Orde
Batu (Akik)
Agus Dermawan T ; Pengamat Budaya dan Seni
|
KOMPAS,
19 Maret 2015
Pada
1990-an di Kamasan, Klungkung, Bali, I Made Sekar terkenal sebagai pengukir
dan penempa kelongsong peluru. Di permukaan dinding peluru kaliber 76 mm Gun M48
B-1 yang besarnya selengan orang dewasa, ia mengukir adegan romantik
Ramayana.
Begitu
bagus dan larisnya kreasi Sekar, sampai istri pahlawan Laut Aru, Komodor Jos
Sudarso, menyebut Made Sekar sebagai "seniman modern zaman logam".
Atas sebutan manis itu ternyata Sekar menolak.
"Akar
kebudayaan saya sebagai orang Bali adalah batu. Pura, puri, sampai
angkul-angkul kami semuanya dari batu. Kami akan selalu menjadi seniman
modern zaman batu," katanya.
Adapun
logam baginya adalah lambang pertikaian. Sebab, logam dianggap paling mudah
dijadikan persenjataan.
Eksistensi batu
Apa
yang dipikirkan Made Sekar sejalan dengan pemahaman Hendra Gunawan. Pelukis
legendaris ini pada 1948 mengadakan pameran pertama untuk sanggarnya: Pelukis
Rakyat. Dan, yang dipamerkan ternyata bukan seni lukis, tetapi patung-patung
pahatan batu.
Atas
pameran yang digelar di Pendopo Timur Museum Sonobudoyo Yogyakarta itu,
Hendra berkata, "Akar kebudayaan artistik kita adalah batu. Lihatlah
karya-karya adiluhung nenek moyang kita, dari patung sampai candi-candi,
semuanya batu!"
Sementara
jauh sebelumnya, para penguasa (penjajah) Nusantara sudah menyadari kekuatan
batu dalam aspek kosmologi. Mitos jagat batu pun dibiarkan terus hidup dan
mengalir. Goa-goa batu dihargai sebagai peninggalan. Kemegahan arsitektur
batu dilestarikan. Bersamaan dengan itu, kesukaan dan kekhusyukan orang-orang
Indonesia terhadap setiap hal yang bersifat batu terus dipelihara.
Ada
arca batu yang dijunjung sebagai benda keramat. Ada batu besar yang
dilegendakan sebagai penjelmaan nenek moyang. Ada rumah batu yang dijadikan
tempat persembahan. Sampai ujungnya, ada batu (setengah) permata, yang selain
dijunjung indah, juga dianggap menyiratkan kekuatan, semacam jimat. Jenis
batu kuarsa yang terjadi karena susunan silikon dioksida ini pada kemudian
hari disebut batu akik.
Menyadari
akik sebagai benda yang paling dekat dengan masyarakat, pemerintah kolonial
Belanda lantas mencoba memahami eksistensinya dengan sudut pandang istimewa.
Batu akik dianggap sebagai bagian penting dari kehidupan visual dan batiniah
bangsa Indonesia. Setelah menyimpul-nyimpul aspek mitos dan sosial History of Java yang ditulis Raffles,
keasyikan barter dan transaksional batu akik ini lantas diwadahi dalam pasar
yang dinamai Gem Bronx pada awal abad ke-20. Gem (Inggris) artinya batu
permata. Bronx meminjam nama wilayah di New York yang jadi tempat
berkumpulnya rakyat jelata. Gem Bronx ini, yang lantas dilafalkan Gembrong,
adalah pasar tempat batu akik diperdagangkan. Pada puluhan tahun lalu pasar
(ala) Gembrong berdiri di sejumlah kota, mulai dari Jakarta, Bogor,
Purbalingga, Solo, sampai Surabaya.
Kepopuleran
batu akik inilah yang menginspirasi para antropolog dan negarawan masa silam
untuk menyebut Nusantara sebagai "Zamrud Khatulistiwa". Zamrud
adalah akik berwarna hijau yang sering kali mahal harganya.
Aura
batu akik ini pula yang membuat keberanian pelukis Basoeki Abdullah
membuncah. Syahdan pada 1948 Basoeki Abdullah memenangi kompetisi melukis
penobatan Ratu Juliana di Nieuw Kerk, Amsterdam. Dalam lukisan itu, Juliana
(diam-diam) digambarkan mengenakan cincin bermata akik biru muda kelabu asal
bumi Garut, Jawa Barat. Ini simbol betapa tangan Juliana tetap menyemat
Indonesia.
Kelahiran "orde
batu"
Pada
masa Orde Baru sang batu diam-diam ramai berkelindan. Seorang pengusaha
bercerita bahwa pada satu periode secara berkala ia bersama para konglomerat
lain diajak bersilaturahim di rumah Presiden Soeharto, Jalan Cendana, Jakarta
Pusat. Sambil beramah tamah, Pak Harto sering melirik batu cincin yang
tersemat di jari para tamunya. Apabila terpikat, Pak Harto akan berkata,
"Apa betul itu akik ruby? Atau jaspers? Atau safir? Kok, bagus?"
Bagi para pembantu Presiden, pujian itu lalu diterjemahkan sebagai
permintaan.
Minta-meminta batu (akik) ini agaknya lantas
melahirkan orde batu. Pada 1996-1997 Indonesia diriuhkan berbagai unjuk rasa.
Bagian yang anarkistis selalu menggunakan batu untuk melempari sasaran,
seperti polisi dan kaca-kaca gedung.
Orde
batu memperoleh momentum ketika kerusuhan Mei 1998 meledak. Batu-batu
berhamburan bersamaan dengan hiruk-pikuk penjarahan toko-toko dan rumah-rumah
orang Tionghoa. Belasan tahun lalu perupa Moelyono memformulasi kebuasan batu
itu dalam pameran berjuluk Orde Batu dengan souvenir sebuah batu kali yang siap
dilempar ke diri sendiri.
Pada
2015, Indonesia lagi-lagi memasuki periode orde batu. Gejalanya dimulai
beberapa tahun lalu dengan mencelatnya batu "sakti" Ponirin yang
mampu menyembuhkan berbagai penyakit serta hadirnya para koruptor, penegak
hukum, anggota Dewan, dan pejabat kita yang kepalanya membatu.
Namun,
kita patut bersyukur, di selipan jajaran batu tak berguna itu terdapat
hamburan batu akik. Batu yang dimuliakan harkatnya. Batu yang menyiratkan
aura baik dan memancarkan jutaan pesona. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar