Mengendalikan
Inflasi Lewat Pangan
Adhi S Lukman ; Ketua Umum
Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia; Anggota Pokja Ahli
Dewan Ketahanan Pangan Indonesia
|
KOMPAS,
11 Februari 2015
Pengumuman pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak
per 19 Januari 2015 seiring dengan penurunan harga minyak internasional bukan
sekadar pengumuman biasa. Ini menjadi tanda dimulainya era baru dalam
pengelolaan harga energi secara luas. Pemerintah bertekad mengurangi subsidi
BBM dan menjadikan harga komersial, sekaligus meminta semua lapisan
masyarakat, khususnya dunia usaha, terbiasa menyesuaikan langkah ekonominya
mengikuti naik-turunnya harga. Hal seperti ini sudah dilakukan di beberapa
negara yang memberlakukan harga komersial untuk sektor energi, khususnya BBM.
Pemerintah mengharapkan penurunan BBM bisa memicu
penurunan harga sekaligus menekan inflasi. Pada 2014, inflasi ditutup pada
8,36 persen (2,06 persen kontribusi bahan pangan dan 1,31 persen oleh pangan
olahan dan tembakau). Demikian menurut BPS (2015). Artinya, pangan secara
keseluruhan memegang peranan 40,31 persen dari inflasi nasional. Sangat
signifikan dan tidak salah jika pemerintah harus mengendalikan harga pangan,
baik segar maupun olahan, untuk mencapai target inflasi dalam APBN-P sebesar
5 persen.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana mengendalikannya,
sedangkan pemerintah tak memegang peran terbesar dalam rantai pasokan pangan
secara keseluruhan. Bulog (salah satu BUMN) sebagai kepanjangan tangan
pemerintah dalam pengendalian harga pangan hanya mengendalikan beras karena
dianggap sebagai makanan pokok dan memegang peran terbesar di sektor
komoditas pangan. Beberapa BUMN di bidang pangan lainnya, seperti gula dan
sawit sebenarnya bisa diharapkan jadi pengendali harga dan meningkatkan
efisiensinya, tetapi saat ini belum optimal.
Peran besar dalam mengendalikan harga pangan ada di
mekanisme pasar. Oleh sebab itu, peran masyarakat dan pelaku usaha sangat
besar. Pelaku sektor usaha pangan tak bisa sendiri mengendalikannya. Yang juga
berperan besar adalah sektor logistik dan distribusi. Apalagi BBM sangat erat
kaitannya dengan sektor logistik. Kolaborasi antarsektor jadi kunci sukses
dalam hal ini.
Bicara pangan, kita bedakan antara yang segar dan yang
olahan. Pangan segar lebih rawan dan sangat bergantung pada sektor logistik,
diperkirakan biaya distribusi bisa mencapai sekitar 15-20 persen dari harga.
Faktor ketersediaan infrastruktur logistik, ditambah faktor teknologi pasca
panen, rantai pasokan (kesesuaian waktu panen dan permintaan pasar) sangat
besar menentukan harga di pasar.
Penurunan harga BBM seharusnya bisa menjadi pemicu
penurunan harga pangan segar lebih cepat dengan asumsi kondisi lainnya sama
karena faktor ketersediaan pangan segar dan masa simpan jauh lebih pendek dibandingkan
dengan pangan olahan.
Bicara pangan olahan, dibedakan antara produksi dan
distribusi. Terkait BBM, di sisi produksi sudah terbiasa dengan harga
komersial BBM yang naik turun. Produsen selalu menyiapkan penghitungan harga
kisaran yang disesuaikan dengan faktor yang memengaruhi harga pokok produksi,
termasuk BBM di dalamnya. Selama semua kondisi masih dalam kisarannya, harga
tidak disesuaikan segera, baik naik maupun turun, karena pada dasarnya
produsen tidak suka harga fluktuatif. Naik atau turun tetap membuat
permasalahan di pasar. Demikian juga konsumen lebih menginginkan harga stabil
dan terjangkau.
Permasalahan lebih besar di luar kendali produsen/industri
pangan adalah di rantai pasokan, baik di sisi pasokan bahan baku ke produsen
maupun di sisi distribusi produk jadi sampai tingkat konsumen.
Semua itu sangat terkait sektor transportasi darat, laut,
dan udara beserta infrastruktur pendukungnya. Berdasarkan pengalaman,
rata-rata biaya distribusi produk pangan olahan 4–8 persen atau bahkan bisa
lebih besar, bergantung pada jenis produk, volume, penyebaran, dan lain-lain.
Pada saat BBM naik, biasanya sektor transportasi
menghendaki segera ongkos angkut naik. Dengan era baru ini, kita belum
terbiasa mengikuti naik atau turun BBM sehingga sektor transportasi belum mau
menurunkan ongkos angkut segera meskipun harga BBM turun. Ini tentu jadi
kendala bagi industri pangan untuk menurunkan harga di tingkat konsumen.
Solusi
Meski biaya distribusi tak melulu ongkos angkut saja,
faktor ini sangat signifikan dalam biaya distribusi keseluruhan. Industri
perlu duduk bersama dengan sektor angkutan untuk membicarakan ongkos angkutan
barang dengan menyesuaikan era baru harga BBM.
Perlu dibuat kesepakatan ongkos angkut bisa naik atau
turun mengikuti harga BBM, misalnya dengan membuat tabel berapa pengaruh
setiap perubahan Rp 100 per liter harga BBM terhadap ongkos angkut. Jika
kesepakatan ini disetujui, tak perlu ada perundingan setiap perubahan.
Pemerintah bisa menjadi fasilitator yang baik dalam
perundingan di atas agar sinergis dan menjaga semua pemangku kepentingan.
Demikian juga pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus juga mengendalikan
sektor logistik yang menjadi wewenangnya, seperti bagaimana mengendalikan
biaya-biaya di pelabuhan, stasiun, pasar dan pelaku BUMN/BUMD yang notabene
di bawah kendali langsung. Contoh yang baik harus dilakukan oleh pemerintah
supaya diikuti oleh sektor swasta.
Pengendalian inflasi menjadi harapan semua pihak dan
dikehendaki oleh pemerintah. Apabila hal di atas bisa terlaksana dengan baik,
sektor pangan ikut berkontribusi, dan Indonesia akan memasuki era baru yang
lebih baik terkait perubahan harga BBM yang akan semakin sering dilakukan.
Kolaborasi A(cademic)-B(usi-ness)-G(overnment)-serta
C(onsumers) menjadi kunci keberhasilan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar