Menentukan
Kepala Daerah Terpilih
Khairul Fahmi ; Dosen
Hukum Tata Negara; Koordinator Kajian Pemilu Pusat Studi Konstitusi (Pusako)
Fakultas Hukum Universitas Andalas
|
MEDIA
INDONESIA, 04 Februari 2015
DENGAN disetujuinya Perppu No
1/2013 menjadi undang-undang, polemik terkait sistem pemilihan kepala daerah
dapat dikatakan usai. Setidaknya, ihwal apakah kepala daerah dipilih secara
langsung atau melalui DPRD telah dijawab dengan kesepakatan bahwa kepala
daerah tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Hanya saja, persetujuan
tersebut juga diiringi dengan merevisi sejumlah ketentuan di dalamnya.Sebab,
beberapa ketentuan dinilai bertentangan satu sama lain, sulit diterapkan, dan
potensial memicu munculnya berbagai persoalan dalam penerapannya kelak. Salah
satu ketentuan yang dimaksud terkait penentuan calon kepala daerah terpilih.
Dalam Pasal 107 dan 109 UU
Pemilihan Kepala Daerah diatur, calon yang memperoleh suara lebih dari 30%
dari jumlah suara, sah ditetapkan sebagai calon kepala daerah terpilih.
Apabila tidak ada calon kepala daerah yang mencapai batas minum 30%,
dilakukan pemilihan putaran kedua yang diikuti calon yang memperoleh suara
terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan putaran pertama. Soal yang
kemudian muncul, bagaimana jika terdapat dua pasangan calon dengan perolehan
suara lebih dari 30% pada putaran pertama?
Apakah akan dilaksanakan pemilihan
putaran kedua atau calon yang memperoleh suara terbanyak di atas 30% yang
akan ditetapkan sebagai calon terpilih?
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan
tersebut tidak ditemukan dalam UU ini.Kondisi tersebut menjadi salah alasan
penting mengapa UU ini mesti direvisi. Hanya saja, ke arah mana seharusnya
haluan perubahan sistem penentuan calon kepala daerah terpilih diarahkan
dalam proses revisi yang tengah berlangsung?
Berkaitan dengan hal itu, muncul
wacana agar persentase penentuan calon terpilih diturunkan dari 30% menjadi
25%. Penurunan tersebut didasarkan atas alasan efisiensi penyelenggaraan
pilkada, yakni dengan persentase yang lebih rendah, pilkada didorong hanya
untuk dilaksanakan satu putaran.
Alasan efisiensi yang dimaksud,
akan berdiri vis a vis dengan perlunya legitimasi yang lebih kuat bagi
seorang kepala daerah terpilih, yakni jika diukur secara kuantitatif, kepala
daerah dengan perolehan suara minimal 30% tentunya lebih kuat dibanding hanya
yang 25%. Lebih jauh, calon dengan dukungan 50% lebih tentunya lebih kuat
dibanding hanya 30%. Oleh karena itu, dibutuhkan pertimbangan lebih jelimet
dari yang hanya sekedar efisiensi, ketika hendak mengubah sistem dan batas
minimum dukungan dalam penentuan calon terpilih pilkada.
Ada relevansi
Sehubungan dengan itu, soal
pertama yang mesti dijawab, yaitu apakah pemilihan kepala daerah akan tetap
menerapkan sistem dua putaran (two
round system) atau tidak? Jika tetap hendak menerapkannya untuk tujuan
agar kepala daerah memiliki legitimasi kuat, penentuan ambang batas perolehan
suara tentunya amat diperlukan. Itu pun bukan pada angka 30% apalagi 25%,
melainkan harus 50% lebih. Sebab, tujuan diterapkannya sistem dua putaran
ialah agar calon terpilih memperoleh suara mayoritas absolut (absolute majority) untuk ditetapkan
sebagai pemenang. Dalam konteks itu, pilihan penerapan sistem dua putaran
seharusnya linear dengan tujuannya. Sehingga, syarat minimum perolehan suara
kepala daerah terpilih mesti 50% lebih. Bila di bawah angka tersebut,
penerapan sistem dua putaran justru kehilangan relevansinya.
Sebaliknya, jika tidak lagi
mengadopsi sistem dua putaran, pembentuk undangundang minimal memiliki dua
alternatif pilihan kebijakan. Pertama, menerapkan sistem pemilihan satu
putaran dengan mengadopsi konsep mayoritas sederhana (relative/simple majority) pada penentuan calon kepala daerah
terpilih. Dalam kerangka sistem ini, tidaklah dibutuhkan ambang batas minimal
perolehan suara dalam menentukan pemenang pilkada.Sebab, siapa pun calon yang
memperoleh suara terbanyak, berapa pun jumlahnya, yang bersangkutan dapat
ditetapkan sebagai calon kepala daerah terpilih.
Apabila sistem ini diterapkan,
kepala daerah terpilih bisa jadi hanya memperoleh suara kurang dari 25%.
Lebih-lebih, jika pilkada tidak hanya diikuti calon yang diajukan partai
politik, tetapi juga calon perseorangan dengan jumlah yang lebih banyak. Soal
yang kemudian muncul, bagaimana mungkin kepala daerah terpilih dapat
memerintah secara efektif jika hanya bermodal dukungan tidak lebih dari 25%
pemilih? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu kelemahan mendasar ketika
sistem mayoritas sederhana ini hendak diterapkan.
Kedua, rendahnya legitimasi kepala
daerah terpilih dalam sistem satu putaran pada dasarnya dapat diatasi dengan
menerapkan sistem altenative vote. Dengan sistem ini, pilkada
hanya dilaksanakan satu putaran, tetapi dapat menghasilkan kepala daerah
terpilih dengan dukungan mayoritas mutlak (absolute mayority). Apabila tidak ada calon yang mencapai angka
mayoritas mutlak, calon yang paling sedikit preferensi pertamanya akan
dicoret dan kertas suaranya akan dibuka untuk melihat preferensi keduanya.
Dari preferensi kedua, akan terdapat tambahan suara untuk calon yang masih
tersisa. Apabila sudah ada calon yang mencapai angka 50% lebih, ia ditetapkan
sebagai pemenang. Jika tidak, calon yang preferensi pertamanya paling
sedikit, berikutnya akan dicoret dan kertas suaranya dibuka untuk melihat
preferensi keduanya. Begitu seterusnya sampai ada calon yang perolehan
suaranya mencapai 50 % lebih.
Penerapan sistem ini diyakini akan
mampu menjawab persoalan inefisiensi penyelenggaraan pilkada karena hanya
dilaksanakan satu putaran. Pada saat bersamaan, juga dapat mengatasi
rendahnya legitimasi kepala daerah terpilih. Sebab, calon terpilih
disyaratkan untuk memperoleh dukungan mayoritas absolut. Selain itu, sistem
yang dimaksud juga dapat mengantisipasi terjadinya pembelahan massa atau
konstituen masing-masing pendukung secara diametral. Hanya saja, sistem ini
pun mencatatkan sejumlah kelemahan, seperti tuntutan akan tingginya tingkat
kemampuan baca tulis pemilih dan rumitnya tata cara penghitungan suara. Apa
pun pilihan sistem penentuan calon terpilih pilkada yang hendak diterapkan,
alasan efisiensi haruslah disandingkan secara proporsional dengan pentingnya
legitimasi kepala daerah terpilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar