Angket
bagi Gubernur DKI
Refly Harun ; Ahli Hukum Tata Negara;
Mengajar di Program Pascasarjana UGM
|
KOMPAS,
03 Maret 2015
Politik tak pernah berhenti. Aktor-aktor politik tak pernah
mati. Belum habis sisa konflik Komisi Pemberantasan Korupsi-Kepolisian Negara
Republik Indonesia, kini muncul perseteruan antara Gubernur DKI Basuki
Tjahaja Purnama dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI.
Tak tanggung-tanggung, DPRD DKI langsung melancarkan penggunaan
hak angket. Semua anggota DPRD yang berjumlah 106 orang setuju membubuhkan
tanda tangan bagi penggunaan hak penyelidikan legislatif tersebut. Dalam
versi DPRD DKI sebelum penyelidikan dimulai: Gubernur DKI Basuki Tjahaja
Purnama telah melanggar hukum.
Bisa dipastikan, seperti itu pulalah bakal kesimpulan panitia
angket. Kesimpulan agaknya telah mendahului penyelidikan. Basuki kini di
tubir jurang kejatuhan. Ayat-ayat pemakzulan mulai berkumandang.
Terus diincar
Selama memerintah DKI, Basuki akan senantiasa berada pada orbit
predatorisme. Basuki adalah mangsa yang selalu diincar pemangsa. Sebagian
pimpinan dan anggota biasa DPRD DKI selalu berimajinasi untuk mengakhiri masa
jabatan sang gubernur. Dendam politik, serangan balik koruptor (corruptors fight back), soal-soal yang
terkait dengan hubungan mayoritas-minoritas berkelindan menjadi satu. Semua
itu semakin diperburuk dengan gaya komunikasi Basuki yang selalu keras, to the point, dan tanpa tedeng
aling-aling, khas orang tanah seberang.
Kini, kesulitan Basuki bertambah karena kerumunan penentang
menjadi mutlak di DPRD DKI. Tak ada yang mendukung. Semua menjadi oposisi.
Harapan Basuki tinggal pada warga DKI yang masih mengedepankan hati nurani,
ingin melihat DKI bersih tanpa pungli, serta yang terpenting tidak macet dan
tak banjir lagi. Level kepercayaan warga Ibu Kota terhadap Gubernur Basuki
masih tinggi.
Setidaknya ada empat soal yang terkait dengan memanasnya kembali
hubungan antara DPRD DKI dan Basuki. Keempatnya adalah soal yang terkait
dengan komunikasi politik dua arah, hal-hal yang bersifat teknis-prosedural,
hal-hal yang berhubungan dengan substansi, dan terakhir soal niat baik.
Ada pula soal yang kelima, yang masih berupa spekulasi. Ketika
bicara soal pemakzulan, selalu muncul pertanyaan konspiratif: siapa yang
diuntungkan? Regulasi terbaru yang disahkan DPR sebelum reses Februari lalu
mengubah kembali ketentuan tentang pengganti gubernur yang berhenti atau
diberhentikan. Wakil gubernur otomatis naik menjadi gubernur. Sebelumnya,
sang pengganti ditentukan oleh pemilihan di DPRD.
Apakah hal tersebut yang menyebabkan Koalisi Indonesia Hebat
(KIH) di DKI juga ikut-ikutan mendorong Basuki pada bibir jurang pemakzulan?
Spekulasi ini sah-sah saja dimunculkan. Sama sahnya meletakkan pertanyaan
tersebut dalam skala kepemimpinan nasional ketika banyak pihak membicarakan
pemberhentian presiden.
Pemerintahan terbelah
Komunikasi Basuki-DPRD DKI tak pernah baik sejak Basuki
mengontrol pemerintahan DKI, baik secara de
facto (ketika Joko Widodo sudah sibuk dengan prosesi Pemilu Presiden
2014) maupun de jure (ketika Basuki
dilantik secara resmi menggantikan Jokowi). Pemicu komunikasi yang buruk,
antara lain, tindakan Basuki keluar
dari Partai Gerindra dan memilih merapat pada kekuatan KIH. Padahal, Gerindra
adalah pemimpin Koalisi Merah Putih (KMP) di DKI yang notabene menguasai
kursi mayoritas.
Jika di tingkat pusat ada fenomena pemerintahan terbelah (divided government), yaitu pendukung
pemerintah di legislatif hanya minoritas, hal yang sama terjadi pula di
DKI. Menghadapi pemerintahan terbelah,
kepiawaian komunikasi politik menjadi penting. Negosiasi kepada legislatif
menjadi prioritas agar agenda pemerintah disetujui.
Di tingkat pusat, "kelambanan" Presiden Jokowi menentukan
Kapolri definitif bisa jadi terkait dengan persetujuan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015. Semua maklum, tanpa APBN-P 2015
disetujui, gerak pemerintahan Jokowi terkunci. Proyek-proyek pembangunan akan
terlambat, bahkan terhambat. Janji-janji kesejahteraan selama masa kampanye
tak mudah direalisasikan. Kementerian pun tidak bisa bergerak karena
banyaknya perubahan yang sudah dilakukan, yang harus ditopang dengan
persetujuan anggaran.
Untungnya, negosiasi politik berhasil. APBN-P 2015 dapat
disetujui sebelum masa reses DPR pertengahan Februari lalu. Alhasil, meski
tetap dikepung dengan berbagai kekuatan, bahkan dijepit pendukung sendiri,
Jokowi mantap untuk tidak melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan dan
mengajukan Badrodin Haiti sebagai calon baru Kapolri. Anggaran selamat,
eskalasi politik melambat.
Politik gaya Jokowi ternyata sama sekali tidak dipakai Basuki.
Tidak ada rumus negosiasi bagi mantan Bupati Belitung Timur itu. Ketika ada
perbedaan pendapat soal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI,
yang ditengarai ada dana siluman Rp 12,1 triliun, Basuki memilih ke Komisi
Pemberantasan Korupsi ketimbang negosiasi. Langkah ini tentu saja semakin
melancarkan penggunaan hak angket oleh DPRD DKI.
Gaya politik yang keras ini bisa berhasil tidak hanya karena
dukungan masyarakat. Basuki juga harus memperhatikan tiga hal berikut:
prosedur, substansi, dan niat baik. Secara prosedur, Basuki tidak boleh
keliru. Jika benar tuduhan DPRD DKI bahwa Basuki menyampaikan dokumen
Rancangan Anggaran dan Pendapatan Daerah (RAPBD) yang tidak disetujui, yang
sebagian angkanya dikoreksi Basuki sendiri, ini soal teknis-prosedural yang
tidak kecil. Hal ini menyangkut tata pemerintahan di daerah, menyangkut
kewenangan institusi lain yang didasarkan pada konstitusi.
Soal teknis-prosedural ini tidak akan menjadi dominan jika
Basuki mampu menjelaskan bahwa secara substantif angka-angka dalam RAPBD
versi DPRD DKI tersebut tidak pernah diajukan dan tak pernah dibahas bersama
dengan eksekutif. Bagaimanapun, dalam hal APBD, ada kewenangan bersama (joint power) antara eksekutif dan
legislatif.
Inisiatif APBD selalu berasal dari eksekutif. Asumsinya,
eksekutif dinilai lebih tahu dalam pengalokasian anggaran dan eksekutif pula
yang akan melaksanakannya. Namun, karena uang yang dikelola tersebut adalah
uang rakyat, perlu persetujuan wakil-wakil rakyat. Hak anggaran DPRD
sesungguhnya lebih bertitik tekan pada persetujuan (pasif), bukan kewenangan
aktif untuk "mengacak-acak" anggaran. DPRD harus lebih berperan
sebagai watchdog, memastikan bahwa anggaran pro rakyat, bukan jadi kerumunan
pemburu rente yang menjadikan ABPD sebagai bancakan.
Niat baik akhirnya menjadi kata kunci. Dalam memanasnya hubungan
Basuki-DPRD DKI, publik akan dapat menilai siapa sesungguhnya yang berniat
baik untuk menyelamatkan dana rakyat. Dari sisi Basuki, yang berhadapan
dengan 106 anggota DPRD DKI, niat baik bisa jadi menyelamatkannya dari ranjau
pemakzulan.
Andai hasil panitia angket nanti berkembang menjadi penggunaan
hak menyatakan pendapat, Mahkamah Agung (MA) yang akan menilai. Penilaian
tersebut setidaknya akan mencakup dua hal. Pertama, apakah benar Basuki telah
melakukan pelanggaran hukum yang bisa jadi diamini semua anggota DPRD DKI.
Kedua, kalau memang terjadi pelanggaran hukum, apakah hal tersebut cukup jadi
alasan untuk sampai pada vonis pemakzulan.
Obyektivitas dan pedang keadilan MA sangat diharapkan. Mekanisme
pemakzulan di Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal, memang
memadukan pembenaran politik dan kebenaran hukum. Secara politik, benar atau
salah tidak menjadi penting. Sepanjang mayoritas menghendaki, jurus-jurus
pemakzulan tetap bisa dimainkan. Suara mayoritas ini akan diuji dengan
kebenaran hukum. Di Mahkamah Konstitusi dalam konteks nasional, di MA dalam
konteks lokal. Subyektivitas politik mayoritas akan berbuah pemberhentian
jika diamini institusi hukum yang berwenang mengujinya.
Mudah-mudahan kebenaran selalu dibenarkan dan dimenangkan.
Jangan sampai pada era pemerintahan Jokowi justru kita menyaksikan tumbangnya
orang-orang baik (a few good men),
mulai dari Bambang Widjojanto, Abraham Samad, hingga Basuki Tjahaja Purnama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar