Mencari
Kapolri yang Profesional-Bersih
Laode Ida ; Sosiolog di
Departemen Sosiologi FIS UNJ Jakarta;
Mantan wakil ketua DPD RI periode 2004–2009;
2009–2014
|
JAWA
POS, 11 Februari 2015
TAMPAKNYA, peluang Komjen Budi Gunawan (BG) untuk menjadi
Kapolri sudah akan tertutup karena tersandung status tersangkanya oleh KPK
sebagai pemilik rekening gendut. Tim 9 –tim independen bentukan Presiden Joko
Widodo (Jokowi)– pun telah bekerja seraya mencari solusi atas kasus BG itu
(yang melebar pada perseteruan terbuka antara Polri dan KPK) di mana
indikasinya merekomendasikan perlunya figur jenderal polisi lain untuk
memimpin Polri setelah Jenderal Sutarman. Kompolnas pun kabarnya telah (akan)
mengajukan pertimbangan berisi empat nama jenderal polisi berbintang tiga
untuk dipilih presiden sebagai calon pengganti BG dan selanjutnya diharapkan
diajukan lagi ke DPR untuk diuji kelayakannya.
Skenario tersebut bisa berjalan jika memang Jokowi setuju
dengan usulan baru calon Kapolri itu. Dengan risiko akan ”sedikit
mengecewakan” pihak politisi yang menghendaki BG. Termasuk kemungkinan bakal
munculnya reaksi politik dari DPR karena barangkali merasa Jokowi telah
”tidak menghargai proses politik yang sudah dilakukan di Senayan”. Maklum,
putusan DPR dalam mendukung BG jadi Kapolri relatif bulat. Sehingga
bisik-bisik di masyarakat yang santer terdengar, para politikus itu telah
mendukung ”figur bermasalah untuk jadi Kapolri” akibat adanya kesamaan
kepentingan. Sehingga tentu saja akan ada kekecewaan dari sebagian di antara
mereka jika pilihan mereka itu tak sempat diwujudkan Jokowi.
Dalam kondisi seperti itu, memang posisi Presiden Jokowi
sangat dilematis. Terjepit di antara kelompok kepentingan yang mengabaikan
aspek integritas di satu pihak dan tuntutan untuk menjadikan institusi
kepolisian bisa lebih bermartabat di bawah figur pimpinan yang bersih dan
profesional. Sebagai manusia biasa, Jokowi tentu memiliki perasaan yang
menjadikan sulit menghindar karena sosok BG sungguh dikehendaki pimpinan
PDIP, partai utama penyokongnya. Apalagi kemudian diembuskan dengan sangat
oleh pendukung BG, jenderal polisi yang satu ini menjadi perekat dan
sekaligus mencairkan ketegangan hubungan antara Koalisi Indonesia Hebat (KIH)
dan Koalisi Merah Putih (KMP) di parlemen.
Tetapi, sebagai presiden, Jokowi tentu mesti bersikap dan
mengambil kebijakan sebagai negarawan. Dalam konteks ini, hak prerogatifnya
untuk memilih Kapolri tak bisa didasari pertimbangan rasa dengan pengaruh
kuat kepentingan politik, tetapi harus lebih didasarkan pada pertimbangan
objektif untuk kepentingan pengelolaan negara yang baik dan bersih.
Pertama, pertimbangan untuk mengangkat seorang pejabat
haruslah jauh melampaui batas-batas prosedur, apalagi bersifat politis. Yang
harus dikedepankan dan dijunjung adalah dimensi nilai dan etika. Kalau
seorang figur sudah ternodai dengan resistansi publik yang demikian kuat,
figur-figur seperti itu sudah harus dihindari.
Kedua, seorang presiden harus mampu membedakan kepentingan
subjektif polisi dengan posisi rakyat yang kepentingannya bersifat
objektif-kumulatif. Kepentingan politisi, apalagi di negeri ini, biasanya
bukan berada pada dirinya sendiri, melainkan lebih dikendalikan sejumlah
orang yang menguasai parpol itu. Sementara kekuatan rakyat adalah arus besar
yang merupakan penyatuan kepentingan individu-individu yang didasarkan pada
kejujuran etika, jauh dari kontaminasi kepentingan subjek politik.
Pertanyaannya sekarang, siapa yang akan menggantikan BG?
Apakah empat orang yang diajukan Kompolnas ke Jokowi itu merupakan figur yang
tepat untuk memimpin Polri pasca gonjang-ganjing ini? Tentu saja belum bisa
dijawab. Namun, seharusnya Jokowi juga tidak serta-merta mengambil kesimpulan
untuk memilih salah satu di antara empat jenderal itu. Soalnya, kerja
Kompolnas pun perlu diragukan setelah gagal dengan usulan pertamanya di mana
BG ternyata bermasalah dan dijadikan tersangka oleh KPK. Padahal, sebelumnya
lembaga itu mencoba meyakinkan publik bahwa BG tidak bermasalah lagi dengan
dugaan rekening gendut.
Apa yang mau dikatakan di sini bahwa Presiden Jokowi perlu
mempertimbangkan untuk melakukan beberapa langkah dalam proses penetapan
calon Kapolri. Pertama, figur yang akan diproses harus sudah melewati deteksi
dari pihak PPATK dan KPK. Proses pada saat seleksi calon anggota kabinetnya
pada Oktober lalu tampaknya masih tetap perlu dilakukan untuk calon Kapolri.
Khususnya, data PPATK harus diakui masih sangat objektif dan kredibel di
tengah canggihnya penggunaan teknologi dalam transaksi keuangan dewasa ini.
Kedua, figur jenderal polisi itu harus memiliki derajat
kenetralan yang tinggi dan teruji dari kepentingan dan godaan politik.
Masukan dari masyarakat luas atas hubungan figur (yang masuk dalam nominasi
calon Kapolri) dengan parpol tertentu akan sangat bermanfaat bagi presiden.
Soalnya, sudah berseliweran informasi di masyarakat bahwa jika sudah pada
posisi ”bintang di jajaran Polri”, atasan mereka sudah mulai terbagi. Sebab,
masing-masing sudah gencar melakukan pendekatan untuk cantolan pada parpol
tertentu atau komisi terkait di parlemen. Sebab, mereka sadar betul, jika
ingin meraih jabatan yang lebih strategis di internal Polri, peran para
politikus sangat menentukan.
Ketiga, terkait langsung dengan isu ”sakit hati” dari
figur jenderal yang tak dilantik, jangan sampai menghadirkan pimpinan yang
memiliki watak pendendam berbasis solidaritas sekorps. Indikasi saling balas
antara Polri dan KPK pasca penetapan BG sebagai tersangka, jujur saja, sangat
kentara ditunjukkan pihak Polri. Kewenangan yang besar dan luas yang dimiliki
lembaga kepolisian belum tentu tidak disalahgunakan untuk menghabisi bukan
saja KPK, namun juga orang-orang yang kritis terhadap karakter buruk sebagian
oknum Polri. Termasuk di dalamnya mereka-mereka yang bergerak dalam
pemberantasan korupsi. Inilah pekerjaan rumah yang diharapkan bisa
diselesaikan secepatnya oleh Presiden Jokowi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar