Seratus
Hari Cari Keseimbangan
Yunarto Wijaya ; Direktur
Eksekutif Charta Politika Indonesia
|
KOMPAS,
05 Februari 2015
DENGAN kekuatan partai politik pendukung di parlemen yang
tak besar, pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla sedari awal diyakini bakal
menemui berbagai rintangan. Sejak sebelum dilantik, banyak yang membaca
hambatan akan muncul dari pihak Koalisi Merah Putih sebagai lawan politik.
Namun, publik kini lebih merasa terenyak terutama karena rentetan masalah
yang muncul justru disorongkan parpol pendukung Jokowi-JK. Meski hal ini
sudah terkalkulasikan, tetap saja terasa pahit karena hadir lebih cepat
daripada yang diduga, kalau tak mau dikatakan prematur. Penunjukan calon
Kapolri baru tereskalasi dengan cepat menjadi ”bola liar” menyusul
serangkaian peristiwa yang mengikutinya. Kecemasan terhadap nasib KPK
mengalirkan sentimen negatif terhadap pemerintahan Jokowi-JK. Lantaran menyeruak menjelang 100 hari
pertama pemerintahan Jokowi-JK, tak ayal hal ini tak ubahnya pemberat yang menenggelamkan
capaian-capaian di bidang lain, terutama ekonomi.
Gema yang tak merambat
Pemerintahan Jokowi-JK tak pernah menyatakan memiliki
program 100 hari. Meski demikian, dari berbagai pernyataannya sebelum dan
setelah dilantik, segera terlihat adanya prioritas lebih kuat pada bidang
ekonomi. Dalam berbagai kesempatan, Jokowi berkali-kali berbicara tentang
infrastruktur, maritimisasi, serta kedaulatan di bidang energi dan pangan. Secara kewilayahan, Jokowi berbicara
prioritas pembangunan di desa, luar Jawa, dan Indonesia timur. Reformasi
birokrasi, khususnya terkait perizinan investasi, menjadi tema sentral
lainnya.
Selama 100 hari pertama, pemerintahan Jokowi-JK terlihat
bergegas mengurai benang kusut perekonomian nasional. Sejumlah menteri di
bidang ini relatif lebih cepat dan lebih tanggap dalam menerjemahkan
janji-janji politik Jokowi-JK dalam pemilu presiden. Beberapa kebijakan
pendahuluan yang digelontorkan sangat terasa gaya Jokowi: menyasar hal-hal
yang sebelumnya terabaikan atau dihindari untuk dibenahi oleh pemerintah
terdahulu.
Dari berbagai kebijakan awal yang sudah digelontorkan, ada
beberapa yang menarik untuk disebut kembali meski tak semuanya dapat atensi
besar dari publik. Pertama, soal pemanfaatan APBN. Meski menyadari sebagai
tindakan tak populer, Jokowi-JK bersikeras melakukan kebijakan pengalihan
subsidi BBM agar tersedia ruang fiskal untuk program-program yang lebih
bermanfaat bagi masyarakat luas. Kedua, soal parasit ekonomi. Ini terutama
terlihat dari kebijakan Kementerian ESDM terkait pemberantasan mafia migas
serta kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam menangani pencurian
ikan dan persoalan ekspor-impor di subsektor perikanan.
Ketiga, kerja bergotong royong. Semangat gotong royong ini
diterjemahkan oleh Kementerian BUMN dalam bentuk membangun sinergi di antara
BUMN. Selain untuk meningkatkan kapasitas perusahaan, sinergi juga diarahkan
agar BUMN dapat menjadi penggerak yang signifikan dalam pembangunan nasional.
Keempat, sumbatan ekonomi. Ini terpresentasikan dengan baik melalui kebijakan
Perizinan Terpadu Satu Pintu yang digulirkan BKPM. Lembaga ini juga memilih
fokus ke dalam negeri untuk membongkar sumbatan-sumbatan yang dari tahun ke
tahun terus dikeluhkan (calon) investor.
Berbagai terobosan ini menjadi penanda penting bukti kerja
menteri-menteri di sektor ekonomi meski faktanya tak semua menterinya sudah
unjuk kinerja. Tidak mengherankan jika harian Kompas melalui tajuk rencananya
(30/1/2015) memberi apresiasi dengan menyatakan capaian 100 hari Jokowi-JK di
bidang ekonomi cukup menjanjikan. Apresiasi senada disampaikan kalangan
pengusaha yang menilai pemerintah telah mengerjakan masalah terbesarnya (Kompas, 30/1/2015). Meski demikian,
gema atas pencapaian ini tak merambat sebagaimana diharapkan. Untuk sebagian
kecil, proses perambatan sedikit teralihkan karena bersamaan dengan itu juga
muncul informasi-informasi ala infotainment yang tertaut dengan perilaku
sejumlah menteri. Sebagian lainnya bersumber dari gaya kepemimpinan Jokowi
yang bersedia ”berbagi panggung” dengan para menterinya. Maka, tak terelakkan
pula adanya publik yang memaknainya sebagai capaian individu menteri, bukan
bagian dari produk kebijakan pemerintahan Jokowi-JK.
Perambatan juga mengalami jeda karena kebijakan-kebijakan
ekonomi tersebut tetap membutuhkan langkah-langkah yang lebih konkret.
Terlebih, publik yang memahami bahwa kinerja di bidang ekonomi terbilang
sebagai sesuatu yang penting dan sekaligus mendesak dilakukan masih terbatas.
Selain itu, terjadi pantulan balik karena beberapa kebijakan tak bisa
diterima dan atau dipahami konteksnya. Ini yang terjadi umpamanya pada
kebijakan pengalihan subsidi BBM dan pelarangan ekspor hasil laut tertentu.
Meremehkan kegentingan
Berkebalikan dengan bidang ekonomi, para menteri di bidang
polhukam relatif tak aktif mengeluarkan terobosan. Yang lebih menonjol justru
produktivitas dalam mengeluarkan pernyataan-pernyataan kontroversial. Dapat
dimengerti pula jika sebagian masyarakat memaknai manuver menteri-menteri di bidang polhukam
sarat dengan agenda tersembunyi yang terkait dengan kontestasi antar-parpol.
Pernyataan terkait Munas Golkar dan konflik PPP adalah contoh terbaiknya.
Secara umum dapat dikatakan, menteri-menteri di bidang
polhukam kurang tanggap dan kurang peka menerjemahkan janji-janji Jokowi-JK
dalam pilpres lalu. Minimnya kreasi kebijakan di bidang polhukam berakibat
cukup fatal. Ketika Jokowi berbicara tentang ”selamatkan KPK dan selamatkan
Polri”, umpamanya, tak sedikit publik yang memaknainya sebagai omong kosong
belaka. Pasalnya, publik tak menemukan bukti-bukti awal yang bisa menerangkan
dan menguatkan pesan politik tersebut.
Padahal, dalam
Visi, Misi, dan Program Aksi Jokowi-JK, ada serangkaian janji yang terbilang
amat jelas untuk dieksekusi sesegera mungkin sesuai langgam Jokowi. Terkait
kepolisian, umpamanya, ada janji untuk mendorong profesionalitas Polri mulai
dari penerapan disiplin, pengaturan tata kelola, reorientasi pendidikan,
hingga revitalisasi Komisi Kepolisian. Terkait pemberantasan korupsi, juga ada janji untuk membangun sinergi
antara Polri, Kejaksaan Agung, dan KPK; prioritas penanganan kasus-kasus
korupsi di sektor tertentu (penegakan hukum, politik, bea cukai, dan industri
sumber daya alam); serta penerapan Sistem Integritas Nasional untuk
pencegahan korupsi.
Pernyataan Jokowi ihwal ”selamatkan KPK, selamatkan Polri”
niscaya akan lebih mudah diterima dan beroleh dukungan besar jika
bagian-bagian dari janji pembenahan Polri dan pemberantasan korupsi sudah
dimulai. Sejauh terinformasikan di
media massa, belum satu pun ada tanda- tanda para menteri di bidang polhukam
bergegas memulainya secara nyata. Situasi ini boleh jadi dipengaruhi halangan
psikologis-politik. Para menteri lebih berkutat membayangkan risiko daripada peluang. Mereka terjerembab
dalam kalkulasi menjelimet dan tergagap karena telanjur membayangkan bakal
menghadapi tembok raksasa yang siap meluluhlantakkannya. Termasuk kemungkinan
adanya penolakan dan atau ketidaksesuaian dengan agenda politik parpol di
mana mereka bergabung.
Potensi penolakan dan perlawanan yang mungkin bermunculan
memang dapat menciutkan hati. Namun, belajar dari kisruh KPK-Polri dan
kebijakan di bidang ekonomi, para menteri di bidang polhukam mestinya tak
perlu ragu selama desain kebijakan yang digagas memang diarahkan untuk kemaslahatan
umum. Selama tak menunjukkan keuntungan untuk kelompok/parpol tertentu,
dukungan publik dengan sendirinya akan mengalir.
Harus pula diakui, beberapa kebijakan di bidang polhukam
lebih sensitif dibandingkan di sektor ekonomi. Reformasi kelembagaan dan
perubahan regulasi melibatkan kepentingan langsung banyak pihak yang dapat
melakukan ”serangan balik” seketika dan terang-terangan. Situasinya juga
bakal jadi lebih kompleks ketika para ”penumpang gelap” berhamburan datang
membelokkan tujuan awal. Belum lagi kekhawatiran terhadap implikasi yang tak
terduga, melambungkan kecemasan terbukanya kotak pandora. Kinerja 100 hari
yang seolah-olah tereduksi pada bidang polhukam bukan karena capaian di
bidang ekonomi tak penting di mata publik, melainkan karena tak adanya bukti-
bukti pendahuluan tentang komitmen pemerintah dalam pemberantasan korupsi.
Publik ataupun pendukung Jokowi tak pernah menempatkan KPK
sebagai ”institusi setengah dewa”. Namun, institusi inilah yang masih
memberikan harapan bagi keberlangsungan pemberantasan korupsi. Dengan adanya
KPK, publik sekurang-kurangnya punya harapan praktik korupsi tak lagi semasif
dan semudah sebelumnya. Pelemahan dan atau pengebirian KPK akan selalu
dianggap upaya memadamkan asa di hati publik yang ingin praktik korupsi
diberantas. Celakanya, kegentingan yang dirasakan publik sepertinya terlalu
diremehkan para menteri polhukam dan secara terang benderang dipertunjukkan
oleh pernyataan dan aksi- aksi elite parpol pendukung Jokowi-JK.
Peremehan terhadap rasa kegentingan ini untuk sebagian
besarnya bersumber dari kegagalan dalam memahami karakter pendukung Jokowi
ataupun publik pada umumnya. Pendukung Jokowi dianggap kumpulan orang yang
lebih enggan mengekspresikan kekecewaannya secara terbuka, berlaku sebagai fans,
merasa terikat dengan parpol pendukung, memiliki rasa kagum dengan elite
parpol pendukung. Publik diasumsikan tak punya informasi yang memadai, mudah
diperdaya, cepat lupa, mudah memaafkan dan punya toleransi tak terbatas
terhadap kompromi- kompromi politik. Polarisasi pendukung dalam pilpres lalu
dianggap terus berlanjut.
Lebih cepat, lebih cermat
Ke depan, pemerintahan Jokowi-JK perlu bergegas
menyeimbangkan pendulum. Menteri-menteri di bidang polhukam sudah waktunya
menerjemahkan janji-janji politik Jokowi-JK dalam kebijakan dan regulasi.
Agenda kebijakan dalam pemberantasan korupsi, restorasi parpol dan pemilu,
pembenahan Polri, dan penegakan HAM perlu dapat prioritas tinggi. Sebagaimana
pada bidang ekonomi, publik perlu mendapat sinyal jelas bahwa ada kesungguhan
pemerintah menunaikan janji-janjinya di bidang polhukam. Tak realistis
berharap dapat menghasilkan kebijakan yang memuaskan semua pihak dan atau
dianggap ideal. Yang perlu diupayakan sungguh-sungguh: terpenuhinya kebijakan
terbaik kedua (second best). Bagaimanapun, politik tak pernah berlangsung di
ruang vakum. Yang dituntut publik saat ini sejatinya juga tak terlalu banyak:
terus berpendarnya harapan mewujudnya Indonesia yang lebih baik.
Parpol pendukung Jokowi perlu berkalkulasi dengan cermat.
Pengalaman Partai Demokrat yang suaranya anjlok sangat tajam dalam pemilu
legislatif lalu perlu jadi pembelajaran. Terlebih, parpol-parpol yang mendaku
diri sebagai oposisi kini juga kian trengginas. Belajar dari pengalaman
setelah pilpres, parpol-parpol kubu oposisi kini terlihat lebih ”pintar”
dalam bermain dan berbagi peran. Kubu oposisi tak sungkan justru mendukung
pemerintah ketika melihat publik sangat antusias mendukung kebijakan yang
akan digulirkan. Namun, mereka juga tak ragu memberi ruang nan lebar agar
pemerintah mengambil kebijakan yang bertentangan secara diametral dengan
keinginan publik. Akan menjadi ironi jika pemerintah yang kemudian justru
meragu dalam melangsungkan jalan perubahan yang dijanjikannya sendiri. Dan,
akan menjadi tragedi jika parpol pendukung Jokowi-JK yang justru menjadi penghadang terbesarnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar