Putusan
Hakim Sarpin yang Mencerahkan
Romli Atmasasmita ; Guru Besar (Emeritus)
Hukum Pidana
|
KORAN
SINDO, 23 Februari 2015
Putusan praperadilan yang dipimpin hakim Sarpin Rizaldi,
seorang hakim senior dengan golongan pangkat IV/D, telah mengundang
prokontra.
Penulis yang memberikan keterangan ahli dari pihak Budi
Gunawan dan Divisi Hukum Mabes Polri serta secara
langsung mengalami dan melihat sosok hakim senior Sarpin dapat
mengatakan kepada publik bahwa ia sosok hakim yang berani, tegas, dan mumpuni
dari sisi ilmu hukum.
Bahkan dalam beberapa kesempatan tanya jawab, hakim Sarpin
ikut membantu kuasa hukum Budi Gunawan dan KPK untuk memperbaiki
pertanyaannya sehingga pertanyaan hanya meminta pendapat ahli, bukan
penilaian ahli terhadap fakta kasus yang dituduhkan kepada Budi Gunawan.
Berbeda dengan mantan hakim agung RI yang juga kolega
senior dari hakim Sarpin, penulis mengapresiasi hakim Sarpin karena dari
pengalamannya sebagai hakim senior dan dalam pertimbangannya menunjukkan
bahwa yang bersangkutan memahami betul hakikat lembaga praperadilan dalam
konteks sistem peradilan pidana terpadu berdasarkan UU RI Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana. Hakikat ini tidak banyak orang, sekalipun ahli
hukum pidana, memahami dengan sungguhsungguh dan baik.
Para ahli hukum pidana dan pengamat nonhukum mengkritik
keyakinan hakim Sarpin. Padahal keyakinan tersebut dilindungi UU RI Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 3 ayat (2) yang
menegaskan bahwa “segala campur tangan
dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman DILARANG
(huruf besar, pen), kecuali dalam halhal sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945”; bahkan terdapat ancaman pidana
terhadap siapa saja (ayat 3).
Semua warga negara Indonesia seharusnya menjunjung tinggi
kedaulatan hakim di dalam memeriksa dan memutus suatu perkara; tidak malah
mem-bully setiap hakim yang
memeriksa dan memutus perkara tipikor jauh sebelum hakim bersidang. Kebiasaan
buruk dan tidak terpuji yang selalu dilakukan LSM antikorupsi ini seharusnya
tidak perlu terjadi di dalam demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD
1945 bukan konstitusi AS atau Inggris!
Begitu pula tokoh-tokoh masyarakat yang latah mencampuri
kekuasaan kehakiman dengan menyampaikan opini kepada publik tanpa yang
bersangkutan memiliki pengetahuan hukum sedikit pun kecuali hanya “katanya” (testimonium de auditu).
Pengamatan saya selaku ahli terhadap sikap pengamat, tokoh
masyarakat, dan ahli hukum yang tidak memiliki kompetensi hukum pidana
memprihatinkan ketika mereka mengatakan “apa pun yang diputuskan hakim harus
kita hormati”, tetapi dalam kenyataannya mereka menjadi munafik ketika
putusan hakim tidak sesuai dengan kehendak hatinya dan berlomba-lomba
mengkritik keyakinan hakim seperti terjadi pada hakim senior Sarpin.
Dalam konteks inilah penulis sangat mengapresiasi sikap
dan keyakinan hakim Sarpin yang dengan tegar dan cerdas memutus permohonan
praperadilan Budi Gunawan tanpa ada rasa takut dan ragu-ragu dan dipersiapkan
dengan baik. Jika membaca petikan putusan hakim Sarpin, penulis melihat bahwa
pertimbangan putusannya telah sejalan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU
Kekuasaan Kehakiman.
Aturan tersebut memerintahkan hakim dan hakim konstitusi
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan
yang hidup dalam masyarakat. Nilai-nilai hukum dan rasa keadilan masyarakat dimaksud
adalah sejalan dengan perkembangan HAM Internasional dan UU RI Nomor 39 Tahun
1999 tentang HAM dan hakikat perlindungan HAM yang tecermin dari ketentuan
Bab XA UUD 1945 tentang HAM.
Pascaratifikasi Konvenan Internasional tentang Hak
Ekonomi, Hak Sosial dan Hak Politik, dengan UU RI Nomor 12 Tahun 2005,
seharusnya setiap bentuk tindakan aparatur negara termasuk penyidik dan
penuntut yang diduga telah melanggar hak-hak asasi tersebut dapat dimintakan
perlindungan kepada lembaga praperadilan.
Kesempatan tersebut tidak terbatas pada alasan-alasan apa
yang telah ditentukan secara limitatif di dalam Pasal 77 KUHAP dengan dasar
perkembangan kebutuhan perlindungan HAM setiap orang terlepas dari latar
belakang etnis, sosial, ekonomi dan kedudukannya dalam masyarakat dari
penyalahgunaan wewenang oleh aparatur hukum.
Menurut Remmelink (2003), setelah lahirnya Konvensi Uni
Eropa tentang HAM, Pasal 1 KUHAP Belanda, yang menyatakan bahwa hukum acara
pidana yang berlaku adalah hukum acara yang ditentukan dalam undang-undang
ini (KUHAP), tidak lagi bersifat mutlak.
Contoh, proses perolehan bukti perkara pidana merupakan
persoalan serius; tidak lagi hanya cukup bahwa telah ada bukti permulaan yang
cukup. Begitu pula dalam konteks penetapan sebagai tersangka, tidak cukup
hanya keabsahan proses administrasi semata, melainkan harus diuji keabsahan
perolehan bukti permulaan yang cukup sehingga seseorang ditetapkan menjadi
tersangka.
Putusan hakim Sarpin merupakan peringatan terhadap setiap
aparatur penegak hukum, tidak terbatas pada KPK, untuk bertindak hati-hati
dan tidak menyalahgunakan wewenang. Putusan hakim Sarpin menurut penulis
merupakan putusan yang monumental (landmark
decision) yang membuka ruang bagi setiap orang di dalam wilayah hukum
NKRI untuk mempersoalkan pelanggaran HAM dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Secara teoretik, pertimbangan hakim Sarpin dalam
putusannya merupakan penemuan hukum (rechtsvinding)
dan telah sejalan dengan hukum sebagai sistem norms and logic yang dapat membawa pencerahan kepada masyarakat
(Mochtar Kusumaatmadja), hukum tentang perilaku (alm Satjipto Rahardjo), dan hukum sebagai sistem nilai (Romli Atmasasmita). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar