Gereget
Rhenald Kasali ;
Pendiri
Rumah Perubahan
|
KORAN
SINDO, 02 April 2015
Anda yang menyaksikan pertandingan sepak bola antara tim
Indonesia dan Brunei Darussalam dalam ajang Pra-Piala Asia U-23 pada Minggu
lalu (29/3) pasti merasakannya.
Kita gemas dengan performa tim nasional kita. Memang tim kita
menang dengan skor 2-0. Tapi mestinya jumlah golnya bisa lebih banyak dari
itu. Peluang terus bermunculan. Beberapa kali pemain tim kita melepaskan
tembakan ke gawang lawan. Sayang tembakannya ada yang kena blok pemain lawan,
berhasil ditepis penjaga gawang, meleset tipis atau terlalu jauh dari
sasaran.
Meski begitu saya hargai perjuangan mereka. Betul hasilnya
kurang memuaskan, tapi mereka setidak-tidaknya sudah tampil ngotot. Ada
gereget untuk menang. Sayangnya itu tidak berlanjut. Ketika berhadapan dengan
Korea Selatan, tim nasional kita kalah 0-4. Dalam olahraga, menang kalah
adalah hal biasa.
Persoalannya adalah kita kalah dengan cara seperti apa? Kalah
setelah bertarung habis-habisan atau kalah karena gagal mengeluarkan
kemampuan terbaik? Kalau melihat pertandingannya, saya merasa ada sesuatu
yang hilang pada tim kita, yakni gereget tadi. Tim kita seakan-akan tidak
ngotot untuk menang, terutama pada babak kedua. Ini membuat saya gemas.
Sejumlah Kasus
Fenomena kurangnya gereget bangsa kita belakangan ini sebetulnya
bisa kita jumpai di mana-mana. Bukan hanya dalam bidang olahraga, tetapi juga
pada sejumlah kasus. Di rumah tangga-rumah tangga, banyak orang tua gemas
melihat prestasi anak-anaknya yang biasa-biasa saja. Padahal, hasil tes IQ
menunjukkan kecerdasan sang anak jauh di atas rata-rata.
Ada apa? Rupanya sang anak terlalu banyak diberi beban, banyak
yang membuat mereka tidak fokus. Akibatnya menjadi malas dan baru belajar
kalau disuruh. Kesannya, sama sekali tidak ada semangat untuk menjadi yang
nomor satu. Beda kalau main game. Semangatnya membara. Anakanak bahkan bisa
lupa makan, lupa minum, lupa mandi, bahkan lupa waktu.
Passion-nya untuk menjadi sang pemenang sungguh luar biasa. Di
kantor-kantor, kita juga bisa dengan mudah menemukan karyawan yang kinerjanya
hanya ingin memenuhi target minimum. Mereka memang masuk kerja tepat waktu,
tetapi gelisah dan tak lagi fokus pada pekerjaan menjelang jam pulang.
Geregetnya cuma tampak di social
media dan saat meng-upload status saja. Apa mereka tak ingin memiliki kinerja
optimal? Pasti ingin. Mereka juga tahu caranya. Kerja lebih lama dan lebih
keras. Kalau bisa, kerja lebih cerdas. Meski tahu caranya, kita bisa dengan
mudah menemukan bahwa mereka kurang (Anda bisa baca: tidak) gereget untuk
melakukannya. Seakan-akan kehilangan motivasi untuk menjadi yang terbaik.
Kita juga bisa melihatnya dalam skala yang lebih luas.
Mereka yang tinggal di Jakarta beberapa waktu lalu menghadapi
masalah yang sangat serius. Sampah. Akibat masalah angkutan dan tempat
pembuangan akhir (TPA), sampah-sampah di Ibu Kota tak bisa diangkut. Maka
sampah pun bertimbunan di sudut-sudut jalan di kawasan perumahan. Baunya
menyengat. Keluhan masyarakat menyeruak di mana-mana.
Jakarta sebetulnya sudah sejak dulu memiliki ide untuk menangani
masalah sampah. Ada ide membangun tempat-tempat pengolahan sampah di lokasi
sampah dihasilkan, mengolahnya menjadi pupuk organik atau mengubahnya sebagai
pembangkit listrik. Soal teknologi untuk itu sama sekali tidak ada masalah.
Dana juga tersedia. Lalu, mengapa kita sama sekali tak merasakan
adanya gereget untuk menangani masalah sampah? Baik di jajaran birokrasi di
Provinsi DKI Jakarta atau di masyarakat sekalipun. Kata Leonardo da Vinci, “I have been impressed with the urgency of
doing. Knowing is not enough; we must apply. Being willing is not enough; we
must do. “ Do, itulah yang tidak ada di lingkungan Pemprov DKI dalam
mengatasi masalah sampah.
William Blake, seniman asal Inggris, gemas dengan orang-orang
semacam ini. Katanya, “He who wants,
but doesn’t act, is a pest.“ Saya setuju. Di dunia bisnis, kita juga gemas
dengan performa industri keuangan syariah. Pasarnya begitu gemuk. Indonesia
adalah negara muslim terbesar di dunia. Hampir 90% dari seluruh penduduk
Indonesia adalah umat Islam. Tapi mengapa industri keuangan syariah kita
terlihat begitu kerdil?
Merujuk pada data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sampai
tahun 2014 pangsa pasar industri keuangan syariah kita masih kurang dari 5%
ketimbang industri keuangan konvensional. Detailnya begini. Pangsa pasar
industri perbankan syariah baru 4,8%. Nilai aktiva bersih (NAB) reksa dana
syariah baru 4,65%. Obligasi syariah bahkan hanya 3,18%.
Lalu untuk industri keuangan nonbank syariah sebesar 3,55%.
Kinerja ini jelas tidak mencerminkan potensinya. Kerja para pelaku industri
keuangan syariah kita seakan-akan kurang gereget. Bukan soal peminjamnya yang
tak usah ditanyakan lagi pasti sangat gereget, melainkan mengapa yang
menabung di bank syariah begitu kecil?
Belum lama berselang, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa
dia geregetan dengan kondisi pangan kita. Katanya, Indonesia negara yang
kaya, sawahnya luas, tapi mengapa kita masih mengimpor beras?
Beberapa Persyaratan
Baiklah, saya ajak Anda untuk sedikit melihatnya dari perspektif
manajerial. Untuk bisa mencapai kinerja yang optimal, memang ada beberapa
persyaratan yang mesti dipenuhi. Pertama, alat yang tepat. Sebab, sekeras apa
pun Anda bekerja, kalau alat yang Anda pakai tidak tepat, hasilnya tentu
kurang optimal. Contohnya, Anda mencoba membakar kertas dengan sinar
matahari, tetapi hanya memakai cermin biasa, kertas tak akan terbakar. Anda
harus memakai kaca pembesar.
Kedua, waktu yang tepat. Anda hanya bisa memakai kaca pembesar
tadi di saat matahari bersinar. Bukan malam hari atau kala matahari tertutup
awan. Ketiga, tempat yang tepat. Anda hanya bisa membakar kertas dengan kaca
pembesar kalau lokasinya di tempat terbuka. Bukan di tempat yang terlindung
dari matahari. Keempat, cara atau strategi yang tepat. Cara Anda memegang
kaca pembesar mesti tepat. Bukan miring. Kelima, sasaran yang tepat. Anda
mesti memusatkan cahaya matahari ke satu titik yang tepat di kertas. Bukan
bergeser-geser.
Apa jadinya kalau lima hal tadi tak terpenuhi? Kerja kita
menjadi kurang gereget dan akhirnya kita malah membuat orang geregetan. Bagaimana
caranya supaya kerja kita mempunyai gereget?
Kata orang, tempalah besi selagi panas. Kalau sudah dingin, besi
akan sulit dibentuk. “The present
moment is all you ever have,” kata penulis asal Kanada yang lahir di
Jerman, Eckhart Tolle. Tapi, sastrawan Irlandia, William Butler Yeats, kurang
setuju dengan Tolle. Dia bilang begini, “Do
not wait to strike till the iron is hot; but make it hot by striking.”
Jadi, selalu ada jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar