Awan Gelap Keamanan Pangan
Posman Sibuea ;
Guru
Besar Ilmu Pangan di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas
Sumatra Utara, Medan
|
MEDIA
INDONESIA, 01 April 2015
BAGI Anda yang doyan menikmati
minuman dengan campuran es batu di warung makan, untuk sementara harus mulai
berhati-hati. Ada dugaan es batu yang digunakan berasal dari air yang
tercemar dan belum dimasak.Setelah meneguknya, alih-alih rasa segar yang
diperoleh, tetapi memunculkan risiko sakit penyakit. Negeri dikepung racun,
itulah salah satu topik `Primetime
News' Metro TV edisi Jumat (27/03) yang menguak carut-marut perdagangan
pangan yang tidak aman dikonsumsi. Es batu yang tidak memenuhi persyaratan
untuk bahan tambahan minuman karena air yang digunakan diambil dari salah
satu sungai di Jakarta, hanyalah salah satu dari sekian banyak masalah
keamanan pangan di negeri ini. Itu ibarat fenomena puncak gunung es.
Berformalin
Badan POM, Kemenkes, YLKI, dan
lembaga survei lainnya sudah sering melakukan uji mutu dan keamanan pangan
olahan (food safety). Hasilnya tidak berbeda dari waktu ke waktu. Berbagai
jenis produk pangan yang tidak aman karena berformalin tetap diperdagangkan.
Praktik penipuan pun masih berlangsung yang kerap mencederai kesehatan.
Penggunaan formalin untuk makanan sudah di larang. Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999 memberi regulasi penggunaan ba han
tambahan makanan, mengingat bahaya serius yang akan dihadapi bila formalin
masuk ke tubuh manusia. Formalin akan menekan fungsi sel, menyebabkan
kematian sel, dan keracunan. Pada binatang percobaan, formalin diperkirakan
menyebabkan timbulnya kanker.
Apakah karena konsumen pangan
tidak berteriak ke sakitan seperti halnya warga lain yang berdarah-darah
akibat terkena serpihan bom, sehingga pemerintah abai? Padahal formalin yang
ditambahkan ke produk makanan olahan menjelma jadi monster pencabut nyawa.
Produsen makanan olahan kurang peduli terhadap mutu dan keamanan pangan yang
diproduksinya karena sekadar mencari untung.
Mereka kerap melanggar aturan,
tidak saja menggunakan pengawet formalin, tetapi juga meracuni kon sumen
dengan zat pengawet lain secara berlebihan. Penarikan mi numan isotonik dari
pasaran pada akhir 2006 ialah serpihan contoh lainnya. Bermula dari hasil
temuan LSM Kombet (Komite Masyarakat Antibahan Pengawet) Oktober 2006 pada
sejumlah minuman isotonik yang mengandung pengawet natrium benzoat dan kalium
sorbat.
Kandungan bahan pengawet minuman
isotonik yang ditarik BPOM ini memang masih dalam taraf aman. Kekeliruannya
ialah tidak mencan tumkan informasi bahan pengawet yang digunakan pada label
secara benar. Boleh jadi, produsennya menganggap informasi pada label kemasan
tidak begitu penting karena kandungan pengawet kimia yang di gunakan masih
dalam takaran yang normal. Namun, mereka lupa informasi yang akurat tetap
dibutuhkan konsumen, seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah No 69 tahun
1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
Pihak industri pangan kerap melakukan
kesalahan dengan tidak memberi label pada produk olahan pangannya. Kalaupun
memiliki label, tetapi informasi di dalamnya tidak menjelaskan produk
tersebut secara akurat. Informasi yang diberi kan pelaku industri pangan
kepada konsumen relatif kurang lengkap, bahkan kerap memuat hal-hal yang
membingungkan dan cenderung merugikan.
Label pangan secara definitif
sesuai dengan PP No 69 tahun 1999 Pasal 1 disebutkan sebagai keterangan yang
berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan
pada pangan, dimasukkan, dan ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan
pangan. Jadi, label pangan harus berisikan keterangan yang jujur, jelas, dan
tidak menyesatkan konsumen.
Perlindungan
Produk pangan olahan pada prinsipnya
tidak dilarang menggunakan bahan pengawet, asal penggunaannya dan dosisnya
tidak melampaui ambang batas yang ditentukan WHO atau Badan POM. Sayangnya,
pihak industri pangan acap kali tidak menuliskan jenis dan jumlah bahan pengawet
yang digunakan pada label. Hal ini sudah melanggar UU No 18/2012 tentang
Pangan, UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen, PP No 69/ 1999 tentang
Label dan Iklan Pangan, dan PP No 28/ 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi
Pangan.
Pada tataran praktik, keempat
perangkat hukum ini masih sebatas macan kertas karena belum pernah di gunakan
pemerin tah untuk menjerat seberat-beratnya pihak industri pa ngan yang mem
produksi makanan olahan yang tidak memenuhi syarat ke sehatan. Bahkan, ketika
Badan POM menarik sejumlah minuman ringan dari pasar karena bahan pengawetnya
tidak disebutkan pada label, ternyata di berbagai pusat perbelanjaan produk
minuman terlarang itu masih beredar dan masih dikonsumsi sejumlah orang.
Praktik-praktik bisnis pangan
seperti ini menggambarkan bahwa negeri ini masih diselimuti awan gelap
keamanan pangan. Pembohongan publik kerap dilakukan industri pangan. Ketika
mendaftarkan produknya ke instansi terkait, disebut tidak memakai bahan
pengawet. Namun, dalam praktiknya, produsen `nakal' kerap menggunakan BTM
melampaui takaran yang dianjurkan, bahkan menambahkan bahan yang tidak
semestinya digunakan.
Ringannya putusan peradilan
seperti masa percobaan dalam berbagai perkara makanan yang merugikan
kesehatan memberi ruang untuk kembali melanggar aturan main dan bukti
tersumbatnya saluran perlindungan konsumen.PP No 69/ 1999 tentang Label dan
Iklan Pangan, sesungguhnya merupakan payung hukum yang dapat melindungi
konsumen. Ke depan, pemerintah harus memiliki good will terhadap perlindungan konsumen pangan.Unsur keamanan
pangan dalam bisnis produk olahan makanan yang kini amat pesat
perkembangannya patut mendapat perhatian, demi pembangunan mutu SDM
Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar