Talangan
APBN buat Lapindo
Khudori ; Pegiat
Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
|
KORAN
TEMPO, 17 Februari 2015
Ada satu keputusan amat penting dalam pembahasan Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2015 antara DPR dan pemerintah:
dana talangan Rp 781,7 miliar ke PT Minarak Lapindo Jaya (MLJ). Anggaran itu
untuk menalangi jual-beli tanah dan aset antara MLJ dan warga korban lumpur
Lapindo. Jual-beli, bukan ganti rugi, merupakan skema yang sejak awal
diinisiasi MLJ. Sampai saat ini sekitar 20 persen dari total area terkena
dampak lumpur belum dibayar MLJ. Perusahaan mengklaim nyaris bangkrut dan tak
mampu membayar (baca: membeli) tanah dan aset warga. Pada 2014, MLJ meminta
dana talangan dari pemerintah. Di era Presiden SBY, dana talangan tak
dikabulkan. Saat Presiden Jokowi bertakhta, permintaan itu mulus.
Ini pertama kalinya anggaran negara (APBN) dialokasikan
untuk menalangi ganti rugi korporasi swasta. Berbagai spekulasi muncul. Dalam
perspektif positif, kebijakan ini merupakan pemenuhan janji Presiden Jokowi
saat kampanye pemilihan presiden. Poin pertama Nawa Cita Jokowi-JK
ditegaskan: "Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa
dan memberikan rasa aman pada seluruh warga negara." Dana talangan ini
sebagai akad "negara hadir", seperti kehendak korban lumpur
Lapindo. Selama delapan tahun mereka bagai menunggu "Godot" tanpa
kejelasan mendapatkan hak-haknya dari MLJ.
Biasanya, pembahasan anggaran di DPR alot dan
bertele-tele. Sedangkan dana talangan ini mulus. Jika kemudian ada penjelasan
terang dari Dirjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan Hadiyanto bahwa
"anggaran itu politis", segala spekulasi terjawab sudah.
Padahal, di APBN-P 2015, dana talangan untuk anak
perusahaan Grup Bakrie itu masuk dalam bagian pembiayaan. Artinya, skemanya
adalah utang-piutang antara MLJ dan pemerintah. Masalahnya, saat anggaran
disetujui, skema utang-piutang sebagaimana lazimnya belum ditentukan dan
disepakati: berapa bunga, tenor, serta nilai agunan. Soal agunan, misalnya,
berapa nilai aset MLJ? Hadiyanto menjamin nilai aset MLJ, termasuk lahan yang
terendam lumpur, minimal Rp 2 triliun. Nilai agunan itu belum valid karena
masih dihitung Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. Jika di kemudian
hari MLJ tidak mampu membayar utang, lalu negara mengambil alih dan ternyata
nilai agunan kurang, siapa yang bertanggung jawab?
Presiden Jokowi tentu wajib memastikan "negara selalu
hadir" sebagai pelindung warga. Dalam kasus lumpur Lapindo, kehadiran
negara mutlak adanya (Mustasya, 2007). Karena, pertama, kerugian dan
hilangnya hak milik warga sudah terjadi dan begitu nyata. Kedua, kekuatan
tawar MLJ dengan warga bersifat asimetris. Dalam kondisi seperti itu,
negosiasi bipartit antara MLJ dan warga mustahil berlangsung adil. Ketiga,
kerugian warga bukan disebabkan oleh wanprestasi dari sebuah perjanjian
ekonomi privat, seperti dalam penipuan multilevel marketing. Kasus ini lebih
merupakan hilangnya hak milik warga negara akibat kegiatan ekonomi pihak
tertentu yang abai akan prinsip kehati-hatian.
Meski demikian, sebagai bentuk utang-piutang, tata
kelolanya harus jelas. Tujuannya ada dua. Pertama, agar tak timbul masalah di
kemudian hari. Kedua, dana talangan itu berasal dari APBN, artinya dari pajak
warga. Warga berhak dan harus tahu bagaimana skema utang-piutang itu
disepakati. Dengan tenor, bunga, dan nilai agunan yang jelas, publik bisa
berpartisipasi untuk mengawasi agar tidak terjadi "perselingkuhan"
di kemudian hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar