Tebak-tebakan
Buah Manggis
M Aji Surya ; Pengamat
Sosial, Tinggal di Jakarta
|
DETIKNEWS,
10 Februari 2015
Sampai dengan hari ini (10/02/15), sebagian besar
masyarakat Indonesia insya Allah masih diliputi rasa penasaran yang
membuncah. Mereka geram dan jengkel terhadap lambannya Presiden Jokowi
mengambil keputusan terkait penyelesaian “perseteruan” KPK vs Polri. Bisa
jadi, kegeraman itu akan serta merta berubah menjadi kemarahan kalau akhirnya
apa yang diharapkan tidak terealisasi.
Saya sendiri mencoba mendekati ritme Jokowi ini dari
kultur Jawa yang kebetulan kental dalam dirinya. Sebagai orang Solo dan besar
dengan adat istiadat Jawa, sangat bisa dimengerti kalau kemudian cara
penyelesaian masalah yang dipakai Jokowi adalah falsafah Jawa. Itu semua
karena setiap manusia meyakini bahwa budaya yang membangun dirinya dapat
bermanfaat untuk mengarungi kehidupan, termasuk menyelesaikan persoalan.
Tebak-tebak buah manggis, saya menduga, bahwa Pak Jokowi
meyakini konsep “menang tanpo ngasorake” atau memenangkan pertarungan tanpa
harus merendahkan semua pihak, bisa dipakai dalam penyelesaian perseteuran
ini. Di sini, target harmoni dikedepankan dan konflik dihindari.
Penggunaan falsafah ini bisa jadi dianggap efektif (tepat)
apalagi sang Presiden sebagaimana disebut oleh banyak pihak, dalam keadaan
yang terjepit. Presiden sepertinya dalam posisi “maju kena mundur kena”.
Melantik BG menuai kritik masyarakat, tidak melantik (saat itu) menyiratkan
ketidakkonsistenan. Membela KPK dengan mengorbankan Polri pasti dianggap
tidak adil, demikian pula sebaliknya. Belum lagi, kisruh soal hukum ini
kemudian melebar jauh ke ranah politik di mana banyak anggota partai ikut
bermain di dalamnya. Betul-betul membuatnya lieur.
Sejak saat itu, sebenarnya, masyarakat Indonesia sedang
melihat aneka jurus yang dimainkan oleh Presiden untuk keluar dari “jebakan
Batman”. Salah-salah ambil keputusan maka risikonya sangat besar. Diperlukan
sebuah strategi yang jitu mengingat Jokowi bukanlah pengendali partai dan
tidak memiliki amunisi yang cukup untuk memenangkan pertempuran dengan mudah.
Itulah mengapa, falsafah Jawa tadi plus jiwa pedagangnya
mungkin dianggap sebagai ramuan lumayan ampuh dalam menyelesaikan masalah
yang rumit ini. Maklumlah, seorang pedagang biasanya sangat rasional dalam
mengambil keputusan dengan cara mencari kawan sebanyak mungkin (menjauhi
permusuhan). Ketika terjadi penggabungan antara keduanya maka diharap ada
penyelesaian masalah dan diraih keuntungan.
Bila mau menengok ke belakang, track record Jokowi lihai
dalam memainkan konsep ini. Hal itu terlihat saat ia menjadi Walikota Solo
maupun Gubernur Jakarta. Melakukan pembicaraan berkali-kali tanpa lelah dan
pada akhirnya apa yang diinginkan dapat dicapai. Fenomena “penggusuran” ala
Jokowi adalah model “menang tanpo
ngasorake” atau bisa juga disebut pendekatan “win-win solution”.
Sebenarnya Jokowi memiliki wewenang yang cukup untuk
segera menyelesaikan masalah jika saja ia mau. Hanya saja, keputusan yang
muncul di tengah-tengah suasana yang tidak matang diperkirakan akan melukai
beberapa pihak. Dan hal ini tidak dikehendaki oleh sang Presiden asal Solo
(Jawa) tersebut. Ia, meskipun terlihat tidak berjamaah (relatif sendiri),
namun terus mencoba memenangkan pertempuran hebat.
Tampaknya juga, Presiden Jokowi melihat kenyataan ini lalu
mengeluarkan jurus tambahan yang disebut “ngluruk
tanpo bolo” atau datang ramai-ramai tanpa bala tentara. Artinya, di
tengah himpitan yang luar biasa itu, ia mencoba menggandeng berbagai pihak,
termasuk lawan politiknya, agar kemudian berbalik memberikan dukungan
kepadanya. Demikian juga dengan memanggil berbagai pihak untuk memberikan
masukan kepadanya, mulai dari mantan presiden Indonesia sampai tim 9 yang
tidak akan diresmikan. Semua komunikasi itu dibiarkan terbuka sedemikian rupa
sehingga terbangun opini publik yang matang untuk kemudian sang presiden
tinggal mengetok palu tanpa ada yang bisa menyanggah.
Hal penting yang harus dipahami dalam proses yang dalam
bahasa kerennya disebut soft diplomacy tersebut adalah waktu yang dibutuhkan
tidak sedikit. Perlu masa yang panjang sehingga bisa menyulut konsitituennya
gemes dan marah. Tidak mengherankan, ketika itu semua terjadi pada saat 100
hari kepemimpinan Jokowi maka rapot kinerjanya, dinilai beberapa kalangan,
tidak semuanya bagus.
Saya agak menduga, pengambilan keputusan yang terkait
dengan “perseteruan” KPK-Polri yang terkesan diulur sampai kepulangan dari
lawatan ke tiga negara ASEAN tersebut adalah karena sang Presiden tidak yakin
waktu pengambilan keputusan sudah pas. Keadaan belum begitu matang untuk
sebuah keputusan besar. Diharapkan, perkembangan komunikasi publik yang
terbentuk selama ditinggalkan sebagai dampak dari berbagai diskusi maupun
pemberitaan lebih mematangkan keadaan. Begitu presiden pulang, semua matang,
keputusan telah disiapkan dan ia tinggal meneken dan mengumumkan. Tidak ada
yang melawan.
Dari tebak-tebak buah manggis yang mungkin terjadi
berdasarkan hal-hal tersebut diatas maka kemungkinan besar Presiden Jokowi
akan mengambil jalan harmoni sesuai slogan save KPK save Polri. Dugaan saya,
soal ketaatan hukum (an sich)
menjadi alasan dalam pengambilan keputusan. Rakyat dianggap sudah memahami
bahwa ada “masalah” baik di BG maupun di beberapa pimpinan KPK, sehingga
penegakan hukum menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan.
Bila asumsi ini benar adanya, maka Presiden akhirnya tidak
akan memberikan “pembelaan” kepada siapapun yang diduga memiliki masalah
hukum, apalagi bukti-bukti telah mengarah kesana. Baik unsur pimpinan KPK
maupun BG akan dilepas begitu saja sesuai mekanisme hukum yang berlaku.
Yang agaknya pasti adalah bahwa Presiden tidak akan
membiarkan KPK lumpuh dengan dijeratnya beberapa pimpinannya dalam masalah
pidana. Dengan kekuasaanya, ia bisa mengeluarkan keputusan tentang
pengangkatan pelaksana tugas dari kalangan yang kredibel sehingga dapat
menenangkan publik secara umum. Dus, selesailah semua masalah. KPK
terselamatkan sementara penegakan hukum tidak terciderai. Tetap sesuai
koridor janji-janjinya dalam pemilu.
Dari sini, presiden kemudian akan menyusun langkah-langkah
strategis agar masalah semacam ini tidak terjadi di kemudian hari. Bahkan
langkah-langkah besarnya kali ini dijadikan semacam jalan (stepping stone) untuk meningkatkan
bargaining-nya baik di mata partai yang mengusungnya atau yang sempat
berseberangan dengannya.
Meskipun demikian, jangan pernah lupa bahwa Jokowi adalah
pribadi yang seringkali diluar konteks pikiran masyarakat awam. Sepak
terjangnya kadang bukan hanya out of
the box namun sering not in the box.
Keberaniannya untuk mengeksekusi mati pengedar narkoba yang menyebabkan
dirinya berhadap-hadapan langsung dengan dunia luar, hanyalah satu contohnya.
Jadi, jangan kaget juga bila sang Presiden mengambil jalan
yang diluar nalar lumrah masyarakat dan logika politik kaum politisi.
Senyumnya yang sering mengembang dan bicaranya yang sepotong-sepotong
memiliki multi-tafsir. Membaca sepak terjang Jokowi adalah membaca manusia
Jawa yang harus mengedepankan sebuah konsep “reading behind the lines”.
Sesuatu yang pasti, apapun yang diputuskan oleh Jokowi
nanti, bila menciderai rasa keadilan masyarakar maka damage control nya akan
sulit. Kredibilitasnya akan meluncur cepat seperti air terjun di Tawangmangu,
Solo. Namun bila mampu mendamaikan KPK dan Plori sekaligus memberikan
kepuasan publik, maka bintang Jokowi akan bersinar kembali. Mari kita
nantikan keputusan sang Presiden. Wallahu a’lam bisawab. Ilmu alam susah dijawab.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar