Runtuhnya
Filsafat Politik
Syaiful Arif ; Penulis
|
KORAN
TEMPO, 12 Februari 2015
Dengan hadirnya Joko Widodo (Jokowi) di kancah politik nasional,
kita berbahagia karena nilai-nilai mulia yang diajarkan filsafat politik akan
terlaksana. Faktanya, tak semudah itu. Jokowi, yang bagaimanapun punya
keterbatasan, terlihat tak kuasa menghadapi arus besar politik Indonesia:
oligarki.
Tentu Jokowi tak pernah mengajarkan filsafat politik secara
teoretis. Ia bahkan bukan intelektual. Satu hal yang berbeda, misalnya,
dengan Presiden Abdurrahman Wahid, yang oleh Herbert Feith disebut a scholar president. Berbeda dengan
Wahid yang dilatari oleh karier intelektual, Jokowi hanya seorang bos mebel
yang karena jujur, merakyat, dan berintegritas bisa menjadi presiden.
Jokowi adalah pemimpin yang dididik oleh alam. Para cendekiawan
yang kemudian menteorikan moralitas politiknya menjadi falsafah politik
sendiri. Misalnya, blusukan kemudian menandai suatu demokrasi partisipatoris
yang mengoreksi elitisme demokrasi prosedural. Atau, sikap cekatan Jokowi
dalam menangani persoalan masyarakat membuahkan teknokrasi populis: sebuah
kepemimpinan berbasis kerja teknis, berlambar keberpihakan pada wong cilik.
Kartu Jakarta Sehat dan Pintar, yang kini diindonesiakan, mampu menghadirkan
negara di depan pintu orang miskin, dalam bentuk kesejahteraan.
Inilah yang memukau rakyat, terutama aktivis pro-demokrasi.
Sebab, hal-hal ideal yang selama ini mengawang di filsafat politik bisa
terbumikan. Kita kemudian bangga. Sebab, politik Indonesia akan membaik. Ia
akan bergeser dari oligarki partai dalam demokrasi manipulatif menuju
kepemimpinan populis berbasis kerja. Harapan ini dikuatkan oleh keikhlasan
Megawati memberikan "tiket kepresidenan" kepada Jokowi, dan kader
yang bukan ketua umum partai ini bisa menjadi presiden.
Ternyata, penyakitnya berada di sini. Sebab, akhirnya terdapat
dua penguasa: Jokowi Presiden RI dan Megawati Ketua Umum PDIP. Sebagai
petugas partai, sang presiden tetap harus manut kepada Ibu Ketum. Inilah
oligarki itu, yang ternyata tak terhapus oleh kepresidenan Jokowi. Maka,
oligarki partai berkelindan dengan oligarki di tubuh Kepolisian RI. Hasilnya,
kelumpuhan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Realitas kemudian
mencengangkan: di masa presiden yang didukung para filsuf ini, semua pimpinan
KPK dilaporkan ke polisi!
Inilah yang meruntuhkan harapan untuk kesekian kalinya, bahwa
kemuliaan politik yang diajarkan filsafat politik bisa terealisasi. Politik
ternyata memang bukan res publica (kebaikan bersama) layaknya sabda
Aristoteles. Politik juga bukan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat yang
terlindungi (daf'u dlaruri ma'shumin)
sebagaimana titah Al-Ghazali. Ada jurang lebar antara politik
"sebagaimana seharusnya" dan "apa yang ada".
Pertanyaannya, apakah terpilihnya Jokowi kemarin sebatas euforia
akibat bentukan media dan lembaga survei? Apakah meroketnya Jokowi terjadi
akibat kemiskinan bangsa ini akan tokoh politik yang bermoral? Dibutuhkan
keberanian, konsep, dan "jam terbang" dalam pengelolaan konflik
politik tingkat tinggi. Ini tidak bisa diselesaikan dengan blusukan atau
revolusi mental yang kini tak diwacanakan lagi. Tentu Jokowi orang baik.
Namun kebaikan tak ampuh bagi pembongkaran oligarki yang menjadi struktur
imanen politik negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar