Hak Angket DPR akankah Kandas?
Ikrar Nusa Bhakti ;
Profesor
Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, Jakarta
|
MEDIA
INDONESIA, 30 Maret 2015
RABU (25/3), sebanyak 116 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dari Fraksi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) (20 suara), Fraksi Partai Gerindra (37 suara),
Fraksi Partai Golkar (55 suara), Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
versi muktamar Jakarta (2 suara), dan Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) (2
suara) mengajukan hak angket terkait dengan langkah-langkah Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia (Menkum dan HAM) Yasonna Hamonangan Laoly yang mereka
pandang melakukan intervensi ke konflik internal Partai Golkar dan PPP.
Inisiator hak angket itu ialah anggota DPR dari Partai Gerindra, Ahmad Riza
Patria. Mereka berharap pimpinan DPR melalui Badan Musyawarah (Bamus) akan
menyetujui pengusulan hak angket tersebut.
Pertanyaannya, akankah Bamus
meluluskannya? Jika ya, mengapa itu terjadi? Jika tidak atau ternyata
pengajuan hak angket itu kandas, apa penyebabnya?
Bila kita lihat angka pengusul hak
angket tersebut, tampak jelas betapa dukungan terhadap pengajuan hak angket
itu tidaklah terlalu besar walau masih ada upaya untuk menyatukan langkah
politisi dari Koalisi Merah Putih (KMP) pada sehari sebelumnya, Selasa
(24/3). Ada beberapa alasan mengapa KMP belakangan ini agak memudar. Pertama,
terpilihnya Zulkifli Hasan sebagai Ketua Umum PAN menggantikan Hatta Rajasa
telah membawa perubahan pada arah politik PAN ke depan. Meski PAN tidak
secara resmi menyatakan meninggalkan KMP dan bergabung ke Koalisi Indonesia Hebat
(KIH), ada nuansa baru dalam berpolitik PAN. Para pemimpin partai yang baru
menyadari bahwa Indonesia kini sedang menghadapi berbagai persoalan ekonomi
yang amat rumit seperti penurunan nilai rupiah terhadap dolar AS, kenaikan
harga-harga kebutuhan pokok, dan harga BBM yang naik turun tergantung harga
minyak dunia. Di mata pimpinan PAN, sebaiknya DPR bahumembahu dengan
pemerintah dalam mengatasi persoalan ini dan bukan malah bikin kegaduhan politik
baru yang bukan saja menguras tenaga dan pikiran, melainkan juga semakin
memperburuk citra DPR di mata rakyat.
Kedua, di dalam Partai Golkar
sendiri telah terjadi perubahan yang sangat signifikan. Setelah Menkum dan
HAM Yasonna H Laoly mengeluarkan surat penerimaan atas pendaftaran
kepengurusan Partai Golkar oleh kubu Agung Laksono `sesuai dengan hasil
keputusan Mahkamah Partai Golkar', tampak jelas betapa lompat pagar politik
terjadi kembali di internal Partai Golkar. Ini bukan saja terjadi pada
tingkatan pengurus Golkar di daerah, melainkan juga pada tingkatan pusat.
Dalam bahasa pragmatisme politik mereka, “Kami harus mendukung kepengurusan
yang legal!“ Secara kebetulan saat ini yang tercatat di Kemenkum dan HAM
ialah kepengurusan hasil Munas Ancol, Jakarta, maka berbondong-bondonglah
mereka mengubah posisi mendekat ke kubu Agung Laksono. Tidak ada loyalitas
abadi dalam politik, yang ada adalah oportunisme dan pragmatisme politik
karena sebagian besar politikus memang mencari kesempatan dan peluang, bukan
menguatkan loyalitas yang mati kepada pimpinan partai.
Ketiga, pada tingkatan pimpinan
DPR sendiri ada suatu harapan bahwa pada masa sidang kedua DPR ini akan
terjalin hubungan yang lebih baik antara DPR dan pemerintah. Itu bahkan
diucapkan sendiri oleh politikus Partai Golkar Setya Novanto, yang juga
berasal dari Partai Golkar kubu Munas Bali pimpinan Aburizal Bakrie.
Bipartisanship antara pemerintah dan DPR memang sangat penting dilakukan,
bukan saja dalam persoalan politik luar negeri, melainkan juga dalam
mengatasi persoalan negara yang kadang cukup pelik.
Keempat, jika ditinjau dari materi
pengajuan hak angket, seperti dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla, materinya
belum layak karena tidak menyangkut kepentingan umum, tetapi hanya kepentingan
politik dari segelintir elite politik di Partai Golkar atau PPP yang tidak
puas dengan keputusan Menkum dan HAM Yasonna H Laoly terkait dengan konflik
internal di kedua partai itu.
Lalu bagaimana jika pengajuan hak
angket itu disetujui Bamus DPR? Jika itu terjadi, berarti di DPR masih ada
dua kubu, yakni KMP dan KIH. Selain itu, masih ada ganjalan lain dalam
hubungan antara DPR dan Presiden Jokowi, khususnya soal pengajuan calon
Kapolri Badrodin Haiti. Namun, dalam kasus yang kedua ini ada anomali politik,
motor penggerak untuk menggagalkan pengajuan Badrodin justru datang dari
partai pendukung pemerintah, yakni PDIP. Kita tidak tahu mengapa masih ada
politisi PDIP yang terus menyuarakan agar Budi Gunawan dilantik menjadi
Kapolri walaupun Presiden Jokowi sudah menggantinya dengan Komjen Badrodin
Haiti. Apakah mereka hanya menyuarakan suara sang Ketua Umum Megawati
Soekarnoputri yang menginginkan Budi Gunawan dilantik jadi Kapolri, ataukah
memang sudah terjadi pecah kongsi antara PDIP dan Jokowi?
Gaya
parlementer
Bila kita dalami pengajuan hak
angket itu, ada suatu keanehan. Pertama, hak angket memang merupakan bagian
dari fungsi pengawasan dewan terhadap pemerintah. Namun, mengajukan hak
angket atas surat yang dikeluarkan seorang menteri adalah tidak tepat.
Menteri ialah pembantu presiden dan bukan subjek dari pengajuan hak angket.
Hak bertanya, angket, interpelasi harusnya diajukan kepada presiden karena
posisi presiden neben/setara dengan
DPR. Di dalam sistem presidensial, suatu keanehan jika menteri dikenai hak
angket oleh dewan. Ini berbeda dengan sistem parlementer di saat DPR dan
kabinet adalah satu kesatuan dan mosi tidak percaya bisa saja diajukan kepada
perdana menteri ataupun menteri.
Selain itu, memasukkan persoalan
konflik internal partai ke ranah politik di DPR akan menambah pertanyaan
publik mengenai kecanggihan berpolitik para wakil rakyat. Para wakil rakyat
yang seluruhnya anggota partai harusnya memiliki kecanggihan berpolitik untuk
menyelesaikan konflik di internal partai karena salah satu fungsi partai
ialah mencegah, mengelola, dan menyelesaikan konflik di masyarakat. Jika
politisi tidak mampu menyelesaikan konflik di internal partai sendiri, lalu
apa yang akan kita harapkan dari politisi tersebut? Membawa konflik internal
ke DPR juga mengerdilkan partai-partai yang berkonflik tersebut karena mereka
tidak mampu menyelesaikannya sendiri dan berupaya membawanya ke ranah
politik.
Dewan
konflik elite
Apa yang terjadi di Partai Golkar
dan PPP adalah konflik elite, bukan massa. Seharusnya para elite partai mampu
menyelesaikannya sendiri. Para elite memang bagian dari oligarki partai.
Seperti juga pada tingkatan
masyarakat ataupun negara, pada tingkatan organisasi partai memang ada dua
kelas, yaitu kelas penguasa (the ruling
class) dan kelas yang dikuasai (class
that being ruled). Kelas penguasa partai terdiri atas para elite di dewan
pimpinan pusat (DPP) dan sub-sub elite pada tingkatan dewan pimpinan daerah
(DPD) serta jajaran di bawahnya. Para elite partai tersebut memiliki
superioritas material, moral, pikiran, dan pengalaman jika dibandingkan
dengan massa pendukung partai.
Apa yang terjadi di Partai Golkar
dan PPP sesungguhnya pertarungan elite, antara elite penguasa partai yang
lama dan elite penguasa partai yang baru. Elite lama tidak dapat menerima
kenyataan bahwa sirkulasi elite dapat saja terjadi setiap saat dan mereka
yang tadinya berkuasa bisa saja menjadi elite atau kelas yang tidak berkuasa.
Kekerasan mereka untuk tidak mau menerima kenyataan itu disebabkan mereka
masih merasa memiliki power yang
lebih besar dan legitimasi yang lebih kuat dari arus bawah dan atas
partainya. Namun, ternyata lawan politiknya justru mendapatkan legalitas
hukum dari pemerintah melalui Menkum dan HAM Yasonna H Laoly. Ini yang
menjadikan konflik di kedua partai itu tak kunjung usai. Walaupun penguasa
baru di Golkar dan PPP berupaya mengakomodasi kepentingan politik para
penguasa lama partai, dignity dan pride mereka terusik.
Hak angket tidak
akan menyelesaikan konflik internal baik di tubuh Partai Golkar maupun PPP.
Kedua kubu di dalam Partai Golkar dan PPP harus menyadari bahwa kalaupun
mereka menang akan jadi arang, dan mereka yang kalah akan jadi abu. Artinya,
Golkar dan PPP akan mengarah pada jurang kehancuran jika konflik ini tak
kunjung usai. Tidak ada jalan lain bagi penyelesaian konflik internal mereka,
kecuali menghadirkan kompromi politik dan kesadaran bahwa nasib partai jauh
lebih penting daripada nasib para elite politik yang bersaing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar