Memperkukuh Otot Rupiah
Paul Sutaryono ; Pengamat
Perbankan & Mantan Assistant Vice President BNI
|
KORAN
SINDO, 21 Maret 2015
Nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih tampak loyo hingga
mencapai level Rp13.000. Padahal pemerintah telah memainkan aneka jurus ampuh
untuk meredam pelemahan rupiah. Apa saja implikasi pelemahan rupiah?
Bagaimana alternatif solusinya? Bukan hanya rupiah yang tak berdaya. Ambil
contoh, dolar Australia melemah 6,95%, dolar Hong Kong 0,13%, rupiah
Indonesia 5,75%, yen Jepang 1,42%, ringgit Malaysia 5,96%, dolar Selandia
Baru 6,17%, dolar Singapura 5,21%, won Korea Selatan 4,08% dan euro Eropa
15,27%.
Untuk
memperbaiki nilai tukar rupiah yang terpuruk itu, pemerintah telah
menerbitkan paket kebijakan ekonomi. Satu, fasilitas keringanan pajak (tax
allowances) untuk perusahaan yang melakukan reinvestasi dividennya di
Indonesia, perusahaan yang menciptakan lapangan kerja, perusahaan
berorientasi ekspor dan perusahaan yang melakukan penelitian dan
pengembangan.
Pemerintah
juga akan memberikan insentif pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap industri
galangan kapal dan beberapa industri produk pertanian. Dua, menerapkan
kebijakan tentang antidumping, mengenakan bea masuk antidumping sementara dan
bea masuk tindak pengamanan sementara terhadap produk-produk industri
nasional, terhadap produk impor yang unfair trade karena ada dumping.
Tiga,
memberikan bebas visa kunjungan singkat untuk wisatawan kepada 30 negara baru
sehingga terdapat 45 negara. Empat, kewajiban untuk menggunakan biofuel
hingga 15%. Lima, memberlakukan letter of credit (L/C) untuk produk-produk
sumber daya alam yakni produk batubara, migas dan crudepalmoil (CPO).
Enam,
melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri asuransi domestik. Namun
boleh dikatakan sebagian besar paket kebijakan ekonomi tersebut baru akan
berbuah minimal enam bulan ke depan kecuali pemberlakuan wajib L/C.
Implikasi
Lagi-lagi,
implikasi apa saja yang akan muncul? Pertama, menekan kredit valuta asing
(valas). Ingat, sumber dana valas antara lain dari pinjaman luar negeri.
Lantaran suku bunga valas dari luar negeri lebih rendah daripada pinjaman valas
domestik.
Tengok
saja, suku bunga acuan Jepang 0,00%, AS 0,25%, Jerman, Prancis, Italia, dan
Belanda 0,05%, Singapura 0,39%, Australia, Hong Kong dan Inggris 0,50%,
Kanada 0,60%, Meksiko dan Spanyol 0,70%, Thailand 1,75%, Malaysia dan Korea
Selatan 2,00%, Filipina 4,00%, China 5,35%.
Bandingkan
dengan BI Rate yang mencapai 7,50%. Oleh karena itu, bank nasional yang
banyak bermain valas dan memiliki kredit valas mulai deg-degan. Mengapa?
Karena makin tinggi pelemahan nilai tukar rupiah, makin tinggi pula potensi
risiko bagi bank nasional.
Begini
ilustrasinya. Kalau bank mempunyai kredit valas Rp1 miliar maka kredit valas
itu akan langsung terbang tinggi menjadi Rp1 triliun ketika nilai tukar
rupiah melemah dari Rp12.000 naik menjadi Rp13.000 per USD. Artinya, bank
nasional terpaksa merogoh kantongnya lebih dalam manakala nilai tukar rupiah
terus melemah.
Potensi
risiko lainnya akan muncul ketika nasabah kredit valas mulai kurang mampu
membayar kewajiban mereka setiap bulan. Kewajiban nasabah yang mulai melambat
itu akan menjadi potensi risiko kenaikan rasio kredit bermasalah
(non-performing loan/NPL). Bagaimana posisi NPL?
Statistik
Perbankan Indonesia (SPI) yang terbit pada 20 Februari 2015 menunjukkan NPL
bank umum naik 0,39% dari Rp58,28 triliun (1,77%) dari total kredit
Rp3.292,87 triliun per Desember 2013 menjadi Rp79,39 triliun (2,16%) dari
total kredit Rp3.674,31 triliun per Desember 2014.
Menurut
penggunaan kredit, NPL Rp79,39 triliun (2,16%) tersebut didorong oleh NPL
kredit modal kerja Rp43,84 triliun (55,22%), kredit investasi Rp21,22 triliun
(26,73%) dan kredit konsumsi Rp14,33 triliun (18,05%) per Desember 2014. Hal
itu wajib menjadi perhatian serius bagi bank nasional untuk lebih
berhatihati.
Kedua
, mengurangi gerak importir. Bukan berhenti di situ. Pelemahan nilai tukar
rupiah pasti akan menekan gurihnya transaksi impor. Kok bisa? Lantaran,
importir harus mengeluarkan biaya lebih tinggi untuk membayar kewajiban
transaksi impor dari luar negeri. Sebaliknya, eksportir gembira karena
transaksi ekspor melesat jauh lebih tinggi. Defisit transaksi berjalan akan
makin rendah. Ini segi positifnya!
Ketiga,
menggerogoti daya beli masyarakat. Pelemahan nilai tukar rupiah itu pun akan
memperlemah daya beli (purchasing power) masyarakat. Daya beli masyarakat
mulai goyang manakala inflasi melonjak gara-gara kenaikan harga BBM.
Akibatnya, hampir semua bahan pokok ikut terdorong naik karena biaya
transportasi naik.
Meskipun
harga BBM kemudian menurun sejalan dengan laju harga minyak dunia, harga
bahan pokok enggan untuk turun. Dengan bahasa lebih bening, daya beli
masyarakat lapis menengah ke bawah akan menipis. Apa akibat lebih lanjut?
Pelan namun pasti, kredit konsumsi yang merupakan kredit individual akan
tertekan.
Sebut
saja, kredit pemilikan rumah (KPR) tipe kecil akan tersendat. Juga kredit
kendaraan bermotor (mobil dan sepeda motor) bisa tertekan. Hal ini akan
menekan pertumbuhan kredit konsumsi. Bagaimana pertumbuhan kredit konsumsi?
Data SPI mencatat kredit konsumsi hanya tumbuh 9,11% (year on year) dari
Rp929,06 triliun per Desember 2013 menjadi Rp1.013,67 triliun per Desember
2014.
Pertumbuhan
kredit konsumsi itu masih lebih rendah daripada kredit modal kerja10,83% dari
Rp1.585,67 menjadi Rp1.757,45 triliun. Kredit investasi justru tumbuh lebih
tinggi 13,16% dari Rp798,16 triliun menjadi Rp903,19 triliun pada periode
yang sama.
Alternatif
Solusi
Lantas, bagaimana alternatif solusinya?
Pertama, pemerintah terus memperbaiki defisit transaksi berjalan (current
account deficit/CAD) sampai di bawah 3% dari produk domestik bruto (PDB).
Sayangnya, pembangunan infrastruktur akan mendatangkan banyak barang modal
yang dapat mengancam kenaikan CAD.
Kedua,
sebaliknya BI menekan inflasi sedemikian rendah sehingga BI Rate juga
tertekan rendah. Ini penting untuk mencegah timbulnya perang suku bunga
deposito yang berujung kenaikan suku bunga kredit. Ketiga, pemerintah
memperbaiki iklim investasi. Hal ini bagai memberikan jalan tol bagi investor
global untuk lebih banyak berinvestasi di Indonesia.
Makin
banyak investasi, makin banyak dolar AS masuk pasar keuangan. Ujungnya,
cadangan devisa yang mencapai USD115,5 miliar akan terkerek naik. Keempat,
pemerintah meningkatkan pembangunan infrastruktur. Pemerintah selain
menggunakan sebagian ruang fiskal Rp250 triliun juga dapat memanfaatkan peran
Bank Infrastruktur Asia (Asian Infratructure Investment Bank/ AIIB).
Ini
jalan pintas yang jitu daripada membentuk bank infrastruktur yang memerlukan
dana amat besar dan waktu yang relatif lama. Sarinya, terdapat harmonisasi
antara kebijakan pemerintah dan BI. Alhasil, otot rupiah kian perkasa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar