Mengembalikan
HMI ke Tengah Rakyat
Arief Rosyid Hasan ; Ketua
Umum Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam
|
KORAN
SINDO, 06 Februari 2015
Himpunan Mahasiswa Islam pada 5 Februari 2015 genap
berusia 68 tahun. Usianya hanya terpaut 18 bulan dengan usia Republik
Indonesia. Kita bersyukur hingga kini HMI tetap hadir dengan kiprah kader
beserta alumninya yang membanggakan. Dalam lingkungan kebangsaan yang terus
mengalami dinamika dan perubahan, HMI tetap mampu memerankan diri dan memberi
kontribusi kepada kemajuan masyarakat dan bangsa Indonesia secara produktif.
Sepanjang usianya, HMI telah melahirkan begitu banyak intelektual, pemimpin
politik, aktivis sosial, birokrat, pengusaha, dan kaum profesional lainnya.
Sejarah HMI menjadi berharga karena dukungannya secara
terus-menerus terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Figur-figur besar
seperti Lafran Pane, Ahmad Dahlan Ranuwihardjo, Nurcholish Madjid, atau para
syahid seperti Ahmad Wahib dan Munir, adalah telaga hikmah yang menyediakan
teladan bagi kita untuk terus menyegarkan semangat dalam berjuang bagi
kemajuan masyarakat.
Dari mereka kita belajar, siapa mau berjuang niscaya harus
bersedia menanggung kerugian kecil dan bersifat sementara untuk diri sendiri,
dengan berani memusatkan perhatian pada usaha mewujudkan kebajikan bagi orang
banyak. Suatu usaha yang dilandasi keyakinan bahwa tidak ada keberhasilan
tanpa jerih payah, sebagaimana tidak akan ada bahagia hari raya tanpa
berpuasa.
Independensi adalah khitah , yaitu sikap terbuka dan
selalu sedia menjaga jarak yang sama dengan segala hal, kecuali kebenaran.
Independensi bukanlah sikap pasif menunggu ke mana embusan angin, namun
berwujud pada kerja amar makruf. Dalam bingkai kekinian, amar makruf berarti
proaktif, saling membantu, bergotong royong, membangun, dan meningkatkan
kualitas hidup masyarakat.
Dalam lapangan pengabdian masa kini, amar makruf tak bisa
lagi sekedar mengandalkan semangat berkobar saja, namun juga mensyaratkan
wawasan keilmuan mendalam dan kemampuan teknis yang mumpuni. Keduanya menjadi
prasyarat dari profesionalitas dalam sebuah bidang spesialisasi. Tentu bukan
profesional yang tinggal di menara gading, namun seorang spesialis yang tekun
dan konsisten, yang membaktikan kemahirannya secara tulus dalam memecahkan
masalah kemasyarakatan.
Dengan semangat tersebut, kami menyelenggarakan
kepengurusan PB HMI periode 2013-2015, yang alhamdulillah telah menginjak
akhir tahun kedua. Berkat perhatian dan bantuan dari banyak pihak,
kepengurusan PB HMI kali ini dapat berlangsung kondusif dan kontributif.
Independensi organisasi dan soliditas kepengurusan relatif terjaga sepanjang
momentum politik yang telah berlalu.
Melalui kepengurusan ini, PB HMI telah memiliki kantor/sekretariat
baru di Jln Sultan Agung 25A, beranjak dari kantor lama di Jln Diponegoro
16A. Untuk menunjang konsolidasi, kami segera luncurkan insan cita.co, portal jejaring sosial khusus HMI.
Penataan pranata organisasi juga terus dilakukan melalui
peningkatan kapasitas pengurus, pembaruan pedoman perkaderan, dan penguatan
lembaga-lembaga profesi serta badan penelitian dan pengembangan. Juga yang
sedang berjalan, yaitu pendalaman demokrasi substansial melalui pendampingan
komunitas, masih akan terus dilaksanakan.
Membincang HMI adalah membincang wajah-wajah optimistis
bagi keindonesiaan. Tidak saja karena sejarah HMI, pada tapal-tapal sejarah
dan momentumnya yang paling menentukan, berjalin erat dengan sejarah bangsa
ini. Juga karena HMI akan terus menjadi ruang belajar bagi mahasiswa Islam
untuk mendidik diri dan berkontribusi aktif bagi pembangunan bangsa.
Indonesia kini selayaknya diberi nama Indonesia pasca-Reformasi.
Dengan segala kekurangannya, impian-impian yang mengemuka pada gerakan
Reformasi 1998 bisa dikatakan sudah berakhir. Periode perubahan rezim sudah
berlalu dan menghasilkan banyak perubahan: kebebasan sipil-politik yang
meluas, luruhnya supremasi militer, dan bangkitnya politik sipil melalui gerakan
kesukarelawanan dan sistem multipartai.
Indonesia kini telah mantap berada di jalur konsolidasi
demokrasi. Tantangan terbesar menuju demokrasi yang bermutu tinggi adalah
masalah pembagian sumber daya politik yang timpang. Secara ideal, mestinya
setiap warga negara memiliki kemampuan yang sama untuk menentukan
kebijakan-kebijakan penting yang diambil negara.
Tugas pemerintah adalah mengeliminasi jarak yang menganga,
di antara aspirasi rakyat dan kebijakan negara. Dalam hal ini, kita selalu
membutuhkan kepemimpinan yang kuat dan aspiratif. Kepemimpinan yang tangguh
bukan hanya karena dukungan koalisi politik, namun karena berpegang teguh
pada konstitusi, sambil merendahkan telinganya pada jerit aspirasi
masyarakat.
Demokrasi kita melalui pemilukada langsung, dengan segala
kurang di segala sisinya, telah menerbitkan harapan. Sejalan dengan
desentralisasi kekuasaan, muncul banyak kepala daerah yang menunjukkan
kepemimpinan yang berkomitmen dan mengakar kuat pada aspirasi lokal. Sejak
awal kemerdekaan republik, sirkulasi kepemimpinan nasional selalu berasal
dari jalur pendidikan, militer, organisasi massa, dan dunia bisnis.
Kepemimpinan daerah kini telah menjadi rahim baru bagi
kepemimpinan nasional. Prospek dan keberhasilan model kepemimpinan ini, kita
sedang menunggu pembuktiannya, tak lain tak bukan adalah pada figur presiden
kita saat ini, Bapak Ir Joko Widodo. Penguatan kelembagaan demokratis dan
pembagian sumber daya politik melalui emansipasi rakyat adalah pilihan model
perjuangan HMI yang relevan untuk dilaksanakan. Inilah saatnya mobilitas HMI
dikembalikan ke tengah-tengah rakyat.
Dalam hal ini, HMI dapat bekerja memperkuat masyarakat
madani (civil society) sebagai
pengimbang kekuasaan negara dan pasar. Dengan mengisi ruang kosong dalam
sistem demokrasi, tentunya peran HMI semakin menemukan relevansinya dengan
keinginan untuk memenuhi kesejahteraan rakyat.
Bangsa Indonesia sedang berada pada kesempatan emas untuk
segera melenting menjadi bangsa yang maju dan sejahtera. Struktur penduduk
Indonesia sedang menjanjikan kesempatan untuk segera mencapai masa gemilang
tersebut. Bonus demografi yang kita peroleh sejak 2012 perlu dimanfaatkan
segera, untuk memacu produktivitas angkatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan
keluarga.
Pada puncaknya kelak di tahun 2028, jumlah angkatan kerja
mencapai 67% dari seluruh penduduk, dan rasio kebergantungan jatuh hingga
titik terendah 47%, artinya 100 penduduk usia produktif hanya menanggung 47
usia nonproduktif. Tulang punggung pemanfaatan bonus demografi adalah pemuda.
Konsentrasi pembangunan pemuda menjadi strategis bukan hanya karena
jumlahnya, karena inilah masa penentuan kualitas dalam kehidupan seseorang.
Perubahan kondisi sosial-ekonomi yang terjadi pada pemuda
akan menentukan perubahan yang berlangsung sepanjang hidupnya. Kunci utamanya
adalah pendidikan yang berkualitas dan terbuka bagi semua. Tak boleh ada satu
pun remaja yang luput dari akses terhadap lembaga pendidikan.
Metode belajar harus diusahakan dapat sesuai dengan
kebutuhan sosial dan menekankan pada keterampilan hidup (life skill), yaitu penguatan karakter dan kemampuan sosial.
Selain itu, kita perlu segera mengubah paradigma, dengan memperlakukan pemuda
sebagai aset dan kekuatan, bukan beban masalah. Memandang pemuda sebagai
beban masalah hanya akan membawa pada kebijakan jangka pendek yang
reaksioner, sekadar anti-ini dan anti-itu.
Sebaliknya dengan memperlakukan pemuda sebagai aset dan
kekuatan masa depan, niscaya membawa pada model kebijakan yang sistematis dan
berorientasi pembangunan jangka panjang. HMI sebagai organisasi mahasiswa,
dengan kesempatan mengakses pendidikan dan pekerjaan lebih tinggi dibanding
sebayanya, diminta atau tidak, akan selalu ikut bertanggung jawab untuk
melakukan pendampingan terhadap pemuda yang tak berkesempatan.
Dengan potensi dan sebaran kader dan alumni HMI di seluruh
Indonesia, kita sesungguhnya bisa berbuat lebih banyak untuk membantu
penyediaan ruang belajar dan beraktualisasi bagi peningkatan kapasitas SDM
pemuda. Jika satu cabang HMI minimal memiliki satu model pendampingan
komunitas.
Dengan 200 lebih cabang yang kita miliki saat ini,
ditambah gandeng tangan dari alumni dan lembaga yang ikut berpihak, maka
sesungguhnya satu pekerjaan besar sedang kita bangun; menyiapkan generasi
masa depan Indonesia yang unggul. Setiap organisasi barangkali tak bisa
berkelit untuk melaksanakan tugas sejarahnya.
Merawat warisan nilai dan teladan dari para pendahulu yang
baik, sambil menerima perubahan di masa kini untuk kemajuan yang lebih baik.
Semoga penyampaian ini mendapat perkenan, dalam konteks saling mengingatkan
dalam kebenaran, untuk memandu kita semua pada citacita masyarakat adil dan
makmur yang diridai oleh Allah SWT. Yakin Usaha
Sampai. ? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar