Beras
untuk Stabilisasi Harga
M Husein Sawit ; Mantan
Ketua Forum Komunikasi Profesor Riset Kementan
dan Senior Advisor Perum Bulog Periode 2003-2010
|
KOMPAS,
06 Maret 2015
Dalam seminggu terakhir, pemerintah memperluas cakupan,
meningkatkan volume operasi pasar beras, dan mempercepat penyaluran beras
untuk rakyat miskin. Wapres Jusuf Kalla memutuskan penggunaan stok beras
operasional Bulog untuk keperluan operasi pasar pada 23 Februari 2015 karena
cadangan beras pemerintah (CBP) tak mencukupi. Presiden Joko Widodo
menyatakan, pemerintah akan melakukan operasi pasar berapa pun yang
dibutuhkan pasar (Kompas, 26/2).
Kenaikan harga beras saat ini mirip kejadian akhir 2006
dan awal 2007. Pasar bereaksi negatif atas pernyataan petinggi kementerian/lembaga,
saling menyalahkan, menuduh pedagang (sekarang mafia beras), sehingga
persoalan intinya terlupakan, yaitu kekurangan suplai gabah/beras karena
terundurnyapanen raya padi hingga dua bulan.
Pertumbuhan produksi padi juga merosot tajam pada 2006 hanya
0,56 persen, jauh di bawah target 5 persen per tahun. Hal itu telah berdampak
terhadap carry over stock untuk tahun berikutnya menjadi sangat kecil. Pada
waktu itu, pemerintah juga terlambat mengintervensi pasar.
Tulisan ini tidak bermaksud untuk menilai hasil intervensi
pasar pemerintah, tetapi menyoal mengapa pemerintah menggunakan beras
kualitas rendah untuk operasi pasar, padahal itu kurang efektif dan mahal.
Kualitas raskin
Kualitas beras CBP dan beras untuk rakyat miskin (raskin)
tak ada bedanya: beras kualitas rendah, kualitas medium. Namun, tujuan kedua
program tersebut sangat berbeda.
Pada 2005, pemerintah memutuskan membangun CBP dengan
tujuan: (i) membantu pangan buat masyarakat pada waktu/setelah bencana
alam/konflik sosial; (ii) mengintervensi pasar untuk mengatasi instabilitas
harga; (iii) membantu pangan buat negara sahabat yang mengalami bencana,
termasuk mengisi cadangan beras darurat ASEAN Plus Three Emergency Rice
Reserve.
Adapun tujuan utama program raskin mengatasi kekurangan
gizi makro—energi dan protein—buat keluarga miskin. Namun, sejak 2008, pada
bulan-bulan instabilitas harga beras tinggi, raskin digunakan sebagai
instrumen stabilisasi harga beras, seperti yang dilakukan sekarang ini.
Raskin digelontorkan secara besar-besaran, dua kali lipat dari jumlah normal
penyaluran bulanan, sehingga dikenal raskin ke-13, ke-14, ke-15.
Dalam beberapa tahun terakhir, volume beras yang
disalurkan melalui program raskin mencapai 3,2 juta ton per tahun, suatu
jumlah yang sangat besar. Namun, raskin tidak mampu secara langsung
menstabilkan harga beras yang sedang bergejolak. Perlu waktu relatif lama
walau jumlah yang disalurkan banyak: 400.000-500.000 ton per bulan saat
instabilitas harga beras tinggi. Hal itu karena beras tersebut tak langsung
dikonsumsi masyarakat, tetapi dioplos dengan beras kualitas yang lebih baik.
Obral harga beras (Rp 1.600/kg) melalui raskin yang terlalu banyak dan masif
telah menyulitkan pemerintah menurunkan konsumsi beras seperti yang
ditargetkan, yakni 1,5 persen per tahun.
Alokasi dana APBN untuk raskin, yang dijabarkan ke volume
beras, selalu ditetapkan setahun sebelumnya: raskin tahun 2015 diputuskan
pada 2014. Kalau kebutuhan beras raskin bisa dipatok tinggi, tetapi
pertumbuhan produksi padi/beras sulit diduga, juga volume pengadaan beras
dalam negeri bergantung terutama pada iklim, hama penyakit, dan harga
gabah/beras.
Penetapan volume raskin sangat besar tidak hanya
berimplikasi terhadap impor beras, tetapi juga Bulog harus melakukan
pengadaan gabah/beras dalam negeri secara besar-besaran dalam situasi harga
beras tinggi, jauh di atas harga pembelian pemerintah. Maka, kualitas beras
menjadi taruhannya sehingga kualitas beras untuk program raskin menjadi
sangat rendah.
Persoalan CBP tidak hanya volumenya sangat sedikit buat
negara besar seperti Indonesia, sekitar 370.000 ton/tahun, tetapi juga
kualitas beras CBP sama dengan beras raskin. Padahal, beras kualitas medium
kurang diminati konsumen, tidak dominan pengaruhnya dalam menentukan tingkat
inflasi pangan. Operasi pasar beras kualitas rendah pada saat terjadi
instabilitas harga beras kurang efektif dalam meredam harga, seperti dokter
memberi obat kepada pasien kurang dosisnya sehingga sembuhnya jadi lebih
lama.
Beras kualitas bagus
Lantas, apa yang perlu dilakukan pemerintah? Pertama,
pemerintah perlu menghentikan program raskin untuk tujuan stabilisasi harga.
Program ini awalnya memang tidak dirancang untuk tujuan tersebut. Kedua,
gunakan CBP untuk tujuan stabilisasi harga beras. Agar CBP kuat, perbesar
volume CBP, ditingkatkan mencapai 1,3 juta ton dengan kualitas premium. Pada
saat yang sama, rancang juga penyaluran CBP tidak hanya untuk tiga keperluan
tersebut, juga dapat ekspor, program food for work, dan lain-lain.
Dengan beras kualitas bagus, intervensi pasar bisa
langsung diterima pasar tanpa perlu dioplos. Di samping itu, penyaluran CBP
beras kualitas bagus pada saat situasi darurat, misalnya untuk dapur umum,
akan lebih manusiawi daripada harus memberi beras kualitas rendah dalam
situasi manusia menderita dan keterbatasan lauk. Demikian juga, Indonesia
lebih berani tampil membantu beras buat negara sahabat yang terkena musibah. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar