Reformasi
Otentik Mahkamah Agung
Achmad Fauzi ; Hakim
Pengadilan Agama Tarakan, Kalimantan Utara
|
KOMPAS,
13 Februari 2015
KETUA Mahkamah Agung Hatta Ali dikukuhkan sebagai guru besar di
bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Sabtu
(31/1). Melalui laboratorium nalar berbasis keilmuan, eksperimentasinya
sebagai praktisi hukum dianggap berhasil menemukan pengetahuan eksplisit yang
bisa dikembangkan di perguruan tinggi (Kompas,
1/2).
Pengukuhan Hatta Ali sebagai guru besar ke-13 FH Unair memang
setimpal dengan kerja kerasnya selama ini yang banyak melakukan pembaruan di
tubuh MA. Meski capaian menggembirakan itu jauh dari hiruk pikuk pemberitaan
media, di bawah kepemimpinan Hatta Ali problem klasik, seperti tunggakan
perkara dan budaya ketertutupan, mulai terpecahkan.
Penumpukan perkara di MA sejak dulu selalu jadi sorotan karena
belum ada solusi yang komprehensif. Grafik produktivitas penyelesaian perkara
nyaris tidak mengalami perubahan signifikan. Akibatnya, masyarakat pencari
keadilan dirugikan karena perkaranya berlarut-larut.
Tahun 2007, tumpukan perkara berjumlah 12.025. Tahun 2008, turun
menjadi 10.827, tahun 2009 perkara tersisa 8.280 dan naik kembali pada 2010
menjadi 8.424. Tahun 2011, tumpukan perkara berjumlah 8.563 dan melambung
naik pada 2012 menjadi 10.112 perkara.
Selama menakhodai MA, Hatta Ali berhasil menggapai puncak
percepatan penyelesaian perkara. Jika pada 2013 perkara berhasil dikikis
hingga 6.415, tahun 2014 hanya menyisakan sebanyak 4.515 perkara. Jumlah sisa
ini tergolong paling rendah dalam sejarah MA (Kompas, 7/1).
Kebijakan
Keberhasilan mengikis tunggakan perkara terkait beberapa
kebijakan yang diterapkan. Pertama, membatasi hakim agung berkunjung ke luar
negeri. Bepergian ke luar negeri tanpa kepentingan yang tepat dan mendesak
sangat mengganggu proses penyelesaian perkara. Hakim agung juga dilarang
mengajar di perguruan tinggi pada jam kerja agar lebih fokus pada perkara
yang ditangani.
Apalagi, saat ini gaji hakim agung sangat memadai, Rp 72 juta
per bulan. Kenaikan gaji tersebut merupakan bentuk penghargaan negara
terhadap jabatan hakim agung yang notabene memiliki tanggung jawab besar
sebagai penjaga terakhir penegakan hukum. Hakim agung harus menangani ribuan
perkara kasasi dan PK dari empat badan peradilan di bawahnya.
Kedua, ketua MA memberikan penghargaan kepada hakim agung yang
memiliki rasio produktivitas tinggi dalam penyelesaian perkara.
Pemberian reward tersebut memacu hakim agung lain meningkatkan
kinerjanya. Penerapan penghargaan merupakan kebutuhan dalam manajemen
organisasi, di samping punishment atau sanksi yang menjerakan.
Selain problem tunggakan perkara di atas, budaya ketertutupan di
lembaga peradilan saat ini terus diperangi. Ketertutupan berkorelasi erat
dengan mafia peradilan. Ketertutupan membuat hakim diadili saat mengadili.
Untuk menunjang keterbukaan informasi, hingga 2 Januari 2015 MA telah
memublikasikan putusan dalam direktori putusan sejumlah 1.160.024.
Tantangan menganga
Namun, MA masih menghadapi persoalan. Pelanggaran disiplin dan
kode etik hakim masih marak. Merujuk kepada data hukuman disiplin yang
dirilis Badan Pengawasan MA selama periode Oktober-Desember 2014, terdapat 11
hakim dijatuhi sanksi. Asumsinya, 6 hakim dijatuhi hukuman nonpalu dengan
konsekuensi tunjangan jabatan tidak dibayarkan dan selebihnya teguran lisan.
Sejatinya, jaminan kesejahteraan hakim oleh negara bertujuan
meningkatkan profesionalitas. Dengan demikian, hakim tak lagi memikirkan
”perut” ketika mengadili suatu perkara.
Seharusnya peningkatan kesejahteraan hakim berdampak dalam
konteks pemberantasan mafia peradilan, peningkatan performa dari segi
integritas ataupun kualitas, termasuk dalam perilaku dan putusan-putusannya.
Karena itu, MA dan Komisi Yudisial harus mendesain ulang upaya preventif dan
pola pengawasan hakim untuk meminimalkan pelanggaran kode etik.
Masalahnya saat ini KY cenderung ”overlapping” dalam menjaga kehormatan dan martabat hakim. Hakim
yang dilaporkan dan belum dinyatakan bersalah dalam sidang majelis etik sudah
diekspos ke media seolah-olah sudah bersalah. Padahal, jika laporan tidak
terbukti, nama baik sangat sulit dipulihkan.
Sebagai contoh, hakim yang menyidangkan gugatan praperadilan
yang diajukan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. KY sah-sah saja mengingatkan
agar hakim yang bersangkutan tidak berpolitik dalam kasus itu.
Namun, pernyataan bahwa ia berkali-kali dilaporkan atas dugaan
menerima suap justru menjadi stigma miring yang meruntuhkan nama baik
terlapor. Perlu diingat, tidak semua laporan mengandung kebenaran dan masih
membutuhkan verifikasi lebih dalam.
Independensi
Saat ini independensi hakim juga kerap terusik. Ketua MA dalam
pidato pengukuhan menyatakan keberhasilan proses reformasi peradilan tidak
terlepas dari keterlibatan akademisi, masyarakat madani, praktisi, dan
termasuk keterlibatan para pemangku kepentingan.
Pernyataan tersebut menyiratkan bahwa independensi peradilan
harus dijaga bersama karena kebebasan pengadilan adalah prasyarat negara
hukum yang dijamin oleh negara dan konstitusi.
Namun, agar tetap pada jalur yang benar, konsep independensi
peradilan harus diimbangi dengan pertanggungjawaban peradilan (judicial accountability), termasuk di
dalamnya peningkatan integritas hakim dan transparansi peradilan yang dibangun
di atas prinsip harmonisasi antara tanggung jawab hukum (legal responsibility) dan tanggung jawab kemasyarakatan (social responsibility). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar