KPK
≠Pandawa
Feri Amsari ; Dosen
Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas; Anggota Lembaga
Antikorupsi Integritas Sumbar
|
KORAN
TEMPO, 04 Maret 2015
Merujuk ke mitologi pewayangan, Kurawa adalah simbol
koruptor dalam kehidupan bernegara. Sebuah kelompok persaudaraan yang
berjumlah banyak, licik, dan menggunakan segala cara untuk menang.
Sementara itu, di sisi berbeda, Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) bukanlah Pandawa. Meski dipimpin lima komisioner, KPK tidak
memiliki "kekuatan sakti" untuk mengalahkan Kurawa (baca: koruptor)
dengan mudah. Walau tidak sama dalam kesaktian, KPK mengalami
"penderitaan hidup" sederajat dengan para Pandawa dalam memerangi
korupsi. Bukan tidak mungkin, penderitaan itu berujung dengan dibubarkannya,
atau setidaknya terjadi pelemahan, KPK.
Dalam konflik KPK melawan koruptor, permainan sesungguhnya
dikendalikan "Sengkuni partai politik". Segala upaya dilakukan
dengan strategi yang amat terencana.
Anggota partai politik di DPR, misalnya, telah berupaya
melumpuhkan KPK sedari awal. Melalui fungsi legislasinya, DPR berencana
merevisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana (KUHP dan
KUHAP). Rencana revisi itu bertujuan menghilangkan/membatasi beberapa
kewenangan penting KPK. Salah satu yang hendak dirusak adalah kewenangan
penyadapan. Padahal, melalui kewenangan penyadapan itu, KPK berhasil
menangkap basah para koruptor. Akibat luasnya penolakan masyarakat, revisi
itu gagal.
DPR menyadari bahwa revisi perundang-undangan tidak bisa
diandalkan melemahkan KPK. Jika KUHP dan KUHAP berhasil direvisi, masyarakat
tetap berpotensi mengembalikan kewenangan tersebut melalui Mahkamah
Konstitusi (MK). Dengan demikian, DPR perlu mencari jalur alternatif
menyerang KPK.
Berikutnya, melalui kewenangan memilih komisioner KPK, DPR
sengaja tidak memilih pimpinan KPK untuk menggantikan Busyro Muqoddas, yang
masa jabatannya berakhir Desember lalu. Meskipun memilih pengganti Busyro
merupakan kewajiban DPR berdasarkan Putusan MK Nomor 5/PUU-IX/2011, DPR berkukuh
membiarkan KPK dipimpin empat komisioner saja. Kekurangan itu membuat seluruh
kebijakan KPK dianggap tidak sah oleh para koruptor dan beberapa anggota DPR
itu sendiri.
Ketika KPK masih tetap bergerak dengan empat pemimpin,
serangan koruptor semakin gencar dengan melakukan kriminalisasi terhadap
seluruh pimpinan KPK. Bambang Widjajanto dan Abraham Samad dipaksa berhenti
sementara. Melalui kekuatan partai politik lain, Presiden melantik dua
komisioner sementara yang menjalankan tugas melemahkan KPK dari dalam. Salah
satu komisioner bahkan terlibat sangat aktif "melumpuhkan" KPK
dengan berencana menyusupkan penyidik-penyidik baru bermasalah. Bahkan
terkesan sang komisioner hendak menggagas barter perkara dengan pihak-pihak
yang menyerang KPK. Bukan tidak mungkin dua komisioner tersebut adalah
Sengkuni yang digerakkan oleh musuh-musuh KPK.
Partai penguasa juga terlibat "mematikan" KPK.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto
Kristiyanto terlibat langsung dalam merusak kepercayaan publik kepada KPK.
Hasto menyebut Abraham Samad sengaja menetapkan calon Kapolri pilihan
partainya sebagai tersangka, karena gagal menjadi calon wakil presiden PDIP.
Pernyataan itu tentu membuat kegaduhan luar biasa. Padahal
tidak pernah ada partai ikut merancang kegaduhan ketika kadernya memimpin
eksekutif tertinggi negara. Sebagai partai pemerintah, PDIP berkewajiban
menjaga stabilitas politik-keamanan. Keanehan PDIP semakin kuat ketika kader
partai berlambang banteng itu, Sugianto Sabran, turut melaporkan Wakil Ketua
KPK Bambang Widjojanto (BW) dalam kasus mengatur keterangan palsu di
persidangan MK.
Meskipun tak masuk akal, demi menghormati Pasal 32 ayat
(2) UU KPK, kedua pemimpin KPK mengundurkan diri sementara hingga perkaranya
memperoleh putusan tetap. Tentu proses peradilan akan memakan waktu yang
panjang, padahal masa jabatan pimpinan KPK tinggal kurang dari sepuluh bulan.
Serangan terhadap KPK terus terjadi. Putusan pengadilan
pun tidak berpihak kepada KPK. Melalui putusan yang kontroversial, KPK
dinyatakan tidak berwenang menetapkan status tersangka atas calon Kapolri
pilihan PDIP. Kekalahan semakin menyakitkan ketika upaya kasasi KPK ditolak
pengadilan.
Kekalahan demi kekalahan tersebut semakin menguatkan
persepsi bahwa partai, kepolisian, DPR, insan pers, dan lembaga peradilan
telah membuat KPK sendirian dalam melawan korupsi. Apakah peristiwa itu
merupakan gambaran telah bersatu-padunya para Kurawa?
Meskipun KPK berada di ujung tanduk, bukan berarti tidak
ada jalan untuk menguatkan lembaga antirasuah itu. Presiden dan masyarakat
adalah harapan terakhir KPK. Presiden Joko Widodo dapat menarik kembali dua
pemimpin sementara. Solusinya, dengan memilih tujuh kandidat calon pimpinan
sementara yang pernah diusulkan KPK. Jika Presiden mengabaikan pilihan itu
dan ikut terlibat melemahkan KPK, maka kekuatan publik adalah jawabannya.
Mari kita selamatkan "kelima Pandawa" KPK sekarang juga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar