Politik
Kusut Masai
Ahmad Syafii Maarif ; Mantan
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
|
KOMPAS,
17 Februari 2015
Ada istilah yang tepat dan menarik untuk menggambarkan
peta politik Indonesia empat minggu terakhir: kusut masai. Ibarat rambut atau benang kusut sudah tidak jelas
lagi ujung pangkalnya. Semuanya mengalir, tetapi entah ke mana arahnya.
Semuanya berproses, tetapi di mana episentrum penggerak utamanya, publik
hanya bisa meraba.
Istana dan Teuku Umar kabarnya seperti dua kutub yang saling
menjauh. Pesan saya kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno: kedua
episentrum itu jangan sampai pecah kongsi, demi ketenangan panggung politik
nasional.
Jawaban yang saya terima: ”Njih Prof Amin YRA [Ya Rabba l’Alamin]”. Menteri yang satu ini
memang pontang-panting mendampingi Presiden sambil memberi masukan dan
saran-saran penting kepada RI 1 itu. Sebagai seorang ilmuwan, Mensesneg yang
mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memang baru memasuki dunia politik
kenegaraan yang kebetulan sedang gaduh dan ingar-bingar. Kadang-kadang asam
lambungnya menjadi kambuh, katanya, suatu ketika.
Ingar-bingar politik
Jika tahun 2014, ingar-bingar politik bertalian dengan
pemilu: pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, tetapi bisa diselesaikan
melalui Mahkamah Konstitusi untuk kasus pilpres.
Kegaduhan politik awal 2015 ini sebenarnya berskala jauh
lebih sempit: pengusulan Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) melalui
pertimbangan DPR oleh Presiden sebagai calon Kepala Polri. Setelah mulus
melalui Komisi III DPR, sidang DPR paripurna pun tinggal melempangkan saja
jalan bagi BG untuk dilantik menjadi Kapolri. Kendalanya adalah karena BG
sebelum dibicarakan di DPR sudah dijadikan tersangka oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus korupsi dan gratifikasi. Fenomena
rekening gendut di kalangan kepolisian sudah lama diketahui umum, tetapi
tidak pernah dibongkar secara tuntas, bahkan dibiarkan tetap mengambang dalam
ingatan kolektif rakyat Indonesia.
Ini adalah sebuah siksaan bagi rasa keadilan publik. Pihak
yang punya rekening tidak wajar itu akan menjadi sangat mulia dan terhormat
jika berterus terang kepada negara dengan menyerahkan harta haram itu dan
menyisihkannya buat kepentingan dua keturunan dengan persetujuan negara. Jika
itu yang berlaku, polisi Indonesia akan dipuja oleh manusia sejagat.
Entah mengapa, DPR tidak menghitung dengan cermat masalah
calon sebagai tersangka ini, atau memang disengaja agar prahara politik
menjadi semakin riuh. Dalam kaitan ini, ada ungkapan seorang jenderal Angkatan
Darat yang disampaikan kepada saya tentang mentalitas ikan lele: ”Semakin keruh air, semakin lahap ikan
lele itu berebut makanan.” Saya khawatir mentalitas ikan lele ini sedang
memerkosa demokrasi Indonesia yang nyaris sunyi dari kehadiran para
negarawan.
Dalam keriuhan itu, sepintas lalu publik dipertontonkan
bahwa antara Koalisi Merah Putih dan Koalisi Indonesia Hebat sudah mesra,
mesranya politisi. Akan tahan berapa lama? Orang yang sedikit melek politik
sudah paham bahwa kemesraan politisi itu boleh jadi berkait berkelindan
dengan masalah kekuasaan dan bagi-bagi lahan pada sejumlah kementerian dan
BUMN.
Sudah lama menjadi rahasia umum, semua partai politik
sangat bergantung kepada pundi-pundi negara untuk membiayai kegiatan politik
mereka, terutama saat menghadapi pemilu dengan segala jenis dan tingkatnya.
Biaya pemilu di Indonesia sangatlah tinggi, baik yang bersumber dari keuangan
negara maupun yang berasal dari pribadi politisi yang berkongkalikong dengan
pengusaha yang cerdik dan licik. Cara berpolitik yang tidak sehat dan kumuh
ini semakin merunyamkan proses cara kita bernegara di bawah naungan
Pancasila.
Polri vs KPK
Kontroversi
pengajuan BG sebagai calon Kapolri telah memicu eskalasi politik yang semakin
liar dan ganas, padahal masalahnya tidaklah besar amat jika di kalangan elite
Polri sendiri tidak berlaku intrik internal yang saling mengintai dan saling
menyikut. Seorang
jenderal polisi aktif mengatakan kepada saya, di kalangan elite Polri sudah
terjadi suasana berebut posisi tinggi yang serba terbatas itu. Bahkan,
seorang dengan pangkat komisaris jenderal dituduh berkhianat oleh koleganya
sendiri tanpa menjelaskan di mana letak lokasi pengkhianatan itu.
Dengan demikian, elite Polri sendiri sudah retak menanti pecah
jika tidak segera dilantik Kapolri baru yang mampu memulihkan kewibawaan
Polri yang sedang mengalami proses demoralisasi parah itu.
Dengan dicopotnya Jenderal Sutarman sebagai Kepala Polri
tanpa alasan yang jelas dengan melimpahkan wewenang terbatas kepada Wakil
Kepala Polri Komisaris Jenderal Badrodin Haiti sebagai pelaksana tugas, dari sumber
perwira menengah Polri, saya diberi tahu bahwa di lapangan tugas polisi
sendiri seperti telah kehilangan induk. Mereka serba bingung, tidak tahu lagi
siapa sebenarnya yang memimpin Polri. Haiti sendiri tidak mampu berbuat
banyak dalam posisinya sebagai Wakapolri.
Kepada seorang komisaris jenderal senior pada Kamis, 5
Februari, pukul 14.43, saya mengirim SMS yang bunyinya: ”Jenderal, mohon berbuat maksimal: menyelamatkan Polri, menyelamatkan
KPK, dan muaranya menyelamatkan masa depan bangsa ini.” Sekitar dua menit
kemudian datanglah jawaban: ”Siap Prof, kita upaya terus. Semua tergantung Bp RI 1
dan parpol pendukung.” Ungkapan ”dan parpol pendukung” jelas
menunjukkan bahwa betapa jauhnya cengkeraman kuku parpol dalam menentukan
pimpinan kepolisian, sementara RI 1 yang bukan pimpinan parpol menjadi terjepit
dan tersandera.
Adapun KPK yang telah menetapkan BG sebagai tersangka
menuai perlawanan sengit dari pihak kepolisian, pengikut BG, dipimpin oleh
Kabareskrim Irjen (yang kemudian naik pangkat menjadi Komjen) Budi Waseso.
Maka, mulailah berlaku pembumihangusan atas KPK. Bambang Widjojanto (BW),
komisioner sayap elang KPK, ditangkap dan diborgol seperti seorang teroris.
Pimpinan lain menyusul satu per satu. Dari sisi mana pun orang menilai, cara
penangkapan terhadap seorang pejabat negara penting, seperti BW bagi saya
adalah sebuah kebiadaban, mengkhianati sila kedua Pancasila: Kemanusiaan yang
adil dan beradab.
Solusinya sederhana
Karena
masalahnya tidak rumit amat, solusinya sederhana saja, yaitu agar Presiden
dengan nyali seekor elang rajawali segera memilih dan mengusulkan Kapolri
baru yang dalam rekam jejaknya hanya terdapat sedikit bintik hitam. Kapolri
baru itu wajib menghentikan seluruh proses kriminalisasi terhadap KPK yang
berlangsung demikian sistematis pada minggu-minggu terakhir ini.
Saya percaya RI 1 sudah sangat paham tentang apa yang
harus segera dilakukannya. Setidak-tidaknya sebagian dari kusut masai politik
Indonesia dengan demikian akan terurai dengan sendirinya. Viva Presiden Indonesia! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar