Pusingnya
Urus Air di DKI Jakarta
Agus Pambagio ; Pemerhati Kebijakan Publik dan
Perlindungan Konsumen
|
DETIKNEWS,
09 Februari 2015
Pada tanggal 15 Oktober 2012 pasangan Gubernur DKI
Jakarta, Joko Widodo dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), resmi dilantik
menjadi Gubernur DKI Jakarta. Berbagai gebrakan dilakukan tetapi tidak semua
bisa berjalan dengan baik karena kebijakannya melibatkan Pemerintah Daerah
lain dan atau Pemerintah Pusat, contohnya pelayanan transportasi umum dan air
minum/bersih.
Kedua pelayanan umum tersebut merupakan dua jenis
pelayanan publik yang saat ini sangat diperlukan warga Jakarta dan belum
dapat dibereskan oleh Gubernur DKI Jakarta dan pasangannya, meskipun sudah
berganti pejabatnya, bukan lagi Jokowi-Ahok tetapi Ahok-Djarot.
Kali ini kita hanya membahas masalah air minum/bersih. Air
minum/bersih yang pada awalnya dikelola oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM), sekarang bernama PAM Jaya, pada akhir tahun 90 an (masih di era Orde
Baru) diserahkan kepada 2 operator air asing kelas dunia untuk memperbaiki
pelayanan air minum/bersih di Jakarta. Selain air minum/bersih, air tanah
juga bermasalah di DKI Jakarta.
Berhubung kerjasama antara kedua operator swasta dengan
PAM Jaya ini cacat sejak lahir serta persoalan air baku semakin kritis, maka
perjalanan kedua operator swasta kelas dunia ini tidak mulus dalam penyediaan
air minum/bersih untuk warga Jakarta. Akhirnya kedua operator tersebut selalu
menjadi bulan-bulanan publik dan Pemprov DKI Jakarta hingga saat ini .
Kondisi pelayanan air minum/bersih yang buruk sejak
puluhan tahun lalu, membuat sebagian besar masyarakat DKI Jakarta (rumah
tangga, bisnis dan industri) mengeksploitasi air tanah secara membabi buta
tanpa bisa di cegah oleh Pemprov DKI Jakarta, padahal peraturan perundang
undangannya, baik di tingkat pusat maupun Pemprov DKI, cukup lengkap.
Jadi jangan heran kalau warga DKI Jakarta akan terus
mengeksploitasi air tanah, jika pelayanan air minum/bersih tak kunjung
memenuhi harapan warga DKI Jakarta. Mereka tidak peduli permukaan air tanah
Jakarta semakin turun dan air laut merembes semakin jauh ke kawasan pusat
kota. Yang penting kebutuhan air minum/bersih terpenuhi. Apa tindakan atau
langkah Pemprov DKI Jakarta menghadapi persoalan ini ? Mari kita diskusikan singkat
berikut ini.
Persoalan Mendasar
Sejauh ini publik
yang mengeksploitasi air tanah secara membabi buta dan gratis, tidak hanya
kalangan rumah tangga tetapi juga kalangan bisnis (hotel, mal, rumah sakit,
perkantoran dsb) serta industri tanpa Negara atau Pemerintah Provinsi
mendapatkan penghasilan dari eksploitasi air tanah ini. Sementara Negara
harus menanggung kerusakan lingkungannya.
Secara hukum persoalan air tanah sudah lengkap diatur,
antara lain: UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, Peraturan
Pemerintah No. 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Peraturan Presiden No. 33
Tahun 2011 Tentang Kebijakan Nasional Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan
Menteri ESDM No. 15 Tahun 2012 Tentang Penghematan Penggunaan Air Tanah dan
sebagainya.
Pemprov DKI Jakarta sendiri juga sudah cukup mempunyai
aturan yang terkait dengan penggunaan dan pengambilan air tanah, antara lain:
Peraturan Daerah (Perda) Provinsi DKI Ibu Kota Jakarta No. 17 Tahun 2010
tentang Pajak Air Tanah serta Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 86 Tahun
2012 Tentang Nilai Perolehan Air Tanah Sebagai Pengenaan Pajak Air Tanah.
Jadi baik secara nasional maupun kota, persoalan air tanah
sudah diatur dengan baik, namun kenyataannya Pemerintah Propinsi DKI Jakarta
tidak sanggup melaksanakan perintah perundang undangan yang mereka buat
sendiri terkait dengan eksploitasi air tanah. Jadi pelaksanaan atau sanksi
hukumnya masih nol besar.
Eksploitasi air tanah tidak bisa dikontrol atau dihentikan
oleh Pemprov DKI Jakarta jika pelayanan air minum/bersih belum mencakup
seluruh wilayah DKI Jakarta. Pelayanan air minum/bersih belum bisa optimal
ketika ketersediaan air baku tersendat (dari sisi volume dan kualitas) dan
pencurian air melalui pipa (non revenue water masih sekitar 50%) belum bisa
diberantas oleh Pemprov DKI Jakarta bersama aparat Kepolisian.
Bagaimana bisa aparat Kepolisian bersama Pemprov DKI
Jakarta bertekuk lutut pada 'Preman atau Mafia Air Minum'? Bagaimana bisa
pencurian air yang dilakukan secara terang-terangan didepan mata telanjang kita
tidak bisa diberantas oleh Gubernur dan Kapolda? Bagaimana bisa tanggungjawab
penanggulangan pencurian air ini dibebankan pada 2 operator air swasta dan
PAM Jaya yang tidak punya 'pistol'? Persoalan ini harus bisa dijawab oleh
Gubernur terlebih dahulu.
Air bisa menjadi penyebab perang saudara di manapun ketika
air minum/bersih menjadi langka. Sayangnya untuk wilayah DKI Jakarta, meski
sudah berganti Gubernur puluhan kali, tetap saja air disepelekan. Termasuk
oleh Gubernur Ahok. Akibatnya muncul gugatan publik atau Citizen Law Suit
(CLS) yang dikoordinasikan oleh teman-teman LSM. Meskipun CLS baik, tetapi
saya jamin tidak akan memperbaiki kondisi air minum/bersih di Jakarta karena
di CLS tidak menyinggung 2 hal penting, yaitu kebocoran air minum/bersih dan
ketersediaan air baku.
Langkah yang Harus Diambil
Gubernur
Pastikan aparat Pemprov DKI Jakarta yang berwenang bersama
POLRI memberantas seluruh pencurian air minum/bersih yang selama ini
berlangsung tanpa pandang bulu siapa yang mencuri, supaya NRW tidak lebih
dari 10%. Siapapun operator air minum/bersih di DKI Jakarta (baik PAM Jaya
maupun swasta) akan mengalami permasalahan yang sama jika kedua hal tersebut
diatas masih terus berlangsung.
Gubernur DKI Jakarta harus segera memastikan asal sumber
air baku untuk seluruh wilayah DKI Jakarta, termasuk infrastruktur untuk
membawanya sampai ke unit pengolahan air minum/bersih milik operator yang ada
di Jakarta (misalnya Pejompongan dan Buaran). Jangan hanya marah-marah tidak
'puguh' (jelas) dan berwacana saja.
Jika masalah air minum/bersih belum selesai ditanggulangi,
jangan pernah bermimpi warga DKI Jakarta akan berhenti mengambil air tanah.
Warga perlu air untuk hidup. Begitupula dengan dunia usaha dan industri.
Semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan air tanah, termasuk
pengenaan denda, tidak akan bisa efektif diterapkann ketika persoalan air
minum/bersih belum selesai.
Sebagai penutup, koordinasi antar Pemerintah Daerah
se-Jabodetabek dan Pemerintah Pusat harus baik terkait dengan infrastruktur
sumber daya air, termasuk sumber air baku harus baik. Sebelum hal itu beres
jangan harap Pemprov bisa mengontrol eksploitasi air tanah. Gubernur DKI
Jakarta sekarang harus segera action karena yang berwacana dan berpikir sudah
dilakukan oleh beberapa Gubernur sebelumnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar