Pers
dan Gerakan Penyelamatan KPK
Agus Sudibyo ; Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
|
KOMPAS,
09 Februari 2015
Peristiwa penangkapan komisioner KPK, Bambang Widjojanto,
oleh polisi pada Januari lalu melahirkan situasi baru dalam kehidupan pers
Indonesia. Sebelum peristiwa ini, para pengamat masih berasumsi pers
Indonesia terbelah jadi dua kelompok:
mendukung pemerintahan Presiden Jokowi dan menentangnya. Namun, begitu kasus
penangkapan Bambang Widjojanto meledak, pers menunjukkan kecenderungan sama:
bersikap kritis terhadap Jokowi.
Mayoritas media mempertanyakan inkonsistensi Presiden
dalam proses pergantian Kepala Polri dan independensi Presiden terhadap
kelompok politik yang mendukung dirinya. Mayoritas media menuntut kesigapan
Presiden dalam menyelamatkan KPK secara kelembagaan. Tanpa terkecuali, hal
ini juga terjadi pada media-media yang sebelumnya dianggap bersimpati kepada
Presiden Jokowi.
Sisi baik
Kasus kriminalisasi atas komisioner KPK seakan telah
”mempersatukan” pers Indonesia. Dikotomi antara pers yang pro dan kontra
terhadap pemerintahan Jokowi untuk sementara kurang relevan. Tiba-tiba saja
Presiden Jokowi tidak lagi menempati posisi sebagai media darling karena
begitu banyak pemberitaan bernada sumbang tentang dirinya.
Boleh dikata, kita sedang menyaksikan sisi baik dari
kemerdekaan pers. Simpati dan pembelaan banyak media terhadap pencalonan
Jokowi sebagai presiden tahun lalu tak jadi halangan bagi mereka bersikap
kritis terhadap yang bersangkutan jika situasi politik memaksa demikian.
Dalam kasus kriminalisasi komisioner KPK, tak ada
fanatisme buta terhadap seorang pemimpin. Yang ada adalah keberpihakan yang
beralasan dan kritis. Maka, bisa saja seorang presiden yang telah lama
menjadi media darling tiba-tiba menjadi sasaran sinisme pers karena dianggap
mengecewakan masyarakat.
Tentu ini perkembangan yang menggembirakan. Suksesi
kepemimpinan nasional tahun 2014 telah membuat citra pers nasional terpuruk.
Pers secara umum dianggap bagian dari sumber masalah dalam pemilu. Banyak
media secara terang-terangan memperagakan sikap partisan dan memosisikan
sebagai bagian dari tim pemenangan pemilu. Media kehilangan karakter sebagai
institusi sosial dan larut jadi sarana pengejaran kepentingan pribadi atau
kelompok.
Dalam konteks inilah, kasus ”Cicak vs Buaya” jilid kedua
memberikan kesempatan bagi pers untuk merehabilitasi citra diri di hadapan
khalayak. Yang dibutuhkan kemudian adalah konsistensi dan kontinuitas.
Keberpihakan pers terhadap KPK semakin berharga karena
pengalaman menunjukkan, hanya pers dan masyarakat sipil yang memiliki
militansi untuk menyelamatkan KPK. Kita dapat melihatnya sejak konflik ”Cicak
vs Buaya” jilid pertama tahun 2009. Saat itu, secara diametral KPK juga
sedang berhadap-hadapan dengan Polri. Upaya KPK mengungkap ”rekening gendut”
para perwira Polri memicu reaksi perlawanan. Dua anggota KPK, Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, ditetapkan sebagai
tersangka kasus pemerasan dan penyalahgunaan wewenang dan sebulan kemudian
ditahan.
Pers dan masyarakat sipil
Pemerintah terlihat gamang dalam bersikap. Pemerintah
tampaknya juga gerah dengan sepak terjang KPK memidanakan para pejabat
pemerintah dalam berbagai kasus korupsi. Istana Negara menunjukkan gelagat
untuk setidak-tidaknya membiarkan pelemahan KPK. Di sisi lain, banyaknya
anggota DPR yang menjadi sasaran penindakan KPK menimbulkan hambatan
politis-psikologis bagi DPR untuk berempati pada nasib KPK.
Posisi KPK saat itu secara politik sangat terjepit.
Praktis tinggal dua komisioner KPK yang bisa bekerja. Dalam situasi yang
demikian, sangat jelas pembelaan terhadap KPK mulanya hanya datang dari
komunitas pers dan masyarakat sipil. Masyarakat sipil terus-menerus melakukan
aksi solidaritas dalam berbagai bentuk. Media massa tanpa henti membangun opini
publik yang menuntut pemerintah menghentikan upaya pelemahan KPK.
Kuatnya dukungan publik terhadap KPK kemudian memaksa
Presiden SBY mengambil sikap. November 2009, SBY memerintahkan Kejaksaan
Agung menyelesaikan kasus ”Cicak vs Buaya” di luar pengadilan.
Situasi yang lebih kurang sama tercipta dalam kasus ”Cicak
vs Buaya” jilid kedua. Kesungguhan untuk menyelamatkan kelembagaan KPK sekali
lagi hanya ditunjukkan komunitas pers dan masyarakat sipil. Partai politik
dan para tokoh di belakang layar sama-sama melihat konflik KPK versus Polri
dari sisi kepentingan partikular masing-masing. Tidak terlihat komitmen untuk
mempertahankan KPK sebagai garda depan pemberantasan korupsi.
Bagi kekuatan-kekuatan politik tersebut, rekam jejak
seorang calon Kepala Polri bukan hal yang perlu diperhatikan dan
kriminalisasi terhadap komisioner KPK juga bukan urusan yang mesti
diprihatinkan. Mereka baru akan menunjukkan pembelaan kepada KPK jika opini
publik yang menuntut penyelamatan KPK semakin membesar dan menguat. Namun,
jika opini publik itu ternyata tidak
membesar, mereka tidak segan-segan justru mendukung skenario pelemahan KPK.
Di sini peran media massa menjadi sangat menentukan. Semua
kekuatan politik akan selalu bertindak dengan menghitung opini publik yang
terbentuk melalui media massa. Gerakan masyarakat sipil juga selalu
membutuhkan media untuk melahirkan signifikansi tertentu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar