Setelah Seratus Hari
Ridho Imawan Hanafi
; Peneliti,
Tinggal di Jakarta
|
SUARA
MERDEKA, 13 Februari 2015
MELEWATI 100 hari pertama bukan perkara mudah bagi
pemerintahan Jokowi- JK. Dalam 100 hari tersebut pemerintahan Jokowi-JK
terlihat berjalan dengan membawa bandul berat. Terlebih terkait dengan sosok
Presiden Jokowi.
Harapan publik untuk melihat Presiden tampil sebagai
Jokowi: sosok yang dekat dengan rakyat, berani mengambil langkah tidak
populer, dan tidak terbelenggu oleh tekanan parpol pendukung, untuk sementara
waktu belum mendapat banyak jawaban. Harapan itu sempat muncul di awal.
Meskipun dalam pemilihan anggota Kabinet Kerja belum bisa menggambarkan
komposisi ideal, hal ini masih dilihat sebagai prerogatif presiden.
Juga sebagian rakyat, meskipun tidak puas atas kebijakan
kenaikan harga BBM masih bisa menerima argumentasi pemerintah. Belum lagi,
Jokowi sendiri tampak bekerja siang malam, menyapa satu daerah ke daerah
lain. Ditambah kerja beberapa menteri yang memunculkan apresiasi publik.
Namun, situasi berbalik keadaannya bagi Jokowi tatkala
dihadapkan pada pencalonan Budi Gunawan sebagai kapolri yang kemudian
melahirkan krisis ketegangan antara KPK dan Polri. Suara publik, baik dari
relawan Jokowi maupun yang tidak memilihnya, mempertanyakan sikap Jokowi yang
seolah-olah tidak bisa berbuat apa-apa dalam mengurai ketegangan KPK dan
Polri.
Bahkan pada saat KPK, lembaga paling diharapkan dalam
pemberantasan korupsi, di ambang kelumpuhan. Suara yang mempertanyakan sikap
Jokowi terutama menyasar pada penilaian apakah kemampuan berdiri sendiri
tanpa bisa ditekan oleh kekuatan figur tertentu dari partai pendukung bisa
dia tunjukkan? Bukan rahasia lagi bahwa pencalonan Budi karena dianggap
memiliki kedekatan dengan Megawati Soekarnoputri.
Pada titik ini, apakah pengaruh politik Mega dalam diri
Jokowi meskipun posisinya sudah menjadi presiden masih tertancap kuat? Di
tepian lingkaran ketegangan itu, PDIP sebagai partai utama penopang
pemerintahan terlihat belum menunjukkan dukungan solid bagi Jokowi.
Partai itu berkesan condong berada dalam posisi yang
menghendaki Budi sebagai calon kapolri dan ironisnya salah satu kadernya
bahkan melakukan semacam serangan balik politik kepada Ketua KPK Abraham
Samad.
Tidak hanya itu, tidak jarang pernyataan- pernyataan
muncul dari kader PDIP yang masih mengesankan Jokowi sebagai petugas partai.
Mengingat perjalanan pemerintahan tidak berhenti dalam 100 hari maka berbagai
polemik saat ini bisa menjadi pelajaran bagi Jokowi. Setidak-tidaknya,
pelajaran itu mengena pada beberapa sudut.
Mengikuti Presiden
Sudut pertama, relasi antara Jokowi dan PDIP. Relasi ini
menyangkut hal pokok: komunikasi politik antara Jokowi dan Megawati. Jokowi
perlu memperlihatkan bahwa dirinya bukan ”boneka”. Kalaupun relasi Jokowi dan
Megawati saling hormat, tak bisa jika dalam publikasi sering memperlihatkan
Jokowi tunduk pada Megawati.
Selain dengan Mega, relasi antara Jokowi dan PDIP
memerlukan keharmonisan. Situasi ini akan mengharuskan PDIP berdiri paling
depan membela kebijakan pemerintahan Jokowi. Sebagai kader partai yang
menjadi presiden, Jokowi adalah kehormatan bagi PDIP. Ketika Jokowi
mendapatkan persoalan pelik, PDIP wajib sepihak dengannya. Bukan justru
memperlihatkan adanya perbedaan suara yang dapat merenggangkan hubungan
antara presiden dan partainya.
Apalagi sampai muncul Jokowi mendapat jaminan dukungan
dari partai di luar pemerintah terhadap kebijakan tertentu, yang seharusnya
Jokowi dapatkan dari partai pendukungnya lebih dahulu. Sudut kedua, perbaikan
kinerja. Dalam hal ini adalah kemampuan Jokowi menggerakkan kabinetnya.
Sejauh ini, kinerja dari pembantu Jokowi belum banyak yang
menonjol, meskipun beberapa menteri menunjukkan keseriusan sehingga mendapat
nilai cukup positif. Publik menangkap sepak terjang sebagian pembantu Jokowi
hanya lebih mengikuti gaya presidennya, seperti dalam hal yang bersifat
simbolik. Kinerja yang tidak menonjol tersebut menuntut Jokowi untuk memacu
kinerja kabinet agar rakyat segera merasakan manfaatnya.
Dalam waktu dekat, perbaikan kinerja akan membantu Jokowi
untuk memulihkan kepercayaan publik yang sedikit banyak terkikis oleh polemik
pencalonan Budi Gunawan. Bahkan jika diperlukan, evaluasi atas kinerja
kabinet bisa dilanjutkan pada tahap reshuffleatas performa yang tidak kunjung
sesuai harapan.
Sudut ketiga, proses pemilihan orang-orang yang akan
membantu Jokowi. Sudut ini cukup krusial mengingat tidak jarang tiap Jokowi
akan mengangkat pejabat publik diikuti kontroversi. Kesan itu harus
diminimalisasi sebab akan muncul dugaan bahwa kriteria yang dipakai untuk
menduduki jabatan tertentu lebih karena akomodasi politik daripada
pertimbangan meritokrasi. Bukan tidak mungkin setelah 100 hari batu ujian
yang mengadang Jokowi akan lebih besar.
Hal itu akan menguras energinya bila hanya berkutat pada
wilayah konflik elitis. Rakyat menanti terobosan penting yang menyasar tujuan
kepemimpinannya: menyejahterakan rakyat. Upaya itu AGAR rakyat merasakan
perbedaan kepemimpinan dari periode sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar