Pemimpin
Berani Mengambil Keputusan
Frans H Winarta ; Ketua
Umum Peradin dan Dosen Fakultas Hukum UPH
|
KORAN
SINDO, 05 Maret 2015
Ketika perang Irak II pecah pada 2003, Inggris Raya
menyatakan ikut serta dalam pasukan koalisi di bawah pimpinan Amerika
Serikat. Protes berdatangan terhadap Perdana Menteri Tonny Blair baik di
dalam negeri maupun di luar negeri. Pemerintah Perancis dan Jerman menolak
bergabung dengan pasukan koalisi dengan alasan bahwa perang bukanlah jawaban
untuk menyelesaikan ketegangan dan perimbangan kekuatan di Timur Tengah.
Dialog adalah jalan terbaik mengurangi ketegangan dan pertimbangan kekuatan
di Timur Tengah.
Dalam tayangan televisi setempat, Tonny Blair bertemu
sejumlah mahasiswa dari berbagai universitas di Inggris yang menanyakan apa alas
an Inggris bergabung dengan pasukan koalisi dan terjun ke dalam perang Irak.
Dengan tangkas Tonny Blair berkilah bahwa salah atau benar keputusannya untuk
ikut perang Irak akan ditentukan oleh sejarah di kemudian hari karena sebagai
pemimpin eksekutif tertinggi Britania Raya, dia harus mengambil keputusan
secepatnya apakah ikut atau tidak ikut dalam perang Irak.
Sebagai seorang pemimpin dengan gayanya kepemimpinannya
yang khas, dia menjelaskan kepada kurang lebih 20 mahasiswa bahwa dia harus
memutuskan dan tidak bisa tinggal diam. Dia menolak tuduhan banyak pihak
bahwa dirinya sebagai ”pudel” (poodle)
dari Presiden Amerika Serikat George W Bush. Keputusan untuk ikut dalam
perang Irak dia pertanggungjawabkan kepada rakyat setelahnya.
Sejarah menilai apakah keputusannya benar atau tidak.
Salah satu dari sekian alasan yang melatarbelakangi keputusannya adalah ada
senjata pemusnah (weapon of mass
destruction) yang dimiliki Irak yang tentu akan membahayakan dunia,
khususnya di Timur Tengah. Kemudian kecurigaan ini salah karena Irak tidak
memiliki senjata pemusnah yang dituduhkan Presiden Amerika Serikat George W
Bush saat itu.
Dalam kesempatan lain, sebelumnya Perdana Menteri Inggris
Margareth Thatcher berada dalam masa transisi berakhirnya hak Inggris
menempati Hong Kong pada 1997 dan akan diserahkan kembali kepada RRC. Rakyat
Hong Kong tentu saja resah karena sistem pemerintahan demokrasi yang dianut
Hong Kong selama ini akan berubah menjadi sistem komunis.
Tetapi, Thatcherdengantangkas menjawab pertanyaan
mahasiswa Hong Kong yang ditayangkan di stasiun televisi setempat bahwa
dirinya menjamin bahwa Hong Kong di bawah RRC akan tetap mempertahankan
sistem pemerintahan demokrasi. Dia menjamin bahwa Hong Kong akan menjadi ”safe haven for democracy”. Ini
menjadi kenyataan dan janjinya dipenuhi. Dapat terlihat dari dua petikan
cerita tadi bahwa dua perdana menteri merupakan pemimpin yang ”decisive”,
berani mengambil keputusan saat krisis tanpa ragu dan tidak diombang-
ambingkan keadaan di sekitarnya.
Ini bisa terjadi karena karier politik mereka dimulai dari
bawah sebagai anggota dan pengurus partai buruh dan partai konservatif
kemudian menjadi anggota parlemen (House
Of Lord dan House Of Common).
Mereka teruji dan memiliki kepemimpinan yang tegas serta berani mengambil
keputusan. Contoh dramatis lain adalah ketika Rusia membangun markas
persenjataan peluru kendali di Kuba permulaan tahun 1960-an, tepatnya di the Bay
of Pig. Markas persenjataan peluru kendali tersebut rupanya mengarah ke
daratan Amerika Serikat.
Dengan tegas Presiden John F Kennedy mengancam akan
mendeklarasikan perang kepada Rusia dan Kuba jika markas tersebut tidak
segera dibongkar. Setelah melalui diplomasi berulang yang memakan waktu lama
serta perdebatan yang cukup sengit di PBB, akhirnya Rusia membongkar markas
persenjataan peluru kendali di the Bay of Pig tersebut. Peristiwa ini
kemenangan besar Amerika Serikat dibawah kepemimpinan Presiden John F Kennedy
saat itu.
Pidato Presiden
John F Kennedy yang terkenal adalah ketika dia mengucapkan: ”And so, my fellow Americans: ask not what
your country can do for you. Ask what you can do for your country. My fellow
citizens of the world: ask not what America can do for you, but what together
we can do for the freedom of man”. Dalam mengambil sebuah tindakan
krusial, harus dipikirkan apa yang terbaik untuk bangsa dan negara.
Segera setelah pidato mengesankan itu, beribu-ribu pemuda-
pemudi Amerika Serikat bergabung dalam ”Peace Corps” yang membantu
pengembangan olahraga, budaya, musik, kesenian, dan lain-lain di negaranegara
berkembang.
Kejutan Awal Tahun
Saat ini Indonesia memerlukan pemimpin berkarisma dan
berkarakter kuat untuk memecahkan berbagai krisis dan persoalan bangsa yang
besar ini. Dalam konteks perseteruan KPK vs Polri, Presiden Jokowi harus
memutuskan apa yang terbaik bagi bangsa Indonesia dengan mempertimbangkan
berbagai aspek seperti konstitusi, hukum, moral, sosiologis, dan psikologis.
Berdasarkan konferensi pers di Kompleks Istana
Kepresidenan pada Rabu, 18 Februari 2015, Presiden Jokowi pada akhirnya
membatalkan pelantikan Budi Gunawan sebagai kepala Polri dan memutuskan akan
mengusulkan calon kepala Polri yang baru kepada DPR RI yakni Komisaris
Jenderal Badrodin Haiti yang kini menjabat wakil kepala Polri. Telah sekian
lama Presiden Jokowi terkesan ragu-ragu menggunakan hak prerogatifnya dalam
penunjukan kepala Polri.
Terlalu banyak perhitungan politis dapat mengakibatkan
pamor dan wibawa Presiden Jokowi merosot tajam. Keputusan Presiden Jokowi
yang ditunggu- tunggu oleh rakyat akhirnya datang juga. Bahwasanya, hak
prerogatif presiden ada di dalam tangan Presiden Jokowi sendiri. Keputusan
yang dihasilkan dari hak prerogatif tersebut tidak bergantung pada putusan
praperadilan.
Seharusnya yang perlu dipikirkan adalah apa yang terbaik
untuk memilih pembantu Presiden agar pemerintah dapat bekerja dengan efektif
dan efisien. Apa pun itu, semua harus selaras dengan ”Nawacita” dan ”Revolusi
Mental” yang dikumandangkannya saat kampanye pemilu dulu. Jika tidak, itu
hanya janji kosong yang tidak bermakna. Harapan rakyat sangat tinggi terhadap
Presiden Jokowi dan tentu akan kecewa jika ”Nawacita” dan ”Revolusi Mental”
tersebut akhirnya tidak tercapai.
Presiden Jokowi tidak boleh ragu dan takut mengambil
keputusan kalau itu demi kepentingan rakyat. Jangan sampai, dukungan rakyat
antiklimaks terhadap Jokowi merosot lebih lanjut karenanya. Kelambanan
mengambil keputusan bukanlah kesabaran, ketakutan membuat terobosan bukanlah
kehati- hatian. Seorang pemimpin haruslah berani mengambil keputusan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar