Peringatan
untuk Masyarakat Madani
Achmad Soetjipto ; Ketua Umum Persatuan Purnawirawan AL; Mantan KSAL
|
KOMPAS,
02 Maret 2015
TNI siagakan pasukan untuk antisipasi konflik KPK vs Polri.
Demikian berita berbagai media massa, beberapa waktu lalu. Klarifikasi
Kapuspen TNI bahwa kesiagaan ini sesuai prosedur tetap operasional TNI tak
mengurangi kewaspadaan politik.
Pernyataan itu muncul di tengah memanasnya situasi politik,
terutama konflik antara KPK dan Polri. TNI dapat berkilah bahwa respons itu
masih dalam lingkup tugas pokok, yaitu operasi militer selain perang (OMSP).
Namun, apakah kesiagaan tersebut memenuhi sasaran, terutama menyangkut
situasi yang melatarbelakanginya? Tentu perlu dicermati lebih lanjut.
Mewaspadai OMSP
Dalam Pasal 7 Ayat (2) UU No 34/2004 tentang TNI memang tertera
tugas pokok TNI untuk melakukan operasi militer selain perang. Setidaknya ada
14 jenis OMSP, di antaranya mengatasi terorisme, mengamankan obyek vital,
menjadi pasukan perdamaian, memberdayakan wilayah pertahanan, dan membantu
penanganan bencana alam.
Namun, pada ayat selanjutnya (3) juga diatur bahwa pelaksanaan OMSP harus berdasarkan kebijakan dan
keputusan politik negara. Rambu
keharusan berpijak pada politik negara sudah barang tentu tidak memudahkan
pelaksanaan OMSP. Keputusan presiden dengan persetujuan DPR adalah bentuk
politik negara. Proses lahirnya kebijakan ini selain tidak mudah biasanya
juga makan waktu.
Beda halnya dengan operasi TNI yang diperbantukan dalam
penanggulangan bencana, seperti operasi pencarian dan evakuasi korban pesawat
AirAsia, itu sudah jelas dasar aturan dan SOP-nya. Juga dengan bergabungnya
TNI dalam berbagai kontingen pasukan perdamaian di bawah bendera PBB, hal ini
telah diatur pula. Selebihnya banyak wilayah abu-abu yang dapat diklaim TNI
sebagai bagian tugas OMSP. Inilah yang perlu mendapat perhatian serius
berbagai pihak, terutama bagi internal TNI, supaya tidak ada keraguan dalam
bertindak.
UU No 34/2004 sebenarnya merupakan jawaban atas tuntutan
masyarakat madani (civil society)
untuk mereposisi peran TNI. Tujuannya
mengakhiri dwifungsi ABRI yang dituding biang dan lahan subur
tumbuhnya fasisme militer. Selanjutnya militer harus di bawah
supremasi sipil dan dijauhkan dari ranah politik.
Peran operasi militer perang (OMP) dan OMSP yang dimisikan pada
TNI sangat jelas bukan
metamorfosis atau bentuk baru dari dwifungsi. Perbedaan mendasar
antara OMP dan OMSP militer AS dengan Indonesia, misalnya, sebenarnya bukan
pada tingkat operasinya, melainkan pada landasan fundamentalnya, yaitu
doktrin pertahanan.
AS ofensif aktif, Indonesia
dapat dikatakan defensif pasif. Proyeksi militer AS adalah keluar
dalam rangka memperkuat positioning sebagai adikuasa dan polisi dunia. OMP
yang dilakukan menyerang negara
lain diaku untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Sementara OMSP dengan
berbagai label seperti penjaga perdamaian, humanitarian asistensi, disaster
relief atau operasi yang lain
sebenarnya tak lepas dari upaya menunjukkan kedigdayaan
militernya. Juga karena diyakini gelar
OMSP hanya akan sukses jika tetap
memiliki dimensi kemampuan tempur.
Sementara Indonesia dengan pertahanan defensif (Sishanta) pada
dasarnya tidak untuk diproyeksikan
keluar, baik yang berlingkup OMP maupun OMSP. Ditambah dengan analisis bahwa
situasi saat ini kecil kemungkinan ada
negara yang akan menyerang Indonesia, dapat mendorong dan menjadi jaminan
militer untuk nganggur atau terjauhkan
dari tugas pokok OMP.
Untuk menyelenggarakan OMSP juga tidak bisa sembarangan karena
harus merupakan produk politik negara. Banyak di antara lingkup OMSP juga
belum memiliki aturan yang jelas. Beberapa di antaranya mengenai gelar operasi mengatasi gerakan separatis,
selama ini pemerintah menganggap polisi sudah cukup memadai.
Mengatasi aksi terorisme, pemerintah tampaknya sudah puas dengan
kinerja Densus 88 sehingga tidak membutuhkan pelibatan militer. Untuk
mengamankan wilayah perbatasan, kebijakan pemerintah juga belum jelas. Tugas
mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis, sementara ini
polisi dianggap sudah mampu.
Di sisi lain, militer merasa memiliki energi melimpah yang bisa
digerakkan untuk apa pun. Dari sinilah benih penyalahgunaan bisa muncul. Selama ini kita sering melihat personel
militer yang ikut terjun mengamankan stasiun kereta, terminal, pusat
keramaian, dan lain-lain. Apakah tugas ini merupakan produk kebijakan negara
dalam rangka OMSP atau inisiatif sendiri, ataukah karena pesanan pihak tertentu. Jika apa yang dilakukan tersebut,
meskipun berlabel OMSP, tetapi tanpa dasar politik negara, tentu sangat
membahayakan. Penyelewengan kecil jika
terakumulasi akan menjadi modal pembangkangan.
Memang banyak peran militer di sejumlah negara yang langsung
bersentuhan dengan ranah sipil dalam rangka OMSP. Di AS, misalnya, dapat
dilihat pada saat berperan meredakan kerusuhan rasial di Los Angeles pada Mei
1992, tetapi itu berdasarkan keputusan politik. Peran US Marine ketika itu
adalah melindungi fasilitas vital dan melindungi polisi yang melakukan
penertiban. Mereka hadir untuk mem-backup polisi jika polisi terancam mereka
baru turun dengan prosedur yang jelas.
Intinya, operasi militer AS dalam kasus di atas karena perintah
negara, bukan karena inisiatif sendiri, segenting apa pun situasinya.
Penguatan supremasi sipil
Thailand yang selama ini
dianggap negara terkemuka dalam berdemokrasi di kawasan, toh tak mampu
mensterilkan militer dari politik. Setiap konflik sipil, terutama konflik di
tingkat elite politik, senantiasa diakhiri dengan tampilnya militer. Aksi militer
Thailand dapat pula terjadi di sini jika ada keadaan yang memungkinkan. Atas
nama OSP yang bias aturan pelaksanaannya, TNI dapat sering berinisiatif unjuk
kekuatan pada ranah sipil.
Elite politik nasional bukan tidak menyadari potensi ancaman
itu. Sayangnya kebijakan untuk mencegah hal tersebut terkesan absurd, yaitu
dengan memperlemah militer.
Jika keadaan ini berlarut, negara pula yang akan rugi karena
jika militer lemah, negara juga akan lemah. Tanpa punya kekuatan
penggentar sama artinya kita
mengundang negara lain untuk intervensi. Ada memang upaya memberi
"mainan" pada militer, seperti pada program MEF, tetapi sejujurnya
semua itu masih jauh dari kebutuhan ideal.
Memperkuat masyarakat madani dan konsolidasi demokrasi adalah
strategi fundamental untuk mencegah militer kembali ke politik. Sipil kuat
yang hidup dalam sistem demokrasi yang sehat adalah modal dasar tegaknya
supremasi sipil. Hal terpenting bagi masyarakat madani adalah kemampuan
membangun sistem yang dibutuhkan sebagai solusi masalah bangsa. Berikutnya
adalah kemampuan membangun manajemen konflik
dan perilaku kenegarawanan pada elite politik.
Sikap dan perilaku kenegarawanan adalah indikator
kematangan bernegara. Politik tanpa
kedewasaan hanya akan menyuburkan konflik untuk menuntut kemenangan ego dan
kepentingan primordial. Konflik yang sama dan berulang juga menunjukkan
bagaimana lemahnya otoritas sipil dalam membangun politik dan demokrasi yang
beradab.
Apabila elite politik masih saja sibuk berkonflik untuk hal yang
remeh-temeh, peningkatan eskalasi konflik hanya soal waktu. Ini adalah sinyal
bahaya bagi bangunan sistem demokrasi.
Terbukti bahwa dampak konflik tidak hanya memantik keresahan
pada masyarakat luas, tetapi juga TNI. Kalangan militer tahu persis bahwa
dinamika global saat ini sudah berbeda dari masa 10 tahun lalu.
Negara Barat tidak lagi menempatkan demokrasi dan HAM sebagai
alat penekan sejak mereka menyatakan perang terhadap terorisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar