Mengubah
Perilaku Bangsa
Sudjito ; Guru
Besar Ilmu Hukum dan Kepala Pusat Studi Pancasila UGM
|
KORAN
SINDO, 06 Maret 2015
KORAN SINDO menurunkan Tajuk berjudul ”Negeri Gaduh”
(28/2/15). Sorotan terhadap realitas politik, sosial, hukum, anggaran, dan
kriminalitas cukup merepresentasikan kondisi negeri ini sebagai negeri gaduh.
Konflik Polri versus KPK terus berulang dan
berkepanjangan, tak jelas muaranya. Terlepas dengan sikap yang telah diambil
Presiden, kita tidak begitu yakin penegakan hukum di negeri ini semakin
membaik. Tidak lain karena perilaku bangsa sudah telanjur korup. Sungguh
dikhawatirkan, aktivitas pemberantasan korupsi masih terkendala karakter
bangsa dan berbagai implikasi negatif konflik laten tersebut.
Perlu digarisbawahi bahwa karena kegaduhan itu, energi
bangsa terkuras, para pejabat dan aparat negara tidak fokus menjalankan
tugas. Fungsi-fungsi penting yang merupakan tugas pokok masing-masing bahkan
sering diabaikan dan ditinggalkan. Pelayanan publik jadi kurang baik dan
tentu saja merugikan masyarakat.
Pada hemat saya, untuk mengubah negeri ini dari gaduh
menjadi teduh, perlu diawali dengan mengubah perilaku bangsa, dari korup
menjadi jujur, dari kufur menjadi syukur. Kita sadar bahwa keinginan sebagian
besar masyarakat agar kegaduhan segera diakhiri masih sulit terwujud. Ini
semua bukan pekerjaan mudah dan sederhana, melainkan pekerjaan berat dan
kompleks.
Tidak lain karena perilaku kufur dan korup telah mewabah,
merambah berbagai kalangan penyelenggara negara maupun warga negara, di pusat
maupun daerah. Kasus-kasus yang dideskripsikan Tajuk tersebut sarat dengan
perilaku nista pihak-pihak terkait. BG ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK
karena dugaan korupsi. Ahok berseteru dengan DPRD DKI karena dugaan anggaran
siluman.
Begal sepeda motor dibakar karena masyarakat habis
kesabarannya. Ego individu, ego kelompok, maupun ego kelembagaan justru
dipertontonkan para elite tanpa rasa bersalah, tanpa upaya pengendalian diri
dan introspeksi. Dengan mengedepankan ungkapan ”politik itu dinamis”,
perilaku politisi sulit dipegang konsistensinya. Orang Jawa bilang: ”esok dele, sore tempe, alias leda-lede,
mencla-mencle”.
Secercah sinar terang muncul ketika Presiden Joko Widodo
mengemukakan tekadnya untuk melakukan revolusi mental. Dalam rangka mengubah
perilaku bangsa, pemerintah sudah menyediakan dana Rp149 miliar untuk
anggaran revolusi mental. Dana sebesar itu akan digunakan untuk kampanye ubah
perilaku misal melalui iklan, film, dialog publik, dan menyuruh tokoh-tokoh
agama bicara perubahan perilaku.
Dana diberikan kepada Kementerian Koordinator Pemberdayaan
Manusia dan Kebudayaan dan pelaksanaannya akan dibagikan kepada kementerian-kementerian
terkait. Akankah revolusi mental berhasil, sementara program dan indikator
keberhasilannya belum jelas?
Sekadar urun-rembuk, revolusi mental sebenarnya dapat
disederhanakan sebagai program pengubahan perilaku bangsa agar senantiasa
mengedepankan perilaku syukur atas dua hal yaitu: (1) rahmat Tuhan berupa kemerdekaan,
dan; (2) penguasaan tanah, air, serta sumber daya alam melimpah. Syukur di
sini dalam maknanya ”menggunakan atau mengolah nikmat yang dilimpahkan Tuhan
sesuai dengan tujuan dianugerahkannya”.
Sebagai bangsa, kita yakin dengan daya kreasi atau
inisiasi yang melekat pada jiwa setiap warga negara bahwa kemerdekaan dapat
dijadikan peluang untuk membangun negara. Sumber daya alam melimpah, laksana
jamrud khatulistiwa, bila digunakan dan diolah bangsa sendiri secara bijak,
pastilah mendatangkan kesejahteraan berkelanjutan dari satu generasi ke
generasi berikutnya.
Cinta Tanah Air dan berdaulat atas negeri sendiri
merupakan manifestasi perilaku syukur dan keberhasilan revolusi mental. Boleh
jadi kita galau, resah, gelisah melihat realitas bahwa neokolonialisasi
negara atau perusahaan asing atas negeri ini semakin membelenggu. Utang luar
negeri terus bertumpuk.
Data terbaru Bank Indonesia yang dirilis 19 Februari 2015
per kuartal keempat 2014 sebesar Rp3.759 triliun. Sektor keuangan, industri
pengolahan, pertambangan, listrik, gas, dan air bersih menjadi penyumbang
utang terbesar swasta. Dalam penguasaan sumber daya alam, Freeport menguasai
emas, tembaga, dan hasil tambang lain di Bumi Cenderawasih, sementara
pemerintah hanya memperoleh 10% dari seluruh hasilnya.
Hutan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua
dibagi-bagi melalui hak pengelolaan hutan kepada para petinggi dan
dikerjasamakan dengan perusahaan asing. Negara hanya memperoleh bagian
sekitar 20% dari iuran hasil hutan dan pajak. Dari tambang batu bara dan
hasil tambang lain, negara hanya memperoleh sekitar 30%, sementara 70%
lainnya menjadi hak pemegang konsesi.
Data kasar tersebut cukup memberi gambaran bahwa kita
belum berdaulat atas negeri sendiri. Dalam perspektif teologi hukum, gelisah
atas nasib negeri merupakan bagian dari siksa Tuhan di dunia. Mengapa bangsa
ini disiksa? Tentu karena pelanggaran terhadap norma-norma yang
ditetapkan-Nya. Nafsu menumpuk harta, ingin cepat kaya, ingin langgeng
berkuasa, adalah contoh-contoh perilaku nista yang dibenci Tuhan dan
makhluk-Nya.
Apalagi, seiring bergolaknya nafsu duniawi, hukum
direkayasa melalui aktivitas politik dan bisnis, agar perilakunya seolah-olah
legal, padahal yang demikian itu amoral. Di dalam Pancasila, nilai-nilai
keadaban dan keadilan menjadi dasar dan sumber membentuk perilaku syukur.
Pada jiwa manusia beradab tertanam budi luhur dan melalui pendayagunaan
cipta, rasa, dan karsanya dihasilkan kebudayaan.
Perilaku korup, jelas bukan budaya, bukan lahir dari
keluhuran budi, melainkan mentalitas sesat dan rakus terhadap uang negara.
DPR, Polri, dan Badan Pertanahan Nasional ditengarai merupakan
lembaga-lembaga terkorup, sementara KPK tergolong lembaga paling bersih.
Barangkali akan efektif bilamana revolusi mental diprioritaskan terhadap lembaga-lembaga
negara terkorup tersebut.
Perubahan perilaku bangsa dapat diamati keberhasilannya
ketika dari hamparan laut luas, segenap komponen bangsa dapat makan ikan
segar dengan harga murah, memakai perhiasan nan indah, dapat berlayar dengan
aman dan nyaman, serta menikmati indahnya mata hari terbit maupun tenggelam. Wallahualam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar