Matahari
Reformasi Itu Kian Redup
Laode Ida ; Sosiolog
di Jurusan Sosiologi UNJ,
Mantan Ketua DPD RI 2004-2014
|
KORAN
SINDO, 04 Maret 2015
Munas Partai amanat Nasional (PAN) di Denpasar, Bali telah
berlangsung dengan suasana tegang akibat pertarungan dua kubu utama, yakni
Hatta Rajasa (HR) dan Zulkifli Hasan (ZH) yang ditopang kuat oleh Amien Rais
(AR).
ZH terpilih sebagai ketum PAN periode 2015-2020 dengan
kemenangan yang sangat tipis, hanya selisih enam suara (ZH 292, HR 286).
Atmosfer politik seperti itu juga diperkeruh dengan pidato AR, ketua MPP PAN,
pada pembukaan munas (28/2) yang secara terbuka melontarkan sindiran dan
serangan kasar terhadap HR, sehingga sangat terkesan faktor etika dalam
komunikasi politik sudah terabaikan.
Banyak pihak pun menilai bahwa sikap AR yang dianggap tak
pantas itu dipertontonkan, lebih karena kejengkelannya pada HR di satu pihak
dan keinginan kerasnya untuk memenangkan ZH yang tak lain adalah besannya
sendiri. Konflik atau ketegangan di internal PAN seperti itu barangkali
merupakan bagian dari produk demokrasi dengan psikopolitik para aktornya yang
sedang galau.
PAN tak lagi berada di dalam barisan kekuasaan eksekutif
seperti setidaknya dialami selama 10 tahun pemerintahan Presiden SBY, yang
barangkali posisinya sekarang ini dianggap sebagai bagian dari kesalahan HR
dalam lima tahun memimpin parpol berlambang matahari bersinar itu. Pada saat
yang sama, barangkali juga AR masih terus merasa sebagai “pemilik parpol”
sehingga apa pun yang dikatakannya harus dianggap sebagai fatwa untuk
dipatuhi oleh semua orang PAN.
Kepemimpinan HR di PAN sebenarnya “tak jelek-jelek amat”.
Ia mampu mempertahankan PAN pada posisi tengah, posisi sama seperti saat
dipimpin AR. HR juga tampil sebagai cawapres bersama Prabowo, yang tak lain
didukung secara kuat oleh AR dan ZH. Tetapi namanya juga politik yang sarat
dengan intrinsikdan“ akal-akalan”, jika ada kepentingan lain maka suasananya
akan segera berubah, teman bisa jadi lawan dan jika perlu “dibuat terkapar”
yang momentumnya seperti terjadi dalam pemilihan ketum PAN di Bali itu.
Tetapi masih untung tak terjadi seperti Golkar dan PPP
yang hingga tulisan ini dibuat kepemimpinannya masih saja terjadi dualisme,
buntut dari pertarungan pemilihan pemimpin. PAN kemungkinan akan solid lagi.
Hanya pertanyaannya, adakah relevansi antara pergantian kepemimpinan di PAN
dan gerakan untuk kembali ke khitahnya sebagai parpol reformasi? Saya masih
sangat meragukan itu terjadi dalam gerakan politik PAN ke depan.
Soalnya, dan inilah yang memprihatinkan, selama ini para
politisi PAN tak bedanya dengan parpol lain, yakni larut dalam pragmatisme.
Tepatnya, tak bisa dibantah lagi terjadi kecenderungan sirnanya nilai-nilai
reformasi dalam tubuh, misi, dan gerakan PAN selama ini dan ke depan.
Padahal, lambang parpol itu adalah matahari, simbol pencerah penerangan yang
kekal mengitari bumi ini. Jika di era Orde Baru dianggap “gelap”, sarat praktik
korupsi dan otoriter, maka berdirinya PAN yang dibidani dan dikawal oleh para
penggerak reformasi sebenarnya diharapkan tetap konsisten berada pada misi
khitah nya itu.
Tetapi, jika jujur diakui, harapan itu bagai mimpi di
siang bolong, hanya berupa bayangan fatamorgana. PAN telah eksis “sangat tak
berbeda” dengan parpol-parpol lain yang berperan di era reformasi ini, baik
di tingkat nasional maupun daerah. Beberapa fakta lapangan yang berlangsung
selama ini dan sulit terbantahkan antara lain. Pertama , praktik korupsi yang
dilakukan sejumlah kadernya mulai daerah sampai tingkat nasional.
Sebagian di antaranya sudah masuk bui (sudah keluar dan
sebagian masih dalam hotel prodeo) dan sebagian sudah kerap berurusan dengan
KPK dan konon ada sudah masuk dalam daftar tunggu untuk diperiksa oleh
lembaga antirasuah itu, termasuk di dalamnya pemilik rekening gendut.
Merekamereka itu agaknya tetap dibiarkan berperan penting di PAN yang, konon,
karena dianggap sebagai bagian dari “sumber pemasukan” dari sebagian elite
parpol.
Prof Amien Rais pun tampaknya bukan saja seolah-olah tak
mau tahu dengan kenyataan seperti itu, melainkan barangkali akan tetap
menjadikan mereka berperan menentukan di PAN pasca-Munas Bali ini. Kedua, PAN
telah membiarkan terjadinya praktik “membangun dinasti keluarga” dalam
politik dan bisnis. Misalnya, di sejumlah daerah praktik dinasti bahkan
dipaksakan oleh sejumlah kepala daerah yang dipimpin oleh orang-orang PAN
dengan bernaung di bawah isu demokrasi.
Para istri pejabat itu, anak-anak mereka, saudara kandung,
sepupu, mertua, dan sejenisnya, disodorkan untuk dipilih oleh rakyat dengan
caracara yang tidak sehat, untuk jadi pejabat politik (anggota DPR, DPD, dan
atau DPRD). Para pejabat bawahan pun terpaksa harus tunduk pada “instruksi kejahatan
reformasi” itu, sebab jika tidak maka akan berisiko pada penyingkiran paksa mereka
dari jabatan strategi yang dihadiahkan oleh pejabat kepala daerah (asal PAN)
yang mengangkat mereka.
Ini sebenarnya jadi “musuh inti” (main enemy) perjuangan reformasi yang jadi bagian dari kata-kata
yang keluar dari mulut Prof Amien Rais di era pengujung kepemimpinan Presiden
Soeharto, bagian dari komponen “berantas KKN”. Pada saat yang sama, juga
terjadi dalam pengangkatan pejabat lokal yang berasal dari unsur keluarga dan
sejenisnya. Demikian dalam kebijakan proyek atau bisnis yang begitu vulgar
ditangani oleh keluarga pejabat asal PAN.
Tepatnya, sebagian orang PAN yang jadi pejabat telah
membangun dinasti dengan menggunakan tiga pilar yang dikuasai: politik,
birokrasi, dan bisnis (proyek). Pihak pendiri PAN, lagi-lagi, telah membiarkan
praktik itu berlangsung sehingga bisa dicurigai sebagai hipokrit dan
sekaligus barangkali karena memperoleh bagian materi dari proses-proses itu.
Ketiga , dan ini yang paling mutakhir, sikap PAN sangat tidak jelas bahkan
terkesan mendukung kriminalisasi dari pimpinan KPK dan sekaligus gerakan
amputasi lembaga antirasuah yang independen itu.
Seharusnya, jika benar Prof Amien Rais konsisten dengan
perjuangannya maka para kader PAN mulai bawah sampai di parlemen
diinstruksikan untuk pasang badan membela KPK, dan atau berjuang untuk
jadikan KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang permanen di negeri ini.
Sikap PAN seperti sekarang ini memunculkan kecurigaan, jangan-jangan
orang-orang PAN sangat ketakutan karena sedang masuk dalam radar pantauan
KPK.
Singkatnya, dalam rangka menyelamatkan oknum-oknum PAN
yang bermasalah dan sekaligus pengkhianat reformasi, KPK pun secara sengaja
didukung untuk dihancurkan. Pertanyaannya, apakah kepemimpinan ZH nanti akan
terus bersikap seperti sekarang ini? Entahlah. Kita pantau saja gerakannya
pasca-Munas Bali ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar