Politik
Beras ala Jokowi
Atang Trisnanto ; Direktur Eksekutif
National Food Security Studies (Nafis)
|
KORAN
SINDO, 03 Maret 2015
Berbicara mengenai beras, berbicara mengenai kebutuhan perut
hampir seluruh rakyat di negeri ini. Dengan segala ceritanya, beras kini
menjadi pangan utama nasional.
Satu waktu beras hanya menjadi barang biasa, namun di waktu yang
lain menjelma menjadi barang yang cukup istimewa. Beras seharusnya bisa
terjangkau oleh seluruh rakyat di negeri ini. Tak boleh ada yang lapar, tak
boleh ada yang tidak bisa makan. Sejarah telah mencatat bahwa hampir semua
negara menempatkan ketersediaan pangan sebagai kebijakan strategis. Jika
rakyat lapar, ancaman terhadap stabilitas nasional akan semakin besar.
Maka itu, tidaklah berlebihan jika Perdana Menteri India periode
1947- 1964 Jawaharlal Nehru mengatakan, ”Segala sesuatu dapat menunggu, tapi
tidak untuk pertanian. Apa pun, yang paling utama adalah harus cukup pangan.
Berikutnya, baru yang lain.” Sebaliknya, jika kebutuhan pangan terpenuhi,
urusan yang lain akan lebih mudah diselesaikan. Henry Kissinger, menlu AS era
1973-1976, menyampaikan, ”Siapa pun yang punya akses terhadap minyak, mereka
akan dapat mengontrol banyak negara.
Siapa pun yang memiliki akses terhadap pangan, mereka akan mampu
mengontrol masyarakat.” Betapa pentingnya ketersediaan pangan membuat hampir
seluruh presiden Indonesia cukup disibukkan dengan masalah beras. Lantas,
bagaimana dengan kebijakan pangan era Jokowi? Gebrakan awal mengenai
prioritas perbaikan infrastruktur irigasi, sarana prasarana pertanian, dan
percepatan sistem penyaluran benih unggul cukup menumbuhkan harapan yang
tinggi. Namun, target ekspor beras 1 juta ton akhir 2015 cukup membingungkan.
Pentingkah ekspor beras saat ini? Perlukah bagi kemandirian pangan? Adakah
efeknya terhadap pasar beras dalam negeri?
Fenomena Kenaikan Harga Beras
Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan persentase kenaikan harga
beras yang cukup fantastis. Kenaikan harga hingga 30% merupakan yang terbesar
sepanjang 15 tahun terakhir. Kenaikan harga beras pada masa-masa sebelum
panen raya biasanya hanya berada pada kisaran angka maksimal 10%.
Beras kualitas sedang di pasaran saat ini rata-rata seharga
Rp12.000 dari sebelumnya Rp9.000. Beras premium bahkan bisa tembus di atas
angka Rp15.000 sampai Rp18.000 per kg. Dalam teori ekonomi, kenaikan harga
barang disebabkan oleh hukum supply and
demand yaitu rendahnya supply,
tingginya demand, atau kedua faktor tersebut sekaligus. Lantas, apakah hukum
ekonomi ini berlaku juga pada kenaikan harga beras saat ini? Jika bicara
demand, permintaan terhadap beras relatif stabil dari waktu ke waktu.
Kalaupun ada permintaan yang melonjak, biasanya terjadi pada
bulan-bulan hari raya keagamaan seperti Ramadan dan Lebaran. Kalaulah
permintaan naik akibat raskin tidak dibagikan pada November-Desember 2014,
hal tersebut hanya berdampak maksimal sampai awal Februari 2015. Kenapa?
Akhir 2014 Bulog telah melakukan operasi pasar. Raskin juga kembali dibagikan
pada akhir Januari.
Dengan demikian, bulan permintaan terhadap beras pada Februari
ini kembali normal. Namun, harga terus melambung sampai akhir Februari. Dari
sisi produksi, belum ada faktor ekstrem seperti banjir, hama padi, bencana
alam ataupun kegagalan panen masif yang menyebabkan turunnya produksi padi
dalam skala besar dibanding tahun sebelumnya.
Sebagai perbandingan, dari data BPS (2015), produksi padi turun
1.07% pada 2011 dan saat itu tidak terjadi kenaikan harga seperti sekarang.
Bandingkan dengan penurunan produksi padi 2014 yang hanya 0.94%. Lantas, ke
mana perginya produksi padi tersebut sehingga harga beras di pasaran jadi
naik? Selain produksi, faktor supply
juga dipengaruhi oleh masalah distribusi, cadangan beras di gudang, dan motif
ekonomi dalam rantai perdagangan.
Jika menilik produksi dan konsumsi beras (BPS, 2015), terdapat
surplus produksi hingga 5 juta ton lebih pada 2014. Di luar masalah valid dan
tidak data produksi dan konsumsi, seharusnya pasar tidak perlu panik dengan
kondisi beras nasional. Yang menjadi masalah kemudian adalah, kita sulit
mendeteksi secara akurat tentang seberapa besar gangguan distribusi dan motif
ekonomi terhadap harga beras.
Solusi Jangka Pendek
Melihat peta permasalahan, pemerintah harus segera menyelesaikan
masalah distribusi dan kemungkinan adanya rent
seeking. Kementerian Pertanian mesti cepat berkoordinasi dengan daerah
dalam memetakan sebaran panen. Data ini penting bagi Kemenhub dan Kemendag
untuk memperbaiki distribusi beras ke sentra konsumen. Satuan khusus Polri
yang seharusnya selevel Densus 88 melakukan operasi terkait kemungkinan ada
penimbunan beras.
Bulog harus segera melakukan operasi pasar di wilayah sentra
konsumsi yang strategis. Operasi pasar ditujukan langsung ke konsumen di
pasar, bukan melalui pedagang yang selama ini dilakukan Bulog. Dalam jangka
panjang, pemerintah perlu mengembalikan Bulog pada fungsinya semula sebagai
penyangga dan stabilisator harga pangan. Untuk itu, Bulog dikembalikan ke
dalam bentuk lembaga pemerintah nondepartemen (LPND), bukan sebagai BUMN yang
ditarget mendapatkan profit.
Untuk jalur distribusi, pemerintah harus memperbaiki sistem
angkutan khusus pangan strategis. Sistem gudang dan supply chain harus benar-benar menjadi fokus Kemendag. Terakhir,
kontrol terhadap pemerintah daerah dalam masalah pertanian perlu dikuatkan,
terutama dalam pencegahan konversi lahan. Sekali lagi, pemerintahan Jokowi
jangan dulu terobsesi dengan ekspor beras. Politik pangan utama adalah
ketahanan pangan dalam negeri.
Banyak hal mendasar lain yang masih perlu diselesaikan. Saya
yakin, rakyat dengan sendirinya akan memberikan standing applause atas kerja-kerja serius pemerintah. Yang
terpenting adalah citra abadi. Citra yang abadi akan muncul tatkala kepuasan
rakyat memang terpenuhi, bukan citra palsu yang hanya muncul sesaat dengan
sedikit polesan di sana-sini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar