Demokrasi
Mendorong Korupsi?
Burhanuddin Muhtadi ; Direktur
Eksekutif Indikator Politik Indonesia
|
KORAN TEMPO, 16 April 2015
Ada kelakar menarik dari Kiai Hasyim Muzadi. Dia bercerita, "Pada masa Orde Lama, korupsi
dilakukan di bawah meja. Tapi, pada masa Orde Baru, korupsi mulai
terang-terangan dilakukan di atas meja. Justru pada masa Reformasi sekarang
ini, bukan hanya uangnya yang dikorupsi, mejanya pun ikut dibawa lari."
Analogi Kiai Hasyim tersebut mewakili kegelisahan umum yang
berkembang belakangan ini, bahwa demokrasi yang dilahirkan rezim Reformasi
justru memproduksi korupsi yang tiada henti. Publik terus dibombardir oleh
kasus-kasus korupsi, sehingga lama-kelamaan berita korupsi makin kehilangan
aspek breaking news-nya.
Data Kementerian Dalam Negeri 2014 yang merilis 3.169 anggota
DPRD se-Indonesia yang tersangkut korupsi pun tak mampu lagi menggugah rasa
penasaran kita. Kembali ke sindiran Kiai Hasyim, bahwa alih-alih demokrasi
menurunkan derajat korupsi, rezim Reformasi justru membuka kotak Pandora
korupsi. Benarkah demokrasi sejak 1998 membawa petaka korupsi?
Dalam paper-nya yang berpengaruh, "The Causes of Corruption: a Cross-National Study"
(2000), Daniel Treisman mengatakan bahwa tidak benar klaim yang mengatakan
demokrasi membawa balada korupsi. Data cross-national
di dunia menunjukkan negara otoriter cenderung lebih korup ketimbang negara
demokratis.
Secara statistik, hanya negara yang punya pengalaman 40 tahun
lebih dalam berdemokrasi yang secara signifikan terbukti korupsinya lebih
sedikit dibanding rezim otoriter di dunia. Kalau kita mengikuti temuan
empiris ini, secara linear, Indonesia butuh 23 tahun lagi (terhitung sejak
reformasi 1998) agar korupsi bisa berkurang secara drastis di sini.
Tapi hubungan antara demokrasi dan korupsi, terkait dengan
sistem pemerintahan otokratik dan demokrasi, tak selinear yang dibayangkan
orang. Studi Treisman punya persamaan sekaligus "perbedaan" titik
tekan dengan temuan riset yang dilakukan Montinola dan Jackman (2002).
Persamaannya adalah demokrasi punya efek terhadap upaya
memberantas korupsi. Namun, menurut Montinola dan Jackman, efek demokrasi terhadap
pemberantasan korupsi tidak bersifat linear. Di negara semi-demokrasi atau
belum terkonsolidasi, korupsi justru lebih banyak terjadi ketimbang di
negara-negara otoriter. Demokrasi baru punya efek mengurangi korupsi jika ia
sudah terkonsolidasi dan terlembaga secara baik.
Mengapa rezim demokrasi baru justru menangguk petaka korupsi
lebih besar? Pendekatan institusi dapat menjelaskan hubungan non-linear
antara demokrasi dan korupsi. Pada transisi menuju demokrasi, law enforcement tidak berjalan dengan
baik. Pejabat yang berniat korupsi merasa yakin tak akan ditangkap jika
melakukan penyalahgunaan kekuasaan. Lembaga-lembaga produk demokrasi lainnya
juga belum bekerja secara meyakinkan.
Sementara itu, hegemoni rezim otoriter mampu mengerem laju
korupsi, meski dengan represi. Korupsi tentu juga terjadi, tapi lebih
bersifat predictable, dilakukan
oleh lingkaran dekat rezim dan terpusat. Persis pada masa Soeharto, korupsi
terjadi secara masif, tapi dilakukan oleh aktor-aktor yang dekat dengan
penguasa.
Pada rezim
semi-demokrasi, korupsi mengalami desentralisasi dan terfragmentasi.
Indonesia pasca-Reformasi menunjukkan pola korupsi yang menyebar dan bersifat
unpredictable. Desain institusi amburadul dan bekerja secara serabutan. Pada
saat yang sama, kapasitas sumber daya dan sistem pengawasan tidak memadai.
Pada saat itu juga, publik mengalami surplus percaya diri. Media
massa dan civil society mempunyai
akses terhadap informasi setiap detail penyelewengan kekuasaan. Elite tak
lagi bersifat monolitik dan solid. Rezim demokrasi baru membuka kesempatan
bagi publik untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Di sinilah perbedaannya dengan rezim otoriter, di mana akses
informasi terhadap kasus korupsi ditutup rapat-rapat. Setiap inisiasi
masyarakat madani untuk mengawasi pemerintahan, direpresi secara brutal.
Rezim otoriter tampak bersih dari korupsi bisa jadi karena publik tak
mendapat akses informasi tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan rezim
demokrasi, meski belum terkonsolidasi sekalipun, membuka celah partisipasi
warga secara luas sehingga setiap titik korupsi sekecil apa pun pasti
terlihat besar di mata publik.
Yang diperlukan sekarang adalah kesabaran demokratik untuk
meniti jalan Reformasi. Jangan buru-buru mengambil kesimpulan bahwa masa lalu
lebih baik daripada sekarang. Demokrasi, di dalam dirinya, by definition, punya mekanisme
mengurangi korupsi, karena demokrasi punya dua hukum besi: pertama,
partisipasi publik dan akses informasi dibuka lebar-lebar, sehingga
penyalahgunaan kekuasaan idealnya bisa ditekan. Kedua, demokrasi punya
prosedur formal melalui pemilu agar partai atau politikus korup bisa "ditendang"
ke luar lapangan.
Untuk itu, partai memainkan peran krusial dalam agenda perang
melawan korupsi. Partai adalah etalase dan instrumen penting demokrasi. Jika
partai kita banyak yang terjerat korupsi, akibatnya publik tidak percaya
terhadap demokrasi. Partai yang korup itu sama saja membunuh demokrasi secara
perlahan, tapi pasti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar