Nasib
Pemberantasan Mafia Migas
Pri Agung Rakhmanto ; Dosen FTKE
Universitas Trisakti;
Pendiri ReforMinerInstitute
|
KOMPAS,
23 Maret 2015
Pemberantasan
mafia migas sering disebut saat kampanye pemilihan presiden tahun lalu dan
dikatakan menjadi salah satu agenda prioritas pemerintah saat ini. Bagaimana
perkembangannya? Apakah upaya itu sudah benar-benar dijalankan dan terasa
hasilnya? Tak mudah menilainya karena jawaban dari pertanyaan itu memang tak
selalu bisa hitam-putih.
Sejak
pemerintahan baru berjalan, tercatat beberapa hal telah dilakukan. Antara
lain, membentuk Tim Reformasi Tata Kelola Migas, mengganti posisi-posisi
kunci di Direktorat Jenderal Migas, SKK Migas, dan Pertamina, serta mengubah
sistem dan mekanisme pengadaan minyak mentah dan bahan bakar minyak dengan
membatasi kewenangan Petral. Yang terakhir ini sering diatributkan sebagai
salah satu hasil rekomendasi dari Tim Reformasi Tata Kelola Migas.
Dari
perspektif politik, khususnya menyangkut publikasi dan komunikasi kepada
publik, saya menilai apa yang telah dilakukan sudah lebih dari cukup. Bahkan,
dalam beberapa kasus, porsinya cenderung berlebihan sehingga memberikan
ekspektasi terlalu tinggi kepada publik.
Tim
Reformasi Tata Kelola Migas, misalnya, sering lebih dikenal sebagai Tim
Pemberantasan/Anti Mafia Migas yang diharapkan akan memberantas mafia migas
dalam waktu segera. Padahal, tim ini hanya melakukan kajian dan memberikan
rekomendasi kepada Menteri ESDM tentang hal yang berkaitan dengan tata kelola
migas. Tim ini tidak berada di bawah Presiden secara langsung dan tidak
memiliki kewenangan untuk mengeksekusi suatu kebijakan, apalagi memberantas
mafia migas secara langsung.
Beberapa
yang direkomendasikan tim ini pun pada dasarnya sebelumnya sudah cukup sering
disuarakan berbagai kalangan dan juga direkomendasikan Kelompok Kerja Energi
Tim Transisi Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Belum sentuh substansi
Dari
sisi substansi, saya menilai beberapa hal yang sudah dilakukan belum
benar-benar menyentuh substansi, apalagi akar masalah yang ada.
Mafia
migas pada dasarnya kejahatan kerah putih; praktik perburuan rente di seluruh
mata rantai bisnis migas dari hulu hingga hilir. Mafia tak hanya memanfaatkan
celah peraturan, kebijakan, tata kelola, ataupun keterbatasan infrastruktur,
tetapi juga berperan dalam memengaruhi, membentuk, dan menentukan peraturan,
kebijakan, tata kelola, serta keterbatasan infrastruktur itu sendiri, yang
kemudian dikondisikan untuk terus-menerus terpelihara dalam keadaan yang
melanggengkan berlangsungnya praktik perburuan rente.
Esensi
memberantas mafia migas sesungguhnya lebih pada memperbaiki kekurangan sistem
(peraturan, kebijakan, infrastruktur), ketimbang pada memberantas kelompok
kepentingan dan mematahkan permainan mafia yang tengah dilangsungkan. Sistem
yang lebih baik akan mempersempit ruang gerak mafia migas untuk bermain.
Dalam
konteks migas nasional, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi adalah peraturan tertinggi di bawah Konstitusi yang menjadi dasar
pengaturan sektor migas selama ini. Oleh Mahkamah Konstitusi, sebagian
pasalnya telah dianulir dan dinyatakan tidak lagi memiliki kekuatan hukum
tetap.
Merevisi
UU Migas dan menghasilkan UU Migas baru sesegera mungkin adalah upaya nyata
pemberantasan mafia migas yang jauh lebih substansial dan mestinya telah
dimulai dalam masa 4-5 bulan awal pemerintahan ini. Dengan UU Migas baru yang
sudah disempurnakan, nantinya pemerintah akan memiliki landasan yang lebih
kokoh untuk secara sistematis mempersempit ruang gerak mafia migas melalui
peraturan turunan dan kebijakan pelaksanaannya.
Pemberantasan
mafia migas sebaiknya mengutamakan pendekatan dan langkah yang lebih konkret
dan substansial. Pendekatan yang lebih berdimensi politis, apalagi
pencitraan, sebaiknya tidak perlu dikedepankan, apalagi dilanjutkan. Saatnya
merealisasikan kerja, kerja, kerja. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar