Optimalisasi
Penerimaan Pajak Melalui Gijzeling
W Riawan Tjandra ; Pengajar
pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta; Alumnus Doktor Ilmu
Hukum UGM
|
MEDIA
INDONESIA, 05 Februari 2015
UPAYA untuk mengoptimalisasikan
penerimaan negara yang bersumber dari pajak saat ini dilakukan melalui
berbagai cara, baik melalui intensifikasi, ekstensifikasi, efisiensi
prosedur, atau bahkan melalui penyanderaan (gijzeling) terhadap wajib pajak yang membandel dalam melaksanakan
kewajiban pembayaran pajak. Direktorat Jenderal Pajak bahkan baru saja
menyandera SC, 61, penanggung jawab Rp6 miliar tunggakan pajak PT DGP yang
terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Tiga. PT DGP
menunggak pajak sebesar Rp6 miliar sejak lima tahun lalu dan saat ini
penanggung pajak sudah diserahterimakan kepada Lembaga Pemasyarakatan Kelas
II A Salemba, Jakarta Pusat.
Direktur Pemeriksaan dan Penagihan
Direktorat Jenderal Pajak RI, Dadang Suwarna, mengatakan bahwa sebelum
disandera oleh Ditjen Pajak, penanggung pajak sudah dicekal selama 6 bulan,
tetapi belum juga membayar tunggakan tersebut. Setelah proses pencekalan
barulah penanggung pajak disandera selama 6 bulan dan jika tidak juga
membayar tunggakan pajak, penyanderaan akan diperpanjang 6 bulan lagi. Namun,
status penanggung pajak di lembaga pemasyarakatan (LP) bukan narapidana,
melainkan wajib pajak yang harus tetap mendapat perlindungan secara hukum dan
semua kebutuhan wajib pajak di LP ditanggung oleh Ditjen Pajak.
Seharusnya ada dua orang yang
disandera oleh Ditjen Pajak pada minggu pertama Februari 2015 ini, tetapi
satu penanggung pajak sudah lebih dahulu berangkat ke luar negeri sebelum
surat penyanderaan dikeluarkan oleh Ditjen Pajak pada 28 Januari 2015.Saat
ini, Ditjen Pajak sedang meneliti 56 wajib pajak untuk dilakukan tindakan
gijzeling.Adapun yang dalam proses penindakan gijzeling terdapat sembilan
wajib pajak, baik dari WP pribadi maupun WP badan dengan total tanggungan
pajak mencapai Rp15,6 miliar. Nilai utang pajak yang ditunggak kesembilan penunggak
pajak itu berjumlah Rp13,6 miliar.Proses penyanderaan akan dilakukan setelah
mendapat surat izin dari Menteri Keuangan.
Menurut versi Direktorat Jenderal
Pajak, proses penyanderaan ini menjadi bentuk keseriusan pemerintah dalam
penegakan hukum. Tindakan represif seperti ini perlu dilakukan demi
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak dan tentunya menaikkan
penerimaan pajak.Sepanjang 2014, nilai pajak yang ditunggak wajib pajak
berjumlah Rp3,47 triliun, yang terdiri atas 422 wajib pajak badan dan 76
wajib pajak orang pribadi.
Ada pembatasan
Sebenarnya, kewenangan Ditjen
Pajak untuk melakukan penyanderaan terhadap wajib pajak yang mengemplang
pembayaran pajak sudah lama terdapat dalam hukum lama terdapat dala positif
di negeri ini. Sebelum berlakunya UU No 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa, kewenangan untuk melakukan gijzeling juga sudah pernah diatur dalam UU No 19 Tahun 1959
tentang Penagihan Pajak. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu
kebebasan penanggung pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.
Penyanderaan hanya dapat dilakukan
terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak sekurang-kurangnya
sebesar Rp100 juta dan diragukan iktikad baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaan
tersebut hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat perintah penyanderaan
yang diterbitkan oleh pejabat setelah mendapat izin tertulis dari menteri
atau gubernur. Masa penyanderaan itu sendiri dalam undang-undang dibatasi
paling lama 6 bulan dan dapat diperpanjang untuk selama-lamanya 6 bulan.
Mencermati pengaturan mengenai
penyanderaan (gijzeling) dalam
undang-undang tersebut, terlihat adanya pembatasan dan syarat limitatif yang
ketat untuk dapat dilaksanakannya penyan deraan oleh pemerintah selaku
pemungut pajak (fiscus). Dengan
demikian, sejatinya pelaksanaan penyanderaan pasti sudah didahului dengan
berbagai prosedur administratif kepada penanggung pajak sejak diterbitkannya
surat ketetapan pajak, surat penagihan pajak, sampai dengan adanya surat
perintah penyanderaan dan izin tertulis dari menteri atau gubernur.
Salah satu konsiderans dalam
pengaturan mengenai penagihan pajak dengan surat paksa sebagai diatur dalam
UU No 19 Tahun 1997 ialah mendorong kesadaran, pemahaman, dan penghayatan
masyarakat bahwa pajak adalah sumber utama pembiayaan negara dan pembangunan
nasional serta merupakan salah satu kewajiban kenegaraan, sehingga dengan
penagihan pajak melalui surat paksa tersebut setiap anggota masyarakat wajib
berperan aktif dalam melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya.
Jika berkaca pada sistem
perpajakan di negeri ini, memang pada prinsipnya diterapkan sistem kewajiban
bagi wajib pajak untuk secara aktif menghitung, melaporkan, dan membayar
sendiri kewajiban perpajakannya yang dikenal dengan sistem self assessment. Posisi dari
pemerintah selaku pemungut pajak sejatinya lebih bersifat pengawasan,
pemantauan, dan bilamana diperlukan, melakukan sejumlah upaya paksa agar para
wajib pajak mematuhi kewajiban perpajakan yang diwajiban oleh undang-undang.
Sebelum sampai pada tahapan
penyanderaan, sebenarnya sudah ada berbagai sanksi administratif yang dapat
dikenakan oleh pemungut pajak untuk membangun ketaatan para wajib pajak,
misalnya dengan mengenakan denda administratif dan sejenisnya. Bahkan, jika
merasa dicurangi oleh pemungut pajak, wajib pajak diberikan kesempatan untuk
mengajukan keberatan dan banding administratif terhadap pemungut pajak yang
akan diselesaikan pada puncaknya oleh institusi peradilan pajak.
Selama ini memang pemerintah
terkesan jarang melaksanakan gijzeling
karena berbagai pertimbangan dan alasan. Na mun, memang harus diakui kerugian
negara sebagai akibat ketidakpatuhan wajib pajak dalam membayar pajak bisa
mencapai puluhan triliun rupiah. Filosofi pembayaran pajak melekat pada
tujuan eksistensi negara itu sendiri, yakni pajak yang dibayarkan oleh rakyat
dapat digunakan untuk mewujudkan keadilan sosial dalam rangka mencapai tujuan
negara kesejahteraan (welfare state).
Pajak tak hanya digunakan untuk membayar gaji para pegawai negeri, militer,
dan para pejabat negara, tetapi juga untuk memberikan santunan bagi warga
masyarakat yang kurang beruntung nasibnya. Hak untuk dapat hidup secara layak
sudah menjadi bagian dari hak asasi di bidang ekonomi, sosial, dan budaya
yang dikonstitusikan dalam UUD Negara RI 1945.
Maka, setiap sen kewajiban
perpajakan yang tidak dipatuhi oleh wajib pajak atau yang justru
disalahgunakan oleh perilaku koruptif dari fiscus layak mendapat sanksi yang
seberat-beratnya. Pajak di berbagai negara maju semakin menduduki sebagai
komponen utama untuk membiayai rumah tangga negara. Maka, sudah selayaknya
jika negara mengancam para penunggak alias pengemplang pajak dengan sanksi
yang berat.
Ruang politik ekonomi yang
dinikmati oleh para wajib pajak untuk menjalankan aktivitas ekonomi guna
memperoleh penghasilan atau keuntungan harus ditempatkan dalam posisi yang
pararel dengan kewajiban negara untuk memungut pembayaran pajak yang telah
memberikan perlindungan dan menyediakan ruang untuk menjalankan aktivitas
ekonomi bagi para wajib pajak.
Selain penerapan gijzeling merupakan perangkat legal yang disediakan negara untuk
mendorong kepatuhan wajib pajak, seharusnya juga diimbangi dengan sistem
pengawasan ketat dan tindakan tegas bagi siapa pun aparat pajak yang terbukti
melakukan korupsi pajak.
Tak ada salahnya jika negara juga
mulai menerapkan hukuman mati terhadap aparat pajak yang melakukan korupsi
pajak karena sejatinya tindakannya telah menggerus sila keadilan sosial dan
menentang konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar