Kamis, 16 April 2015

Jokowi dan Kemkominfo

Jokowi dan Kemkominfo

Muhidin M Dahlan  ; Kerani @warungarsip
KORAN TEMPO, 15 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Setelah kasus Komisi Pemberantasan Korupsi versus Budi Gunawan, "kesan baik" terhadap Presiden Jokowi mengalami turbulensi hebat. Guncangan hubungan itu bukan hanya melibatkan PDIP, pegiat antikorupsi, serta relawan pendukung. Guncangan itu berdampak tergerusnya "kesan baik" Jokowi di hadapan pers. Puncak retaknya hubungan itu disimbolkan oleh ketidakhadiran Presiden Jokowi dalam acara peringatan Hari Pers Nasional (HPN) di Batam, 9 Februari lalu.

Jokowi, yang setengah mati mengumpulkan dukungan dan menjadi sandaran harapan publik, secuil demi secuil dengan mudah mengobral semua itu. Jokowi, yang pada mulanya menjadi sahabat pers, tiba-tiba menjadi sosok kesepian di hadapan mesin rekam jurnalis. Semuanya mesti dijelaskan Jokowi, dari soal pengembalian traktor hingga kasus salah teken yang fatal; dari Proton, Harvard, hingga kebisuannya dalam Kongres IV PDIP.

Dalam Kongres IV PDIP yang baru saja berlalu, posisi Presiden Jokowi semakin runyam. Bentangkanlah koran-koran yang terbit pada Jumat, 10 April 2015 dan bacalah judul berita utama pada halaman depannya yang mayoritas berisi "nasehat" Megawati kepada Jokowi. Dari halaman muka koran-koran itu, sulit menampik kesan bahwa Jokowi sekadar "petugas partai" yang tak memberikan imajinasi baru dalam kepemimpinan. Jokowi juga tak ubahnya lelaki pikun terhadap Nawa Cita-nya sendiri.

Tak perlu diulang-ulang bahwa Jokowi memang sibuk bekerja. Namun ia barang kali khilaf bahwa "seni berkomunikasi"-lah yang membuatnya dicintai dan dipilih oleh lebih-kurang 60 persen suara untuk menjadi Presiden RI pada 2014.

"Seni komunikasi" itulah yang amblas kini. Sialnya, nyaris tak ada upaya memperbaikinya. Ketiadaan juru bicara kepresidenan, PDIP yang belum move on sebagai partai oposisi, posisi seskab dan staf kepresidenan yang gagap di hadapan publik, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika yang payah membuat Jokowi terlihat seperti karakter protagonis yang membosankan dan kehilangan imajinasi.

Bahkan, dalam salah satu survei popularitas, kementerian ini menjadi salah satu yang terburuk di hadapan publik. Menterinya tidak dikenal, kinerjanya apalagi. Mungkin untuk menjawab persepsi negatif itulah Kemkominfo tancap gas. Hasilnya: pemblokiran situs! Bukannya menuai simpati, "program hebat" ini malah memperlebar persepsi negatif.

Karena tekanan publik, hanya dalam hitungan hari, sebagaimana kasus teken buta tunjangan mobil, blokir "web radikal" berakhir antiklimaks. Sebagai lembaga yang hidup dari nisan Kementerian Penerangan RI yang bubar pada 1999, mestinya kementerian ini menunjukkan karakternya sebagai kementerian komunikasi.

Frase "komunikasi" yang inheren dalam namanya justru menjadi kebutuhan vital Jokowi saat ini di tengah lubang-lubang komunikasi yang berpotensi menghabisi "energi harapan positif", yang dengan susah-payah ia bangun selama tiga tahun belakangan.

Ketimbang mengeluarkan kebijakan-kebijakan kontraproduktif saat berhadapan langsung dengan publik, Kemkominfo semestinya bekerja lebih keras untuk mencari solusi cepat guna menambal lubang-lubang komunikasi Jokowi yang kian lama kian runyam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar