Ihwal Restriksi Calon Petahana
Khairul Fahmi ; Dosen Hukum Tata Negara;
Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako)Fakultas Hukum Universitas
Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 10 April 2015
PETAHANA menjadi objek yang
cukup mencuri perhatian para pembentuk undang-undang dalam membahas UU
tentang pemilihan kepala daerah. Betapa tidak, sejumlah ketentuan UU No
8/2015 tersebut berisi restriksi ketat terhadap ruang gerak petahana.
Gerak-gerik petahana diatur sedemikian rupa agar kekuasaan pemerintah daerah
tidak disalahgunakan untuk memenangi kembali kontestasi pilkada. Pengetatan
tersebut mencakup larangan bagi petahana untuk melakukan sejumlah tindakan
dalam tahapan pilkada dan juga syarat pencalonan bagi keluarga dekatnya.
Di satu sisi, ketatnya
pengaturan haruslah diapresiasi. Setidaknya, pengaturan seperti itu dapat
mengurangi potensi penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah, guna meraup
keuntungan politik dalam pilkada. Lebih jauh, hal demikian setidaknya juga
akan menopang terselenggaranya pilkada yang lebih jujur dan adil. Setiap
calon akan memiliki kesempatan yang sama dalam memenangkan pilkada.
Di sisi lain, ketentuan terkait
petahana dalam UU ini justru menyimpan berbagai persoalan. Sejumlah norma
mengandung kekaburan rumusan yang dapat berakibat fatal bagi kepastian proses
penyelenggaraan pilkada. Sayangnya, berbagai kelemahan dimaksud justru tidak
dijawab pada saat perubahan UU No 1/2015 dilakukan.
Sebelum lebih jauh membahas
itu, terlebih dahulu akan diulas soal arti petahana. UU Pilkada memang tidak
mendefinisikannya, tetapi petahana yang merupakan padanan kata incumbent
sesungguhnya sudah menjadi istilah umum sejak 2009. Setidaknya, istilah
tersebut akrab sejak proses penyelenggaraan pemilu juga diikuti oleh yang
sedang memegang jabatan. Istilah tersebut dalam KBBI diartikan sebagai
pemegang jabatan politik yang sedang menjabat. Dengan demikian, siapa pun
yang sedang menjabat suatu jabatan politik, maka yang bersangkutan disebut
sebagai `petahana'. Jika yang bersangkutan kembali ikut dalam kontestasi
pemilu untuk mempertahankan kursi kekuasaannya, diisti lahkan dengan `calon
petahana'.
Walaupun dalam UU Pilkada tidak
ditemukan frasa `calon petahana' melainkan hanya `petahana', tetapi dari
rumusan sejumlah norma menghendaki pemilahan yang demikian. Norma yang
terkait dengan petahana dapat dijumpai dalam Pasal 7 UU No 1/2015, sedangkan
calon petahana termuat dalam Pasal 71 UU ini. Dengan pemilahan tersebut,
sesungguhnya UU Pilkada memberi restriksi kepada dua target, yaitu `petahana'
itu sendiri dalam rangka mengantisipasi politik dinasti; dan `calon petahana'
dalam rangka mengantisipasi penyalahgunaan kekuasaan.
Mutasi dan fasilitas jabatan
Bagi calon petahana, dilarang
melakukan pergantian pejabat dan menggunakan program pemerintah daerah untuk
kegiatan pemilihan enam bulan sebelum masa jabatan berakhir. Dalam Pasal 71
ayat (2) UU Pilkada dinyatakan, Petahana dilarang melakukan penggantian
pejabat 6 (enam) bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Jika dikaitkan
dengan ketentuan Pasal 71 ayat (4) UU Pilkada, norma tersebut sesungguhnya
berlaku bagi calon petahana. Larangan yang dimaksud, ditujukan agar calon
petahana tidak menyalahgunakan kekuasaan melalui penggunaan mesin birokrasi
untuk memenangkan pilkada.
Larangan tersebut tentunya tidak berlaku bagi
petahana yang tidak lagi menjadi calon. Konteks pengaturan larangan dalam
Pasal 71 UU Pilkada harus dipahami dalam satu kesatuan utuh, yakni antara
ayat yang satu dan yang lain memiliki hubungan makna. Dalam hal ini, Pasal 71
ayat (4) menjadi norma kunci dalam memahami tiga ayat sebelumnya.
Soal yang kemudian muncul,
apabila tahapan pilkada belum dimulai sementara masa jabatan petahana sudah
masuk dalam waktu enam bulan menjelang berakhir, apakah norma tersebut tetap
berlaku bagi yang bersangkutan? Jika berlaku, bagaimana mungkin sanksi dapat
dijatuhi, sementara yang bersangkutan belum berstatus sebagai calon? Apakah
mungkin sanksi dijatuhkan kelak ketika yang bersangkutan telah ditetapkan
sebagai calon?
Pertanyaan yang terakhir ini
tentunya tidak dapat diterapkan karena KPU Daerah memiliki batas yurisdiksi
kewenangan yang tidak dapat dilampauinya. KPU Daerah hanya dapat menjatuhkan
sanksi kepada calon yang melakukan pelanggaran dalam kapasitasnya sebagai
calon. Sementara tindakan yang dilakukan sebelum menjadi calon, KPU Daerah
tentu tidak memiliki alasan hukum untuk mencampurinya.
Pemahaman yang demikian semakin
terkonfirmasi kebenarannya dengan membaca ketentuan Pasal 4 UU Pilkada. Dalam
ketentuan tersebut diatur, DPRD memberitahukan secara tertulis kepada KPU
mengenai berakhirnya masa jabatan kepala daerah, paling lambat enam bulan
sebelum masa jabatan berakhir. Waktu enam bulan sesungguhnya menjadi tenggat
paling singkat yang mesti disediakan bagi penyelenggara pemilu untuk
melaksanakan tugas. Dalam kaitannya dengan Pasal 71 UU Pilkada, tenggat enam
bulan sebelum berakhirnya masa jabatan ialah waktu pelaksanaan tahapan
pilkada telah dimulai, yang mana petahana pun telah ditetapkan sebagai salah
satu calon.
Namun demikian, sampai saat ini
berbagai pertanyaan terkait dengan penghitungan waktu enam bulan sebelum
berakhir masa jabatan masih bermunculan. Bahkan, sejumlah kepala daerah ragu
melakukan mutasi yang dianggap penting untuk keperluan meningkatkan kinerja
aparatur pemerintah daerah. Alasannya, takut dibatalkan sebagai calon.
Padahal, yang bersangkutan sama sekali belum mendaftar menjadi peserta dan
tahapan pilkada pun sama sekali belum dimulai. Hal ini merupakan konsekuensi
dari ketidakpastian yang termuat dalam norma dimaksud. Padahal, ketentuan
tersebut hanyalah untuk tujuan membatasi hak petahana yang sudah ditetapkan
sebagai calon, bukan bagi petahana yang bukan atau belum menjadi calon
peserta pilkada.
Lingkup keberlakuan
Selanjutnya, terkait dengan
lingkup keberlakuan restriksi petahana, apakah di satu daerah saja atau untuk
seluruh daerah? Sesuai apa yang dimaksud dengan petahana, sesungguhnya batas
status petahana hanya dalam lingkup daerah, tempat ia memegang jabatan
politik. Dalam arti, jika yang bersangkutan merupakan gubernur atau wakil
gubernur di wilayah A, keberlakuan status incumbent hanya untuk daerah
tersebut, tidak untuk yang lainnya. Status tersebut ialah berkaitan dengan
jabatan politik yang disandang, yang mana lingkup kekuasaan dari jabatan
politik juga tergantung pada lingkup wilayah kekuasaan yang ditentukan bagi
jabatan tersebut. Oleh karena itu, kedudukan petahana tidak dapat
digeneralisasi untuk semua daerah, tetapi hanya terbatas pada daerah, tempat
jabatan politik tersebut berada.
Sebagai konsekuensinya, syarat
tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana, sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 hanya berlaku sesuai lingkup wilayah keberlakuan
suatu jabatan politik. Dengan demikian, ayah, ibu, mertua, paman, bibi,
kakak, adik, ipar, anak, dan menantu dari seorang petahana harus tetap
dinilai memenuhi syarat, jika yang bersangkutan mencalonkan diri pada daerah
selain yang dipimpin petahana. Keluarga seorang petahana tetap dapat
mengikuti pilkada tanpa harus melewati jeda satu kali masa jabatan, asalkan
yang bersangkutan tidak mencalonkan diri di daerah kekuasaan politik
petahana.
Oleh karena itu, agar berbagai
celah lemah pengaturan calon petahana tidak menjadi sumber persoalan di
kemudian hari, sebaiknya masalah tersebut dijawab melalui Peraturan KPU.
Dalam pembentukannya, KPU harus ekstra hati-hati dalam menurunkan berbagai
norma UU Pilkada, agar kelemahan yang ada dapat diatasi dan ketidakjelasan
perumusan dapat diberi kepastian. Langkah ini merupakan salah satu pilihan,
guna mengantisipasi berbagai kerikil penyandung kelancaran penyelenggaraan
pilkada yang akan ditabuh mulai Juni mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar