Mencermati
Pelemahan Rupiah
Sunarsip ; Ekonom
The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
|
JAWA
POS, 06 Maret 2015
NILAI tukar rupiah dalam sebulan ini cenderung melemah.
Puncaknya, 5 Maret, rupiah menyentuh level ’’psikologis’’ baru Rp 13.000 per
dolar Amerika Serikat (USD). Kurangnya sentimen positif, baik dari internal
maupun eksternal, mengakibatkan rupiah akhirnya terpuruk.
Bila mengacu pada kondisi fundamental internal, rupiah
sebenarnya berpeluang menguat. Mengapa? Pertama, defisit transaksi berjalan (current account) kita semakin tipis.
Pada 2014, defisit transaksi berjalan mencapai USD 26,23 miliar atau menurun
jika dibandingkan dengan 2013 sebesar USD 29,12 miliar. Penyempitan defisit
transaksi berjalan itu terbantu menurunnya defisit neraca perdagangan migas.
Januari 2015, karena tertopang penurunan harga minyak mentah, neraca
perdagangan kita surplus.
Kedua, dana asing yang mengalir masuk ke Indonesia masih
cukup besar. Pada 2014, aliran masuk modal asing portofolio mencapai Rp137,5 triliun,
meningkat lebih dari 100 persen jika dibandingkan dengan 2013 yang mencapai
Rp 53,3 triliun. Sementara itu, dalam dua bulan terakhir 2015 ini, modal
asing portofolio yang masuk mencapai Rp 39,3 triliun.
Credit default swap (CDS) kita, jika dibandingkan
dengan peers, juga relatif lebih
baik. Akhir Februari lalu, CDS Indonesia berada di level 146, lebih baik
daripada Brasil, India, Afrika Selatan, dan Turki. Relatif rendahnya CDS
Indonesia itu menunjukkan bahwa premi risiko investasi di Indonesia relatif
lebih baik. Namun, CDS Indonesia tersebut masih kalah jika dibandingkan
dengan Thailand dan Filipina.
Ketiga, pertumbuhan ekonomi Indonesia, meski trennya
menurun, masih relatif lebih baik daripada peers. Pada 2014, ekonomi kita
tumbuh 5 persen relatif lebih baik jika dibandingkan dengan India, Turki,
serta Afrika Selatan. Keempat, seiring dengan penurunan harga minyak, tren
inflasi juga melemah.
Nah, dengan mengacu pada berbagai kondisi internal
tersebut, semestinya kondisi itu bisa menjadi pendorong untuk menjaga
stabilitas nilai tukar rupiah ke arah yang tidak terlalu rendah.
Pertanyaannya, mengapa hal itu tidak terjadi?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu harus dipahami
bahwa persoalan nilai tukar tidaklah semata dipengaruhi faktor fundamental,
namun harus dikaitkan pula dengan ekspektasi pelaku pasar. Melalui analisis
singkat ini, saya akan menjelaskan alasan kondisi fundamental internal
tersebut kurang mampu meyakinkan pelaku pasar untuk tidak memburu USD.
Pertama, pergerakan rupiah saat ini lebih banyak
dipengaruhi ekspektasi pasar terkait dengan kondisi eksternal dan dampaknya
terhadap perekonomian Indonesia. Pada 5 Maret 2015, pemerintah Tiongkok
menyampaikan draf APBN 2015 kepada parlemen Tiongkok. Dalam draf tersebut,
Tiongkok menargetkan pertumbuhan ekonomi 2015 hanya 7 persen, lebih rendah
daripada 2014 yang tumbuh 7,4 persen.
Angka pertumbuhan ekonomi itu jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan kinerja dalam satu dekade sebelumnya yang tumbuh sekitar
10 persen. Para analis menyebut, kini Tiongkok memasuki era ’’new normal growth’’. Artinya, bila
sebelumnya ’’normal growth’’
Tiongkok 9–10 persen, kini ’’new normal growth’’ mereka hanya sekitar 7
persen.
Tiongkok memiliki kontribusi yang cukup besar terhadap
perekonomian Indonesia. Sebagian besar ekspor kita adalah ke Tiongkok.
Sebagian besar ekspor itu berupa komoditas. Karena perekonomian Tiongkok
lesu, tentu akan timbul ekspektasi bahwa permintaan Tiongkok terhadap barang
ekspor dari Indonesia juga menurun. Bila kondisi tersebut terjadi, neraca
perdagangan bisa kembali defisit sehingga defisit transaksi berjalan
berpotensi meningkat. Selanjutnya, rupiah akan melemah karena kurangnya
pasokan USD.
Kedua, nilai tukar rupiah merupakan cerminan demand dan supply USD. Perlu diketahui, pasar valas domestik cenderung
persisten mengalami net demand dengan nasabah domestik (individu dan
korporasi) sebagai dominant buyer dan non?residen sebagai dominant seller.
Salah satu faktor penyebabnya adalah tingginya permintaan USD untuk pembayaran
utang luar negeri (ULN).
Per Desember 2014, sesuai dengan data BI, ULN yang jatuh
tempo setahun mencapai USD 58,37 miliar atau sekitar 20 persen dari total ULN
Indonesia dan 52 persen terhadap cadangan devisa. Tekanan pembayaran ULN yang
tinggi, bila tidak diantisipasi, berpotensi mendorong berlanjutnya pelemahan
rupiah. Terlebih, sebagian besar ULN kita belum dipagari dengan mekanisme
lindung nilai (hedging).
Ketiga, pergerakan rupiah juga sangat dipengaruhi mata
uang lawannya (counterparty), yaitu
USD. Mulai membaiknya perekonomian Amerika Serikat (AS) telah mendorong USD
mengalami apresiasi terhadap mata uang mitra dagangnya. Terlebih, kini
terdapat kemungkinan bank sentral AS, The Fed, menaikkan suku bunga acuannya,
meski belum diketahui kapan pelaksanaannya. Sebagai mata uang yang berposisi
lebih lemah, apresiasi USD tersebut juga berdampak pada pelemahan rupiah.
Rupiah sebenarnya berpeluang menguat karena faktor
eksternal tersebut. Pada 24 Januari lalu, bank sentral Eropa mengeluarkan kebijakan
quantitative easing (QE) melalui pembelian surat berharga yang diterbitkan
pemerintah dan bank-bank di Eropa senilai 1 triliun euro mulai Maret 2015
hingga September 2016.
Dengan kebijakan QE ala Eropa itu, penempatan dana
portofolio di Eropa jadi kurang menarik karena suku bunganya menjadi rendah.
Nilai tukar euro juga melemah. Kondisi itu akan mendorong pengalihan
investasi portofolio ke emerging market, termasuk ke Indonesia. Sayangnya,
efek QE Eropa tersebut tidak sebesar QE yang diterapkan AS sejak 2008 yang
berakhir tahun lalu.
Dengan level rupiah terbaru itu, pemerintah dan Bank
Indonesia (BI) perlu lebih berhati-hati dalam mengelola kebijakan serta
ekspektasi pasar. Sebab, salah sedikit saja, dampaknya terhadap pelemahan
rupiah bisa berlanjut. Pemerintah juga perlu lebih hati-hati dalam mengelola
isu-isu nonteknis yang kini berkembang seperti politik dan hukum karena juga
bisa berdampak cukup besar bagi pelemahan rupiah.
Dari sisi teknis, pemerintah dan BI perlu segera memagari
rupiah dengan melakukan hedging terkait dengan transaksi pembayaran luar
negeri. Hedging itu perlu dilakukan pemerintah, BUMN, dan korporasi swasta
yang memiliki kebutuhan USD tinggi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar