Kekuatan Hukum dalam Praperadilan
Sudjito ; Guru Besar Ilmu Hukum UGM
|
KORAN
SINDO, 10 April 2015
Latah. Ikut-ikutan. Hanya berbekal pemikiran hukum dangkal. Itu
sah, tetapi enggak cukup modal. Ujungnya, kalah dalam praperadilan.
Itulah nasib mantan Menteri Agama Suryadharma Ali (SDA). Hakim
Tatik Hadiyanti berpendapat bahwa sah atau tidak penetapan tersangka bukan
ranah praperadilan. Penetapan tersangka bukan merupakan upaya paksa,
melainkan syarat untuk melakukan upaya paksa yang berbentuk penangkapan,
penahanan, penyitaan, dan penggeledahan.
Ada atau tidak bukti permulaan, setidak-tidaknya dua alat bukti
yang sah, sudah memasuki substansi pokok perkara yaitu tentang pembuktian
yang bukan kewenangan lembaga praperadilan. Selain itu, masalah ada atau
tidak kerugian negara sebagai alat bukti yang dituntut oleh pihak kuasa hukum
SDA, menurut Tatik, sudah memasuki substansi pokok perkara sehingga bukan
menjadi kewenangan lembaga praperadilan.
”Atas dasar ihwal
tersebut, permohonan pemohon ditolak untuk seluruhnya dan kepada pemohon
dibebankan biaya perkara sebesar nihil,”
ucapnya saat membacakan amar putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan,
Rabu (8/4/15). Putusan tersebut didasarkan pada Pasal 1 ayat 10 KUHAP jo
Pasal 77 jo Pasal 82 ayat 1 huruf d yang sifatnya sangat limitatif mengatur
bahwa penetapan tersangka bukan termasuk objek praperadilan.
Langkah-langkah hukum SDA itu diduga kuat terinspirasi
”kemenangan” Komjen Pol Budi Gunawan (BG). Maka itu, SDA mengajukan praperadilan
atas penetapan dirinya sebagai tersangka korupsi penyelenggaraan haji di
Kementerian Agama periode 2012-2013. Orang bilang, itulah ”Sarpin effect”.
Kalau saja upaya praperadilan SDA menang, ”Sarpin effect” pasti
lebih dahsyat lagi. ”Siulan” hakim Sarpin akan mengakibatkan munculnya
”kobaran api” praperadilan dari para tersangka korupsi lainnya. Inilah yang
dikhawatirkan KPK dan penggiat antikorupsi di negeri ini.
Pada hemat saya, ada
beberapa pelajaran berharga bagi masyarakat luas atas hiruk-pikuk dan
sengkarut kasus praperadilan ini. Pertama, jangan-jangan SDA dan kuasa
hukumnya mengira bahwa semua kasus penetapan tersangka dapat digeneralisasi
sehingga kasus Komjen Pol BG berlaku juga atas kasus SDA. Mereka lupa bahwa
setiap kasus memiliki keunikannya sendiri.
Sejak kronologi perkara, motivasi, kompleksitas, maupun
substansinya berbeda-beda. Mana mungkin hal demikian diputus dengan vonis
yang sama. Bukankah vonis hakim harus adil dan apa yang disebut keadilan
adalah proporsionalitas dalam konteks perbedaan, kasus per kasus. Dari
sanalah, ”keberuntungan” pada Komjen Pol BG, sementara ”kebuntungan” menimpa
SDA.
Kedua, SDA, kuasa hukumnya, dan masyarakat luas, mesti paham
bahwa lembaga pengadilan yang menangani praperadilan tergolong sebagai lembaga
modern. Dipastikan, di dalamnya ada sisi modernitas antara lain rasional,
kepastian hukum, materialistik, dan mekanistik. Untuk menang perlu dana besar
dan kekuatan berlimpah.
Tetapi, jangan lupa, secara sosiologis, dipastikan pula, ada
sisi primordial-irasional. Boleh saja, mereka mempermasalahkan kewenangan KPK
dalam menangani tindak pidana korupsi sesuai Pasal 11 huruf a Undang-Undang
KPK. Sah-sah pula mereka percaya pada pengadilan dan menggunakannya untuk
mendapatkan putusan agar pengadilan menyatakan surat perintah dimulainya
penyidikan (sprindik) nomor Sprin.Dik-27/01/05/2014 dan
Sprin.dik-27A/01/12/2014 tidak sah dan tidak berdasar atas hukum. Bahkan,
tidak salah kalau SDA juga menuntut KPK membayar ganti rugi sebesar Rp1
triliun atas penetapan dirinya sebagai tersangka.
Tetapi, perlu dipahami bahwa pada ranah sosiologis-empiris,
sering dijumpai ada pemikiran, sikap, dan perilaku penegak hukum yang
bengkok, dan ada pula yang tegak-lurus, tegar, tak goyah oleh segala bentuk
rayuan maupun tekanan.
Artinya, kualitas putusan hakim masih menjadi teka-teki. Kalah
atau menang, sama besar peluangnya.
Ketiga, ketika SDA tidak rela ditetapkan sebagai tersangka
korupsi, menjadi wajar ada upaya pembelaan diri. Kuasa hukum SDA
mendayagunakan teks-teks hukum sebagai kekuatan dalam rangka mematahkan
fakta-fakta yang dituduhkan.
Jangan lupa, teks-teks hukum, baik yang termuat dalam KUHP,
KUHAP, UU Tipikor, dan sebagainya tidak pernah memiliki kepekaan individual,
sosial, dan lingkungan, bahkan tidak mampu mengubah dirinya sendiri. Apakah
yang dihadapi oleh SDA itu sebagai buah rekayasa politik ataukah murni kasus
hukum, teks-teks hukum hanya diam.
Perlu diketahui bahwa kekuatan hukum yang efektif muncul dari
manusia-manusia penggerak teks-teks hukum tersebut. Jadilah, teks-teks hukum
multitafsir, berwajah abu-abu, bermakna berbeda-beda ketika dipertemukan
dengan aksi-aksi penegak hukumnya.
Di sinilah perlu dicermati seksama bahwa penegak hukum yang
mengawal kasus Komjen BG berbeda dengan penegak hukum yang mengawal kasus
SDA. Benarkah semua penegak hukum dalam dua kasus berbeda tersebut tergolong
profesional, memegang teguh moralitas, berwawasan Pancasila sehingga berani
menggunakan irah-irah putusan : ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa”, ataukah ”Demi Keadilan
Berdasarkan Keuangan Yang Maha Kuasa”? Adakah praperadilan diwarnai
kemunafikan, rekayasa, patgulipat?
Hal demikian menjadi teka-teki dan kecurigaan masyarakat luas, tetapi
sulit pembuktiannya.
Membongkar kekuatan-kekuatan hukum, baik yang positif maupun
negatif, menjadi prasyarat untuk akselerasi pemberantasan korupsi di negeri
ini. Kekuatan hukum positif adalah tekad, semangat, dan komitmen penegak
hukum sebagai ”nabi-nabi keadilan” yaitu orang-orang yang mau berjihad demi
terwujudnya negeri yang bersih dari korupsi; sementara kekuatan hukum negatif
adalah sebaliknya. Kekuatan hukum negatif ada pada koruptor dan kroninya.
Terbayang: ”Jangan-jangan sistem peradilan kita sudah dikuasai
oleh kekuatan hukum negatif”. Adakah Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan
HAM, bahkan Presiden melihat kelemahan-kelemahan dalam sistem peradilan dan
berusaha memperbaikinya? Sayangnya, bila pertanyaan ini melayang begitu saja,
gone with he wind. Wallahu. Wallahualam.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar