Missing
Link Kebijakan Menteri Susi
M Ka’bil Mubarok ; Wakil
Ketua Komisi B DPRD Jawa Timur
|
JAWA
POS, 16 Februari 2015
DEMI menjalankan kebijakan poros maritim Kabinet Kerja
Jokowi-JK, dalam waktu yang relatif singkat, banyak gebrakan Menteri Kelautan
dan Perikanan Susi Pudjiastuti yang patut mendapat apresiasi. Mulai kebijakan
penenggelaman kapal pencuri ikan, moratorium perizinan usaha perikanan
tangkap (Permen-KP Nomor 56/2014), pengelolaan dan zonasi taman wisata
perairan (Permen-KP Nomor 28/2014), sampai kebijakan larangan penangkapan
lobster (Panulirus spp), kepiting (Scylla spp), dan rajungan (Portunus
pelagicus sp) yang tertuang dalam Permen-KP Nomor 1/2015. Juga, ada larangan
penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine
nets) yang dituangkan dalam Permen-KP Nomor 2/2015.
Dalam perspektif pembangunan, strategi pembangunan
berkelanjutan (sustainable development)
masih merupakan strategi terbaik di antara sekian banyak strategi yang ada.
Dari sudut itu, dapat dipahami bahwa berbagai kebijakan tersebut setidaknya
memiliki dua tujuan utama. Pertama, tujuan konservasi laut. Kondisi
mengkhawatirkan diungkapkan FAO, yakni kelestarian 25 persen sumber daya ikan
di dunia sudah terancam. Sedangkan data Sofia (The State of World Fisheries and Aquaculture) menyebutkan bahwa 5
persen dari perikanan dunia dalam status deplesi atau mengalami penurunan
produksi secara terus-menerus, 16 persen telah dieksploitasi secara
berlebihan dan melampaui batas optimum produksi, 52 persen telah penuh
eksploitasi, 23 persen pada tahap moderat atau memiliki tingkat produksi yang
kecil, 3 persen sumber daya ikan masih di bawah tingkat eksploitasi
optimumnya, dan hanya 1 persen yang dalam proses pemulihan melalui
program-program konservasi.
Terhadap kondisi tersebut, maka rangka mewujudkan
perikanan tangkap yang berkelanjutan (sustainable
fisheries cupture) sesuai dengan ketentuan pelaksanaan perikanan yang
bertanggung jawab (FAO Code of conduct
for Responsible Fisheries/CCRF), eksploitasi sumber daya hayati laut
harus dapat dilakukan secara bertanggung jawab (responsible fisheries).
Kedua,perlindungan terhadap nelayan. Dengan 17.508 pulau,
Indonesia memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer, dengan wilayah
laut seluas 5,8 juta kilometer persegi. Dengan demikian, 70 persen luas
seluruh wilayah Indonesia adalah laut. Menurut laporan FAO (2010), Indonesia
merupakan negara produsen perikanan ketiga terbesar di dunia setelah Tiongkok
dan Peru dengan nilai produksi 5,384 juta ton.
Namun, sedikit kontradiktif dengan potensi laut Indonesia,
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mencatat terjadinya penurunan
jumlah nelayan dari tahun 2004 yang mencapai 4 juta orang menjadi 2,2 juta
orang pada tahun 2012. Penurunan terjadi karena pekerjaan sebagai nelayan
sudah tidak prospektif lagi bagi kaum nelayan dan nelayan sudah tidak lagi
menggantungkan hidupn pada sektor kelautan. Fenomena tersebut mendapatkan
pembenarannya dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan bahwa
jumlah nelayan miskin di Indonesia pada 2011 mencapai 7,87 juta orang atau
sekitar 25,14 persen dari total penduduk miskin nasional yang mencapai 31,02
juta orang. Karena itulah, diperlukan kebijakan pemerintah Indonesia yang
dapat melindungi dan menyelamatkan kehidupan nelayan melalui peningkatan
produksi sektor kelautan.
Resistansi Nelayan
Tidak seperti diharapkan, ternyata kebijakan bidang
kelautan dan perikanan yang dikeluarkan Menteri Susi –yang sejatinya
bertujuan mewujudkan sustainable fisheries cupture serta melindungi nelayan–
tidak mendapatkan dukungan dari nelayan. Sebaliknya, gelombang demonstrasi
nelayan yang menolak berbagai kebijakan tersebut terjadi di hampir seluruh
daerah pesisir Indonesia.
Erwin Hargrove (1975) dengan bukunya The Missing link: The
Study of Implementation of Social Policy mempertanyakan ”missing link” antara
formulasi kebijakan dan evaluasi dampak kebijakan. Buku tersebut mengungkap
berbagai fakta, bahwa berbagai intervensi pemerintah untuk mengatasi
masalah-masalah sosial terbukti tidak efektif atau gagal disebabkan
perspektif perumus kebijakan menempatkan perumusan kebijakan sebagai kotak
hitam yang tidak berhubungan dengan sasaran kebijakan.
Padahal, keberhasilan kebijakan juga sangat ditentukan
kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street
level beaurocrazy) pada proses implemesi serta kelompok sasaran
kebijakan. Honig (2006) menyebutnya sebagai tiga dimensi dalam implementasi
kebijakan, yaitu places, people, dan policies. Selain itu, proses kebijakan
harus dipahami sebagai proses yang kompleks yang tidak berada dalam ruang
hampa. Karena itu, formulasi kebijakan harus mempertimbangkan berbagai aspek
sosial budaya yang melekat pada kelompok sasaran.
Berdasar keberagaman budaya dan kondisi sosial ekonomi
masyarakat nelayan di seluruh Indonesia, maka untuk keberhasilan kebijakan
bidang kelautan dan perikanan, program harus diterapkan secara asimetris.
Kebijakan atau program pemerintah yang memiliki goals kesejahteraan bagi
nelayan tidak dapat diterapkan secara seragam untuk semua kelompok sasaran
yang beragam. Asumsi klasik para perumus kebijakan atau program yang
menganggap bahwa kebijakan atau program pada dasarnya adalah sesuatu yang
baik yang dirumuskan oleh orang-orang baik dan dapat diterapkan kepada semua
kelompok sasaran dan semua locus atau tempat tanpa memperhitungkan
keberagaman kelompok sasaran, perbedaan lokasi, dan kebudayaan yang sudah
mapan di lokasi program harus segera ditinggalkan.
Oleh karena itu, setiap program yang akan diterapkan harus
berkesuaian dengan keadaan sosial ekonomi, politik, maupun budaya yang ada
pada kelompok sasaran program. Dengan demikian, implementasi program tidak
hanya akan menghasilkan output, outcome, tapi program juga dapat memiliki
impact positif bagi kelompok sasaran sesuai tujuan program yang ditetapkan.
Dengan demikian, agar berbagai kebijakan Menteri Susi
tidak menuai kontroversi serta memiliki impact positif terhadap upaya
konservasi laut maupun perlindungan terhadap nelayan, urgen dilakukan dalam
formulasi kebijakan kelautan dan perkanan. Yaitu, zonasi pemberlakuan
kebijakan konservasi, pengelompokan nelayan berdasar alat tangkap, penyediaan
bantuan alat tangkap ramah lingkungan, penguatan ekonomi nelayan melalui
peningkatan nilai tambah produk kelautan, serta komunikasi kebijakan yang
intensif kepada kelompok sasaran atau nelayan.
Hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah komunikasi
konten serta strategi implementasi kepada pelaksana tingkat bawahdan kesiapan
pelaksana kebijakan/program, yaitu pemerintah daerah, untuk menyiapkan
peranti hukum teknis implementasi. Pemerintah daerah harus mampu
menerjemahkan berbagai kebijakan bidang perikanan dan kelautan dengan tepat
sesuai tujuan kebijakan serta menyiapkan peraturan teknis implementasi
program. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar