Bermasyarakat,
Berbangsa
Daoed Joesoef
; Alumnus Université Pluridisciplinaires
Panthéon-Sorbonne
|
KOMPAS, 14 April 2015
Menilik gelagatnya kita dewasa ini tak lagi saling terikat
dengan ide, melainkan dengan kepentingan. Kelihatan betapa opini human
direduksi jadi sejenis debu intelektual, bertebaran ke segala penjuru, tak
berdaya untuk menghimpun, tak mampu berkohesi.
Rangkaian gerakan nasionalis di masa pra-kemerdekaan membuat
kaum terpelajar kita percaya bahwa "sejarah" adalah resultan dari
implementasi maksud-maksud yang disadari. Ide kemerdekaan-otonomi,
kesempatan, peluang, keterbukaan-menjadi aset nasional yang sama nilainya
dengan humus di permukaan tanah pulau-pulau. Namun lapisan teratas tanah
terbuka untuk erosi. Ia memerlukan usaha pencegahan yang relevan dan
konsisten.
Maka perlu disadari sejarah merupakan pula sebuah
"cerita" tentang yang tak terduga dan aneka kelalaian. Yang sering
tak terduga adalah kelalaian. Akibatnya, hukum kedua termodinamika punya
analogi: sistem sosio-politik kita cenderung kian merosot ke entropi. Ia
semakin efektif karena masyarakat kita berkembang jadi medan
kekuatan-kekuatan impersonal yang menyuburkan pertumbuhan individualisme
bawaan kapitalisme liberal dari pembangunan ekonomi teknokratis.
Padahal, kemerdekaan nasional terwujud berkat dedikasi
orang-orang, di antaranya relatif muda, yang melampaui pertimbangan
individualisme. Ongkos mahal kemerdekaan mereka bayar dengan nyawa yang tak
ternilai dalam kehidupan pribadi. Lalu apakah bangsa ini, Indonesia, yang
begitu didambakan dan begitu diabdi, dapat bertahan? Jawabannya tergantung,
antara lain, pada "siapa" kita ini, pada "pengertian
bangsa", pada apa yang dimaksud dengan "bertahan" (survive).
Ketika perang revolusioner di Amerika kian mendesak, Jenderal
George Washington memberi perintah pada pasukannya (30/4/1777), "Put none but Americans on guard
tonight!". Beginilah sikap visioner seorang founding-father, mengandalkan warga negara sebelum membentuk
bangsa. Kewarganegaraan merupakan suatu mindset (alam pikiran dan kejiwaan).
Ide visioner seperti ini yang kiranya terlalaikan oleh para pendiri bangsa
kita. Padahal, himne nasional "Indonesia Raya" telah mengingatkan
"jiwa" Indonesia-lah yang perlu dibangun lebih dahulu, baru
kemudian "badannya", demi kejayaannya.
Sewaktu pra-merdeka muda-mudi kita bersumpah "kami
bertanah-air satu", natur arsipelago Indonesia ketika itu masih berupa
suatu lokalitas fisik dan berpenduduk. Ketika di masa pasca merdeka kita
menyatakan diri suatu bangsa yang merdeka, natur negeri kepulauan ini bukan
lagi sekadar berupa substansi fisik. Hotel adalah sebuah lokalitas fisik dan
eksistensinya memerlukan penghuni (penduduk). Negara-Bangsa merdeka bukan
lokalitas fisik dan tak butuh penduduk, tetapi warga negara, personalitas
yang tak hanya "engage",
tetapi "commit", tak
hanya punya kewajiban moral, tetapi juga hak.
Jika hanya berdasarkan konvensi, tanpa rujukan pada natur, ia
berpijak pada opini yang menentukan konvensi. Bila opini berubah-secara luas
meliputi kebiasaan, norma, adat istiadat-konvensi akan berubah, disusul hak.
Demikian pula karakter dan kejiwaan warga negara. Berhubung kewarganegaraan
adalah suatu mindset, bila alam pikiran dan kejiwaan mengalami cukup perubahan,
orang bersangkutan mungkin masih tetap formal warga negara, tetapi dari suatu
bangsa yang lain.
Bagi orang atau orang-orang seperti ini, Tanah Air dihayati
dalam term fisik, bumi tempat berpijak serta menggali rezeki dan dalam term
formal, entitas politik dan ketatanegaraan yang memberikan mereka identitas
serta status manusia merdeka, tetapi tidak merunut term mental, yang
mengharapkan dari mereka kesediaan senasib-sepenanggungan dengan Tanah Air,
kerelaan berkorban demi preservasi harkat dan martabat Negara-Bangsa. Harta
galian dari bumi Indonesia mereka tumpuk dan putar di negeri lain,
menciptakan lapangan kerja di sana. Mindset mereka berkiblat pada negara
asing. Mereka "berbadan" Indonesia namun "berjiwa" asing.
Politikus dan negarawan
Parpol perlu waspada agar tak menjadi kumpulan kaum oportunis.
Para politikus boleh saja membina dirinya menjadi profesional di bidang
politik, namun sungguh tak layak bila mereka lalu membuat kerja politik
menjadi sumber kekayaan dan pelesiran. Apakah mereka tak risi menerima
"gaji" yang jauh lebih besar daripada penghasilan rata-rata orang
yang mereka wakili ditambah aneka fasilitas kerja yang tak pernah diminta
persetujuannya lebih dulu dari publik. Begitupun masih jelalatan cari proyek.
Kini organisasi mereka, parpol, malah diberi subsidi. Mengapa dana itu tak
disalurkan saja ke bidang pendidikan yang kerjanya jelas membangun masa depan
Indonesia. Ternyata pemerintah tak punya sense
of survival.
Kader parpol berusia muda perlu sadar tak akan selamanya jadi
generasi muda. Satu waktu mereka harus bisa dewasa, berani mengambil alih
pimpinan partai dari politikus senior yang selalu mau berkuasa, membangun
dinasti politik keluarga berdasarkan keturunan, keuangan. Yang korup bukanlah
kekuasaan an sich, seperti sentilan Lord Acton, tetapi nafsu berkuasa terus
menerus at all costs.
Jadi politikus seharusnya bukan ideal "generasi
dewasa", tetapi negarawan. Politikus adalah negarawan yang membuat
Negara-Bangsa mengabdi pada dirinya, termasuk kepentingan primordial kelompoknya.
Negarawan adalah politikus yang membuat dirinya pengabdi Negara-Bangsa dan
rakyat. Rakyat tetap ingin diperintah para arifin. Publik mendambakan elite
berkarakter dan berprestasi berekam jejak jelas. Namun karakter nasional
adalah suatu substansi riil, dibentuk sebagian oleh hukum dan politik, pasti
tak terbuat dari marmer. Premis tata kepartaian kita justru tak melayani
harapan ideal itu. Anggota legislatif asyik menyusun kekuatan, berkoalisi,
dengan tujuan menjegal pemerintah agar politikus dan parpol yang menguasai
eksekutif gagal memberikan yang terbaik bagi rakyat. Tujuan utama mereka
memenangi pemilu berikutnya, bukan kebahagiaan umum rakyat.
Besar namun lemah
Negara adalah bangsa terorganisasi. Kerjanya yang kian kompleks
urusan pemerintah. Maka diperlukan opini publik guna mencerahkan kompleksitas
itu. Ada tulisan pribadi, atentif, dan serius di rubrik opini dan ruang
pembaca media cetak, namun tak ditanggapi sebagai opini publik oleh
pemerintah yang dipagari aneka lapisan dari the president's men.
Tulisan-tulisan bijak tadi tak dibaca oleh alamat yang ditujunya. Sementara
maksud fundamental liberalisme modern adalah kesetaraan dan ini membina
pemerintah hingga percaya pada moral equality
of appetites.
Akibatnya, saksikan saja kondisi pemerintah yang berlaku. Ia
besar (kabinet berkementerian banyak), tetapi tidak kuat; mampu memberi,
tetapi tidak memimpin, kedodoran. Kondisi ini sebagian karena degradasi dogma
demokratis. Ia jadi begitu jelas oleh kenyataan bahwa kini tidak ada pujian
yang lebih tinggi daripada ucapan bahwa pemerintah atau pejabat adalah
responsif. Namun suatu pemerintahan yang keresponsifannya berupa suatu
obsesi, cenderung tak mampu memimpin, lebih-lebih kalau sikap itu berupa
blusukan tanpa samaran, non-incoqnito. Ia tak lebih daripada pencitraan
belaka, perbuatan politikus, bukan negarawan.
Kemampuan sejati pemimpin adalah bisa mengatakan kepada rakyat
apa-apa yang mereka butuhkan sebelum mereka menyadarinya sendiri. To govern is to foresee. Liberalisme
yang, menurut George F Will, adalah the
politics of the pleasure principle membuat pemerintah berdagang sapi.
Pemerintah tumbuh gendut, tetapi lunglai. Ada beberapa kementerian dan
jabatan menteri koordinasi yang serba artifisial. Kemubaziran ini turut
dipicu niat mengadakan perubahan besar-besaran, dalam tempo yang relatif
singkat. Too much too soon. Bukan
yang banyak adalah baik, tetapi yang baik itu adalah banyak.
Pemerintah keliru ketika memercayakan program kerja kabinet pada
kepakaran atau spesialisasi. Spesialisasi ada di kabinet, di staf
kepresidenan, di administrasi pemerintahan. Sistem pendidikan pun terus
membanjiri pemerintahan dengan alumni yang kian spesialistis. Progres memang butuh
spesialisasi. Namun spesialisasi mengabaikan banyak hal yang diniscayakan.
Kenyataan ini membahayakan progres dan, akhirnya, peradaban yang adalah
rajutan keragaman ide yang khas dan unik. Perlu kesadaran tentang ranah
intelektual di mana tumbuh praktik dan masalah kontemporer.
Sidang kabinet perlu sesekali mengadakan diskusi serius tentang
ide politik. UUD '45 dan semua
dokumen politik yang terkait, di antaranya Pancasila, merupakan suatu
intricate judgment tentang bagaimana manusia Indonesia (seharusnya)
berperilaku, bukan bagaimana pasar berperilaku, berdasarkan kondisi waktu di
saat dokumen-dokumen itu ditulis. Perlu kejelasan dan kesamaan persepsi
apakah ia masih berlaku berdasarkan kondisi kekinian. Negarawan yang tak
menyadari ide yang membentuk lembaga yang di bawahinya dan tak tertarik pada
ide yang membina ekspektasi dan toleransi dari warga negara adalah pejabat
publik yang dikuasai kekuatan-kekuatan yang dia tidak pahami. Dia cenderung
mengira punya jangkauan pengaruh lebih luas bagi aksi efektifnya daripada
yang sebenarnya. Dia melalaikan koneksi antara kehidupan mindset dan
kehidupan riil masyarakat.
Pemerintah Indonesia yang demokratis perlu bertindak sebagai
tutor dan pelayan bagi rakyat. Bila ia lalai melakukannya, berarti berutang
kebajikan kepada mereka. Mengingat kewarganegaraan adalah suatu mindset, layanan dan ketutoran pertama
dan utama dari pemerintah adalah menempa "penduduk" menjadi
"warga negara" pancasilais. Penempaan itu bukan dengan hafalan
semua sila dari filosofi dasar Negara-Bangsa, tetapi melalui pembiasaan
perbuatan yang diamanatkannya hingga sikap pancasilais jadi second nature manusia Indonesia. Salah
satu perbuatan itu adalah kebijakan pembangunan nasional dalam term ruang sosial di mana pembangunan
manusia titik sentralnya.
Konsep pembangunan ini sudah dimuat di harian ini. Kalau ia
disimak dengan teliti akan terbayang efek-efek pancasilais dalam tata
kehidupan sehari-hari tanpa menyebut eksplisit terkait dengan sila mana.
Bahkan ada efek lain berupa kebijakan yang cukup komprehensif. Jadi aksi
pembangunan ini laksana sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampau. Ini
memang baru suatu gambaran imajiner, bukan riil, tetapi teorinya correct
untuk membenarkan ekspektasi konklusifnya.
Pancasila ternyata bisa berlaku dalam kondisi kekinian.
Negara-Bangsa tak seharusnya dianggap sebagai tak lebih baik daripada
persepakatan dalam perdagangan cengkeh, kelapa sawit, dan konsen rendahan
lainnya. Negara-Bangsa perlu ditanggapi melalui referensi yang berbeda karena
ia bukan suatu kemitraan usaha yang tunduk hanya pada kehidupan makhluk yang
bersifat temporal dan bisa lapuk. Ia satu kemitraan dalam semua ide keilmuan
dan filosofis, dalam semua kiat, dalam segala nilai dan kebijakan, dalam
setiap perfeksi. Maka ia diniscayakan jadi kemitraan di kalangan intelektual,
warga negara yang telah mengenyam pendidikan relatif cukup berkat
kemerdekaan.
Dalam mengusahakan perbaikan peradaban human, landasan berpijak
tak hanya sulit didapat, tetapi juga sulit dipertahankan. Pancasila dapat,
asal kita tak munafik, diandalkan menjadi the
civilizing discipline of well-practiced politics. Demi survival,
Indonesia membutuhkan pembangunan pancasilais dan common happiness, bukan sekadar pembangunan ekonomi berkelanjutan
dan common wealth. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar