negara ditentukan oleh teori
validitas dan teori opposabilitas. Berdasarkan teori validitas keberlakuannya
suatu keputusan tata usaha negara sebagai suatu bentuk tindakan administrasi
negara secara yuridis adalah sejak ditandatanganinya keputusan tersebut oleh
pejabat yang berwenang. Dengan demikian, sejak ditetapkannya SK Menkum dan HAM
RI No. M.HH-01.AH.11.01 ialah sejak ditandatanganinya keputusan 23 Maret
2015.
Kedua,
berdasarkan teori opposabilitas, berlakunya suatu keputusan tata usaha negara
yang ditetapkan oleh pejabat tata usaha negara (baca: Menkum dan HAM) adalah
sejak terbukanya hak perlawanan pascaditetapkannya keputusan itu menurut
prosedur dan bentuk yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Sebagaimana telah diketahui oleh publik, pasca-penetapan SK Menkum
dan HAM No. M.HH-01.AH.11.01 kubu Partai Golkar versi Aburizal Bakrie (ARB)
yang sejatinya telah `kehilangan legalitas' kedudukannya secara formal
sebagai pengurus Partai Golkar versi Munas Bali, telah menggunakan perlawanan
dengan mengajukan gugatan ke PTUN Jakarta.
Mengacu pada
teori mengenai keberlakuan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) tersebut, maka
pascapenetapan SK Menkum HAM No. M.HH-01.AH.11.01 sudah timbul akibat hukum
berupa legalitas perubahan kepengurusan baru di tubuh Partai Golkar yang
dipimpin oleh Agung Laksono. Oleh karena itu, sudah tepat tindakan KPU dalam
mempersiapkan proses pilkada serentak 2015, untuk berpegang pada SK Menkum
dan HAM dalam menentukan keikutsertaan Partai Golkar dalam proses pilkada
yang direncanakan dilaksanakan pada Desember 2015.
Ditinjau dari
teori hukum administrasi negara yang mengenal asas praduga keabsahan terhadap
keputusan pejabat tata usaha negara, maka selama SK Menkum dan HAM No.
M.HH-01.AH.11.01 tertanggal 23 Maret 2015 belum dibatalkan berlakunya oleh
PTUN maupun dicabut sendiri oleh Menkum dan HAM berdasarkan asas contrarius actor similar fit (executive review), KTUN yang telah
ditetapkan oleh Menkum dan HAM itu masih tetap sah berlaku dan harus dipatuhi
oleh siapa pun yang terkait dengan keputusan tersebut.
Secara umum,
setiap SK dianggap benar adanya dan dapat dijalankan sebelum ada putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa SK batal atau
dinyatakan tidak sah. Di dalam hukum acara PTUN, ini dikenal dengan asas
praduga rechtmatig (vermoeden van rechtsmatigeheid/ praesumptio
iustae causa). Hal ini pun kemudian diadopsi oleh Pasal 67 ayat (1)
Undang-Undang (UU) 5/1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara yang
menyebutkan bahwa: “Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta tindakan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang digugat“.
Gugatan ARB
terhadap SK Menkum dan HAM ke PTUN Jakarta, secara teoretis maupun yuridis
tidak menghalangi kepengurusan AL untuk merombak atau mengganti elitenya di
DPR. Terkait dengan SK Menkum dan HAM belum ada putusan pengadilan yang
berkekuatan hukum tetap yang menyatakan SK itu batal atau tidak sah.
Daya
berlakunya SK ini tak ubahnya seperti UU. Sejelek apa pun produk DPR dan
presiden tersebut, secara normatif, sebelum UU itu belum di-nyatakan oleh
Mahkamah Konstitusi, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi berkekuatan
hukum tetap, maka UU itu dianggap benar atau benar adanya. Itulah yang
berlaku. Tentu saja, hal ini berbeda dengan putusan hakim (vonis). Terhadap
putusan hakim baru bisa dieksekusi setelah ada putusan yang final dan
berkekuatan hukum tetap, bukan semenjak diputuskan.Artinya, selagi ada proses
hukum atau upaya hukum maka belum bisa dieksekusi.
Sehubungan
dengan surat yang disampaikan oleh pengurus baru Partai Golkar yang dipimpin
oleh Agung Laksono, sebagaimana sudah disahkan melalui SK Menkum HAM No.
M.HH-01.AH.11.01 tertanggal 23 Maret 2015 kepada pimpinan DPR, seharusnya DPR
tak boleh menolak dan mengesampingkan begitu saja permintaan perombakan
kepengurusan fraksi Partai Golkar.
Hal itu
disebabkan karena telah ditetapkannya kepengurusan baru Partai Golkar yang
kini dipimpin oleh Agung Laksono merupakan hak dari pengurus baru Partai
Golkar, untuk mengambil kebijakan perubahan struktur kepengurusan dari fraksi
Partai Golkar di tubuh DPR, termasuk mengganti anggota DPR di tubuh DPR,
sesuai dengan kebijakan pengurus Partai Golkar yang baru. Pasal 82 UU No
17/2014 tentang MPR. DPR, DPD, dan DPRD (MD3) pada intinya mengatur bahwa
fraksi di tubuh DPR merupakan kepanjangan tangan dari Partai Politik.
Partai Politik
memiliki kewenangan sepenuhnya untuk menentukan kebijakan terkait dengan
kepengurusan maupun kebijakan politik yang diambil oleh fraksi. Pada posisi
itu, jika ada permintaan perombakan struktur kepengurusan fraksi di tubuh
DPR, posisi dari pimpinan hanya bersifat sekadar administratif. Tak boleh
mencampuri kebijakan yang diambil oleh partai politik terkait fraksi yang
dibentuknya di tubuh DPR.
Pimpinan DPR
bisa dinilai melakukan perbuatan melawan hukum dan melanggar UU MD3 jika
mengintervensi proses kebijakan partai politik terhadap fraksinya di tubuh
DPR. Hak Partai Golkarlah untuk mengambil kebijakan terkait fraksi Partai
Golkar di tubuh DPR. (Pimpinan) DPR tak boleh memperlihatkan sikap yang
mengandung konflik kepentingan dalam mengambil sikap terkait dengan kebijakan
Partai Golkar untuk melakukan perombakan fraksinya di tubuh DPR.
DPR harus bisa memberikan
pembelajaran terhadap publik, untuk taat asas dan patuh terhadap UU yang
berlaku yang notabene merupakan produk legislasi dari DPR sendiri bersama
Presiden melalui proses pembentukan UU. DPR harus mengambil sikap yang dapat
mencerdaskan kehidupan bangsa di saat kini harus mengambil sikap terkait
dengan kebijakan pengurus Partai Golkar yang sah, untuk melakukan perombakan
struktur kepengurusan fraksi Partai Golkar. DPR adalah wakil rakyat yang
selayaknya bisa menjadi panutan bagi rakyat maupun konstituennya, bukan
badut-badut politik yang berperilaku antagonis yang hanya bisa
mempertontonkan huru-hara dan arogansi politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar