Kecenderungan
Parpol Terbelah
W Riawan Tjandra ; Pengajar pada Fakultas Hukum Universitas
Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 17 Maret 2015
PASCADILAKSANAKANNYA
beberapa agenda kegiatan forum tertinggi dari bebe rapa partai politik
(parpol), terdapat kecenderungan terjadinya pembelahan. Artinya, kontestasi
politik elite yang lazim terjadi di parpol mana pun di negeri ini, bahkan di
seluruh dunia, pada beberapa parpol tertentu justru menciptakan situasi terbelahnya
parpol. PPP merupakan fenomena politik parpol terbelah pascamuktamar yang
merupakan forum tertingginya.
Pascamuktamar PPP di Surabaya yang menghasilkan
struktur kepengurusan baru di bawah pimpinan Romahurmuziy, kubu Suryadharma
Ali (SDA) juga melakukan muktamar sendiri di Jakarta yang menurut versi
mereka telah melahirkan kepengurusan di bawah pimpinan Jan Fariz.
Belum lama berselang,
Partai Golkar yang mengadakan munas akhirnya menghasilkan kepengurusan baru
di bawah Agung Laksono menyusul munas gagal yang dilaksanakan di Bali yang
tetap menempatkan Aburizal Bakrie (Ical) sebagai pemimpin kepengurusan yang
dihasilkan munas tak sempurna di Bali. Masih terdengar lamat-lamat konon
kongres yang diselenggarakan DPP PAN, meskipun sudah menghasilkan Zulkifli
Hasan sebagai ketua baru, masih ada ketidakpuasan dari kubu Hatta Rajasa.
Salah satu kecenderungan
yang juga terjadi dalam fenomena konflik partai tersebut ialah selalu
menyeret birokrasi pemerintah, dalam hal ini Kemenkum dan HAM RI, untuk
terlibat dalam fenomena parpol yang terbelah tersebut. UU No 2 Tahun 2008 jo
UU No 2 Tahun 2011 yang mengatur tentang Parpol (UU Parpol) memang mengatur
mekanisme pengesahan struktur kepengurusan baru parpol oleh Menkum dan HAM
sebagai syarat formal bagi terpilihnya formatur kepengurusan baru suatu
parpol. Bahkan, dalam kasus PPP, ketua majelis hakim PTUN Jakarta yang
menyidangkan sengketa pengesahan parpol dan memutuskannya sambil menangis
terlihat salah memaknai kewenangan pengesahan tersebut dan menuduh sebagai
campur tangan pemerintah terhadap parpol.
Padahal, kewajiban Menkum
dan HAM untuk mengesahkan formatur kepengurusan parpol baru atas permohonan
pengurus baru parpol itu diundang UU Parpol tersebut dalam konstruksi
kewajiban negara untuk sekadar mengesahkan saja. Dalam teori hukum
administrasi negara yang dikenal secara luas sebagai sebuah communis opinio doctorum, keputusan
pejabat pemerintah untuk mengesahkan sesuatu hanya merupakan sisi formal dari
bentuk pengakuan negara/pemerintah terhadap suatu aktivitas hukum subjek
hukum privat tertentu. Legalitas materiil dari aktivitas hukum privat tersebut
tetap melekat pada substansi dari aktivitas hukum privat itu sendiri.
Dalam kasus pengesahan kepengurusan
parpol baru, legalitas materiil dari terpilihnya formatur kepengurusan baru
suatu parpol tidak tergantung keputusan (beschikking)
Menkum dan HAM, tetapi dari proses internal dalam pemilihan formatur kepengurusan
parpol baru tersebut berdasarkan UU Parpol dan AD/ART Parpol itu sendiri. Sungguh
merupakan suatu kesesatan berpikir (fallacy)
jika menganggap pemerintah cq Menkum dan HAM ikut campur dalam konflik
internal suatu parpol dalam penggunaan kewenangan pengesahan struktur kepengurusan
baru dari suatu parpol. Hal itu justru memperlihatkan upaya mencari kambing
hitam atas kegagalan resolusi konflik internal parpol yang terjadi karena
lemahnya manajemen internal parpol. UU Parpol memang mengundang kewenangan
Menkum dan HAM untuk mengesahkan formatur kepengurusan baru suatu parpol
setelah memenuhi syarat prosedur tertentu dalam mekanisme pemilihan formatur
baru parpol.
Dalam perspektif UU No 30
Tahun 2012 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Adpem) bahkan ditegaskan
bahwa jika badan atau pejabat pemerintah tidak menetapkan suatu keputusan
tata usaha negara atas permohonoan subjek hukum privat dalam waktu 10 hari
sejak tanggal penerimaan permohonan tersebut, permohonan itu harus dianggap
dikabulkan oleh pemerintah. Hal itu, dalam teori hukum administrasi negara,
dikenal dengan keputusan yang bersifat fiktif-positif. Maka, dalam kasus PPP,
putusan PTUN Jakarta mengandung keganjilan karena kurang cermat dalam
mempertimbangkan hal-hal seputar kewenangan formal pengesahan formatur
kepengurusan baru parpol dan kewajiban penetapan keputusan sebagaimana diatur
pada Pasal 53 UU Adpem.
Dalam kasus Partai Golkar,
Menkum dan HAM terlihat bertindak dengan cermat dan hati-hati untuk sampai
pada peng gunaan kewenangan pengesahan formatur kepengurusan baru dari Partai
Golkar atas permohhonan dari struktur kepengurusan baru yang telah
menempatkan Agung Laksono sebagai ketua umum baru partai berlambang pohon
beringin keramat itu. Dalam kondisi tersebut, masih juga timbul ketidakpuasan
dari kubu Ical karena surat dari Menkum dan HAM yang tak lebih sekadar
menindaklanjuti keputusan dari mahkamah partai di lingkungan Partai Golkar
dianggap mencampuri persoalan internal partai.
Berbagai fenomena
terbelahnya parpol pascadilaksanakannya agenda pemilihan formatur
kepengurusan baru melalui forum tertinggi setiap parpol tersebut seharusnya
justru menjadi bahan untuk melakukan introspeksi terhadap parpol-parpol
terkait. Secara teoretis, parpol dibentuk untuk menjadi sarana resolusi
konflik yang bisa terjadi dalam situasi masyarakat yang plural dan heterogen.
Dalam kondisi tersebut, parpol seharusnya bisa menjadi instrumen resolusi
konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung, dan memadukan
berbagai aspirasi serta kepentingan dalam musyawarah untuk mencapai penyelesaian
yang berupa keputusan politik. Dalam perspektif teori kelembagaan, partai politik
dibentuk kalangan legislative (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para
anggota parlemen untuk mengadakan kontak dan mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Fenomena parpol yang terbelah
merupakan realitas politik yang memperlihatkan lemahnya visi ideologis parpol-parpol
yang bersangkutan dan manajemen internal parpol yang tak dengan jelas
disandarkan atas prinsip-prinsip tata kelola parpol yang baik (good political party governance)
sebagaimana diamanatkan dalam UU Parpol. Watak kepengurusan parpol yang oligarkis,
kurangnya transparansi, rendahnya partisipasi anggota parpol, dan minimnya
akuntabilitas dari pimpinan parpol bisa saja merupakan penyebab dari lemahnya
manajemen internal parpol yang menyebabkan kerentanan parpol dalam menghadapi
perbedaan pendapat di kalangan anggotanya.
Parpol sebagai instrumen demokrasi justru telah mengembangkan watak
otoritarian karena kecenderungan tumbuhnya kepemimpinan yang berwatak tirani,
suka memaksakan kehendak, dan abai terhadap pluralitas pandangan/opini dari
para anggotanya.
Dalam perspektif teori
historis, parpol merupakan instrumen demokrasi yang sangat penting. Bahkan
pascaamendemen UUD 1945, parpol kini telah memiliki kedudukan konstitusional
dan menjadi pintu masuk satu-satunya dalam penentuan pasangan capres dalam
pilpres.
Partai politik terbentuk
karena adanya suatu sistem politik yang mengalami transisi karena perubahan
masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi bentuk
modern yang berstruktur kompleks. Parpol perlu melakukan pembenahan internal
agar tetap mampu menopang sistem demokrasi konstitusional yang telah
berkembang semakin baik di negeri ini.
(Elite) parpol tak boleh
justru menjadi batu sandungan bagi tumbuh dan berkembangnya sistem demokrasi
di negeri ini yang telah mendapat pengakuan dari dunia internasional sebagai
salah satu dari lima negara demokrasi terbesar di dunia. Maka, jangan
terbiasa untuk `membelah cermin' atas realitas `buruk rupa' parpol yang
terjadi selama ini.
Parpol harus terus
diperkuat sebagai instrumen demokrasi sipil yang penting dan jangan sampai
tersandera oleh perpecahan internal akibat ambisi politik sebagian oknum
elitenya karena parpol merupakan salah satu unsur terpenting dari sebuah
negara yang menisbahkan dirinya sebagai negara demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar