Swasembada
Pangan dan Impor Gandum
F Rahardi ; Pemerhati Pertanian
|
KOMPAS,
09 Februari 2015
Dalam masa 100 hari pemerintahan
Presiden Joko Widodo dikemukakan janji untuk swasembada pangan dalam tiga
tahun mendatang. Upaya itu diwujudkan antara lain dengan perbaikan sarana
irigasi dan mekanisasi.
Sejak pemerintahan Soekarno sampai
kini, swasembada pangan selalu identik ketercukupan beras. Bersamaan dengan
penyerahan penghargaan Adhikarya Pangan Nusantara di Balai Besar Tanaman
Padi, Subang, Jawa Barat, 26 Desember 2014, Presiden Jokowi selaku Ketua
Dewan Ketahanan Pangan menyebutkan, ”Sawah masih luas, kok, beras dan bahan
pangan lain masih impor?” Meski tak disebut Presiden, gandum merupakan ”bahan
pangan lain” yang sangat mencolok volume dan nilai impornya.
Lonjakan impor terjadi selama 15
tahun terakhir. Tahun 2000, Indonesia
hanya impor 3,5 juta ton gandum senilai Rp 5,5 triliun. Tahun 2005 naik
menjadi 4,4 juta ton senilai Rp 8,7 triliun. Tahun 2010 naik lagi menjadi 4,8
juta ton senilai Rp 15,6 triliun. Pada Januari-Oktober 2014, BPS mencatat,
impor gandum dalam berbagai jenis dan bentuk mencapai 6,5 juta ton senilai Rp
23,5 triliun. Pada kurun waktu sama, impor beras kita hanya 496.200 ton
senilai Rp 2,5 triliun. Itu pun 257.800 ton merupakan beras remuk untuk pakan
ternak. Selama 15 tahun, volume impor gandum kita naik 185,7 persen dan
kenaikan nilai 427,2 persen.
Reekspor
Selama Januari-Oktober 2014,
Indonesia memang tercatat mengekspor kembali tepung gandum 125.900 ton
senilai Rp 374,9 miliar. Indonesia juga mengekspor mi instan senilai Rp 2,4
triliun. Gandum impor ini sebagian besar diolah lebih lanjut menjadi mi
instan. Produk mi instan kebanyakan dikonsumsi masyarakat lapis bawah. Di
sinilah terjadi ironi. Ketika rakyat miskin kita membeli mi instan, sebagian
dari uang itu dikirimkan ke para petani kaya di AS.
Tak adakah upaya mencoba menanam
gandum di negeri ini? Pada awal 2000-an, Bogasari dengan IPB dan Kementerian
Pertanian telah mengumpulkan benih gandum tropis dari Pakistan, India,
Tiongkok, dan Meksiko. Hasilnya kemudian disebar ke 18 provinsi di Indonesia.
Dari upaya ini, hasil yang pernah terungkap ke media massa hanya dari Kopeng,
Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, dan Tosari, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur.
Di Kabupaten Manggarai, Flores,
NTT, uji coba budidaya gandum ini pernah dikabarkan berhasil, tetapi tak
terlalu jelas lokasi dan perkembangan lebih lanjut. Tahun 2009, uji coba
budidaya gandum di Kopeng dilanjutkan oleh Bogasari dan Universitas Kristen
Satyawacana, Salatiga, dengan bantuan hibah dari Pemerintah Jepang.
Gandum memang bisa dibudidayakan
di kawasan tropis asalkan dipilih lahan berketinggian di atas 1.000 meter di
atas permukaan laut dengan kelembapan rendah dan sinar matahari penuh. Gandum
perlu paling sedikit cuaca kering (tanpa hujan) selama dua bulan sebelum
panen. Dengan tuntutan iklim seperti ini, kawasan dataran tinggi di NTT
paling berpeluang untuk uji coba budidaya gandum. Namun, sebagus apa pun
hasil gandum tropis, kandungan glutennya pasti terlalu rendah dibandingkan
dengan gandum yang tumbuh di negeri empat musim. Maka, upaya uji coba
budidaya gandum, selain di NTT, sebenarnya hanya merupakan lips service.
Indonesia semestinya mengupayakan
budidaya produk pangan penghasil karbohidrat, selain padi, gandum, dan
jagung, misalnya singkong. Tahun 2000 Indonesia masih berada di peringkat
keempat penghasil singkong dunia di bawah Kongo, Thailand, dan Nigeria. Tahun
2001 naik ke peringkat ketiga menyalip Kongo. Tahun 2002 naik lagi ke
peringkat kedua setelah Nigeria, sampai kini. Menilik peluang pasar,
ketersediaan lahan, dan kesesuaian agroklimat, Indonesia dimungkinkan jadi
penghasil singkong utama dunia dalam waktu dekat.
Solusi substitusi
Produk pangan mi sudah dikenal di
Tiongkok sekitar tahun 4000 SM. Awalnya mi terbuat dari tepung millet (jewawut). Baru pada milenium 1 SM mi
dibuat dari tepung gandum. Karena tidak semua kawasan di Tiongkok bisa
ditanami gandum, masyarakat negeri ini melakukan inovasi mi terbuat dari
tepung beras, yang kemudian kita kenal sebagai bihun. Selain membuat produk
baru, penambahan (substitusi) tepung gandum dengan berbagai bahan juga
dimungkinkan. Ketika PNS dan TNI masih memperoleh jatah beras, beras jatah
yang tak terambil digiling sebagai campuran gandum untuk diolah menjadi roti
dan mi.
Setelah PNS dan TNI tak memperoleh
jatah beras, gandum bahan mi disubstitusi dengan tepung singkong. Dalam
perdagangan internasional, dikenal tiga kategori tepung singkong, yakni
tepung gaplek (cassava powder),
pati singkong (tapioka atau manioc),
dan tepung singkong segar (cassava
flour). Lalu, muncul pula istilah mocaf (modified cassava flour). Berdasarkan pengalaman, cassava flour yang paling cocok
sebagai substitusi gandum, baik roti maupun mi.
Mi tradisional yang dibuat dengan
cara ditarik, roti perancis, dan kulit martabak telur tetap memerlukan tepung
gandum dengan kadar gluten tinggi dan tak boleh dicampur karbohidrat dari
bahan lain. Namun, di luar itu, gandum bisa disubstitusi, bahkan digantikan
oleh bahan lain. Beberapa sumber karbohidrat selain singkong adalah garut,
ganyong, keladi, talas, gadung, uwi-uwian, aren, dan sagu.
Komoditas-komoditas itu tak terurus dengan baik, nyaris terlupakan. Bahkan,
di Kabupaten dan Kota Bogor, talas bogor tak dikembangkan sebaik di Hawaii.
Pada saat pembentukan Kabinet
Kerja, Presiden Jokowi menekankan perlunya penghilangan ego sektoral di
kementerian. Izin impor produk pertanian, misalnya gandum, kapas, kedelai,
gula tebu, daging sapi, dan sapi hidup memang dikeluarkan Kementerian
Perdagangan. Untuk memperoleh izin dari Kemendag, importir wajib memperoleh
rekomendasi dari Kementerian Pertanian. Mestinya, dua kementerian ini bekerja
sama mengurangi impor bahan pangan. Mengapa Presiden hanya menyebut ”bahan
pangan lain”? Mengapa gandum tak tersebutkan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar