Selasa, 21 April 2015

Cek Kosong Bangsa

Cek Kosong Bangsa

Garin Nugroho  ;  Penulis Kolom “Udar Rasa” Kompas Minggu
KOMPAS, 19 April 2015

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

”Setiap kandidat presiden di negeri ini seperti memberi cek kosong kepada rakyat atas nama berbeda-beda, kemudian harus mengisinya secepatnya ketika terpilih.”

Presiden Soekarno membawa cek kosong atas nama popularitas yang visioner berbasis spirit nasionalisme, kemerdekaan, dan keadilan. Soekarno di awal pemerintahannya mampu mengisi cek kosong dengan mentransformasi Indonesia dalam peran dunia di tengah langkanya sumber daya manusia di berbagai bidang dan belum terbentuknya dasar dan infrastruktur organisasi berbangsa, bahkan dalam ekonomi yang minus.

Presiden Soeharto yang tidak populis membawa cek kosong atas nama kestabilan ekonomi dan keamanan. Ia mampu mengisi cek kosong pada awal pemerintahannya dengan mentransformasi pertumbuhan ekonomi dan keamanan lewat sistem militeristiknya.

Pascareformasi, Gus Dur membawa cek kosong atas nama kepemimpinan kerakyatan dan multikultur, Presiden Megawati atas nama Ibu Ideologi, Habibie cek kosong atas nama transisi politik yang bersih dan terjaga lewat intelektualitas. Pada akhirnya, SBY membawa cek kosong atas nama popularitas berbasis pemilihan langsung sekaligus wajah sipil dalam tubuh militer yang membawa citra kestabilan dan pertumbuhan hati-hati yang terjaga.

Lalu bagaimana dengan Presiden Jokowi?

Presiden Jokowi membawa cek kosong atas nama popularitas sebuah ruang massa yang besar dalam era teknologi digital, meriah namun juga sekaligus maya karena tidak memiliki basis massa serta dasar dan infrastruktur konkret dalam berbagai perspektifnya, terlebih basis kekuatan politik makro dan mikro Indonesia dalam relasi militer, agama, politik, hingga partai.

Hal ini berbanding terbalik dengan presiden sebelumnya, SBY, yang telah mempunyai karier militer, politik, dan birokrasi dalam ruang makro Indonesia. Maka, SBY mampu mengisi cek kosong lewat seluruh dasar struktur dan infrastruktur yang pernah dilalui lewat politik keseimbangan bertumbuh yang hati-hati.

Membaca situasi di atas, sungguh tidak mudah bagi Jokowi mengisi secepatnya cek kosong tersebut. Sebutlah, mentransformasi gaya kepemimpinan relawan menjadi daya dukung birokrasi yang menggerakkan 65 persen bangsa ini.

Kemudian mengelola kekuatan kepentingan militer dan polisi serta pilar-pilar penegakan hukum yang mengalami puncak perebutan kepentingan yang memerlukan pemecahan masalah genuine sekaligus mampu mengelola hubungan kompleks pilar-pilar tersebut. Atau juga, mentransformasi puncak pertumbuhan ekonomi minyak yang dalam keadaan krisis, bahkan devisa negara hingga target pajak yang sangat tinggi yang bahkan tidak mungkin dilakukan banyak negara di tengah kebutuhan utang yang memerlukan campur tangan global, demikian juga menurunnya kemampuan produktif bangsa yang tinggal 10 persen, sementara 13 kementerian harus mengalami perombakan organisasi yang memerlukan waktu. Belum lagi mentransformasi budaya impor yang konsumtif menjadi budaya produktif, yang berarti melawan konglomerasi importir. Yang harus disadari dan lebih penting: rakyat telah mentransformasi euforia popularitas menjadi tuntutan kerja nyata.

Kepemimpinan populis di tengah era industri hiburan digital dan politik sebagai gaya hidup adalah sebuah ciri dari abad ini. Presiden Obama adalah salah satu fenomena terbaik. Sementara di Indonesia, masyarakat, meski hidup dalam industri informasi digital, lebih sebagai dunia hiburan dan gosip ketimbang data dan fakta. Alhasil, pemerintahan Jokowi yang lahir dari dunia maya tanpa dukungan konkret, kini, terimbas dunia gosip digital dalam berbagai aspek berbangsa, yang menjadikan masyarakat serba kebingungan dan ragu terhadap kepemimpinan. Sebutlah, kebingungan hubungan dukungan partai dengan Jokowi atau juga dukungan birokrasi, demikian juga begitu ragu dengan kemampuan pembantu Presiden membaca dan memecahkan masalah ekonomi. Alhasil, Presiden Jokowi masih terasa membawa cek kosong.

Membaca situasi di atas, Presiden Jokowi paling cepat mampu mengisi perlahan cek kosong dalam waktu dua tahun, sekiranya tidak ada faktor X yang menolongnya. Namun, dua tahun bukanlah waktu pendek, terlebih pada masyarakat melodramatik industri hiburan ini, yang sangat mudah jatuh cinta namun juga kecewa, serba gosip massa yang menghakimi sekaligus memaafkan, serba berganti topik dan berpindah, serba penuh perhatian namun juga tak peduli. Inilah sesungguhnya ujian era kepemimpinan populis! Kita tunggu saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar