Jokowi
dan Kemkominfo
Muhidin M Dahlan ; Kerani @warungarsip
|
KORAN TEMPO, 15 April 2015
Setelah kasus Komisi Pemberantasan Korupsi versus Budi Gunawan,
"kesan baik" terhadap Presiden Jokowi mengalami turbulensi hebat.
Guncangan hubungan itu bukan hanya melibatkan PDIP, pegiat antikorupsi, serta
relawan pendukung. Guncangan itu berdampak tergerusnya "kesan baik"
Jokowi di hadapan pers. Puncak retaknya hubungan itu disimbolkan oleh
ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam acara peringatan Hari Pers Nasional
(HPN) di Batam, 9 Februari lalu.
Jokowi, yang setengah mati mengumpulkan dukungan dan menjadi
sandaran harapan publik, secuil demi secuil dengan mudah mengobral semua itu.
Jokowi, yang pada mulanya menjadi sahabat pers, tiba-tiba menjadi sosok
kesepian di hadapan mesin rekam jurnalis. Semuanya mesti dijelaskan Jokowi,
dari soal pengembalian traktor hingga kasus salah teken yang fatal; dari
Proton, Harvard, hingga kebisuannya dalam Kongres IV PDIP.
Dalam Kongres IV PDIP yang baru saja berlalu, posisi Presiden
Jokowi semakin runyam. Bentangkanlah koran-koran yang terbit pada Jumat, 10
April 2015 dan bacalah judul berita utama pada halaman depannya yang
mayoritas berisi "nasehat" Megawati kepada Jokowi. Dari halaman
muka koran-koran itu, sulit menampik kesan bahwa Jokowi sekadar "petugas
partai" yang tak memberikan imajinasi baru dalam kepemimpinan. Jokowi
juga tak ubahnya lelaki pikun terhadap Nawa Cita-nya sendiri.
Tak perlu diulang-ulang bahwa Jokowi memang sibuk bekerja. Namun
ia barang kali khilaf bahwa "seni berkomunikasi"-lah yang
membuatnya dicintai dan dipilih oleh lebih-kurang 60 persen suara untuk
menjadi Presiden RI pada 2014.
"Seni komunikasi" itulah yang amblas kini. Sialnya,
nyaris tak ada upaya memperbaikinya. Ketiadaan juru bicara kepresidenan, PDIP
yang belum move on sebagai partai oposisi, posisi seskab dan staf
kepresidenan yang gagap di hadapan publik, serta Kementerian Komunikasi dan
Informatika yang payah membuat Jokowi terlihat seperti karakter protagonis
yang membosankan dan kehilangan imajinasi.
Bahkan, dalam salah satu survei popularitas, kementerian ini
menjadi salah satu yang terburuk di hadapan publik. Menterinya tidak dikenal,
kinerjanya apalagi. Mungkin untuk menjawab persepsi negatif itulah Kemkominfo
tancap gas. Hasilnya: pemblokiran situs! Bukannya menuai simpati,
"program hebat" ini malah memperlebar persepsi negatif.
Karena tekanan publik, hanya dalam hitungan hari, sebagaimana
kasus teken buta tunjangan mobil, blokir "web radikal" berakhir
antiklimaks. Sebagai lembaga yang hidup dari nisan Kementerian Penerangan RI
yang bubar pada 1999, mestinya kementerian ini menunjukkan karakternya
sebagai kementerian komunikasi.
Frase "komunikasi" yang inheren dalam namanya justru
menjadi kebutuhan vital Jokowi saat ini di tengah lubang-lubang komunikasi
yang berpotensi menghabisi "energi harapan positif", yang dengan
susah-payah ia bangun selama tiga tahun belakangan.
Ketimbang mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontraproduktif saat
berhadapan langsung dengan publik, Kemkominfo semestinya bekerja lebih keras
untuk mencari solusi cepat guna menambal lubang-lubang komunikasi Jokowi yang
kian lama kian runyam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar