Praduga
Tak Bersalah
Andang L Binawan ; Pengajar
Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
|
KOMPAS,
18 Februari 2015
Dalam polemik hukum, khususnya perkara pidana, asas
praduga tak bersalah (presumption of
innocence) dan praduga bersalah (presumption
of guilt) sering diperdebatkan, seolah keduanya berseberangan. Akan
tetapi, jika memahami jiwanya, salah paham itu bisa dihindarkan.
Keduanya saling melengkapi karena terkait dengan subyek
yang berbeda.
Hukum dibuat untuk keadilan dan ketertiban. Terkait dengan
keadilan, seorang individu, khususnya yang lemah, membutuhkan perlindungan
eksternal berupa hukum, agar tidak dilindas individu lain yang lebih kuat.
Dengan hukum, masyarakat dihindarkan dari hukum rimba.
Dalam hal ini, patut dicatat bahwa yang dimaksud dengan
”individu yang lebih kuat” tidak hanya orang perorangan. Bisa juga badan
hukum, seperti korporasi. Termasuk di dalamnya juga negara. Tujuannya jelas
agar badan hukum yang kuat dan atau negara tidak sewenang-wenang.
Terkait dengan ketertiban, hukum selalu bersifat sosial.
Hukum dibuat agar dalam masyarakat ada kepastian sehingga ada ketertiban.
Jadi, setiap warga mempunyai jalur teratur. Hukum proses atau hukum acara
adalah salah satu wujudnya.
Fungsional
Terkait dengan manusianya, sangat jelas bahwa hukum
bersifat fungsional. Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Di lain
pihak, hukum mengandaikan bahwa memang ada individu yang lebih kuat dari yang
lain. Karena pada dasarnya individu bersifat egosentris, dibutuhkan pagar
eksternal agar tidak mengorbankan orang lain.
Pengandaian itu tecermin kuat dalam istilah Lord Acton
yang sangat terkenal, ”Power tends to
corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Sampai hari ini, tidak
ada yang menyanggah pengandaian ini. Karena itu pula, hukum perlu dalam
masyarakat.
Pihak yang kuat termasuk juga negara. Dalam sejarah,
kesewenangan negara dengan memakai hukum banyak terjadi. Contohnya Hitler.
Maka, lahirlah hukum berlandaskan hak-hak asasi manusia. Sekali lagi, hukum
dibuat untuk melindungi yang lemah dari kesewenangan yang kuat.
Dengan beberapa pengandaian yang bisa dijadikan premis di
atas, sangatlah jelas mengapa ada asas praduga tak bersalah di dalam hukum.
Asas ini biasanya dilekatkan dengan asas persamaan di depan hukum. Inti dari
asas ini adalah perlindungan individu terhadap kesewenangan negara karena
negaralah yang memegang kewenangan hukum, termasuk aparatnya, seperti polisi,
jaksa, dan juga hakim.
Hanya, perlu diingat, yang dimaksudkan dengan individu di
sini adalah bagian rakyat kebanyakan. Artinya, individu ini diandaikan tidak
mempunyai kekuasaan dan harus berhadap-hadapan dengan institusi negara.
Keadilan yang mau dicapai adalah keadilan yang lebih
bersifat personal. Hal ini sangat terkait dengan kesadaran akan harkat dan
martabat setiap individu yang makin dihormati oleh masyarakat modern.
Praduga tidak bersalah sebenarnya tidak serta-merta
menafikan praduga bersalah karena praduga bersalah mempunyai pengandaian yang
berbeda.
Praduga bersalah
Dalam logika sederhana tentang tujuan hukum, praduga
bersalah biasanya diterapkan ketika seorang tersangka adalah bagian dari
institusi negara. Artinya, individu tersangka itu adalah aparat negara
berkuasa di bidang hukum. Artinya asas ini diterapkan ketika tidak cukup
tampak kepentingan berseberangan antara individu dengan negara.
Sebenarnya, yang juga diandaikan bahwa setiap pemegang
kekuasaan dalam sebuah negara adalah individu yang ”lebih” baik. Segala macam
persyaratan dan seleksi adalah upaya mendapatkan individu yang baik. Hanya,
tidak bisa diingkari, godaan kekuasaan tetap melekat.
Hal itu dilandasi pengandaian antropologis jelas.
Kata-kata Lord Acton hanya menegaskan bahwa setiap pemegang kekuasaan patut
dicurigai melakukan ”korupsi”. Bukan hanya korupsi secara ekonomis, melainkan
juga penyalahgunaan kekuasaan dalam banyak bentuk. Maka, harus ada
perlindungan kuat agar penyalahgunaan ini diminimalkan.
Tentu, tidak setiap kecurigaan layak dijadikan tuduhan.
Demi keadilan, perlu ada prosedur. Selain itu, dalam tradisi hukum, pengajuan
jadi tersangka juga harus mengikuti undang-undang.
Pasal 17 KUHAP mengatur: ”Perintah penangkapan dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras
melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Pasal itu bisa dilihat dengan asas praduga bersalah asal
pelakunya aparat negara. Alasannya, aparat negara bukan rakyat biasa, yang
seharusnya lebih baik, tetapi setiap kekuasaan berpotensi besar
penyalahgunaan!
Bisa disimpulkan pula suatu konsekuensi moral: jika
bersedia menjadi pejabat publik, dicurigai atau bahkan diduga bersalah adalah
risiko intrinsik! Kalau merasa tidak bersalah, buktikan secara hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar